OPINI: Thaipusam Perjalanan Liminal dan Transformasi Spiritual di Medan

Dok: Pribadi.

OPINI: Thaipusam Perjalanan Liminal dan Transformasi Spiritual di Medan

Dok: Pribadi.

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Suzi Laras Ayu
Mahasiswi Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
(suzi.laras.ayu@gmail.com)

Thaipusam merupakan salah satu ritual Hindu Tamil yang paling dramatis dan penuh makna, dirayakan dengan penuh devosi oleh komunitas Tamil di berbagai belahan dunia, termasuk di Medan, Indonesia. Perayaan ini ditujukan untuk menghormati Dewa Murugan, simbol keberanian, kebijaksanaan, dan kemenangan atas kejahatan.

Ritual Thaipusam melibatkan prosesi panjang, pemenuhan nazar, serta tindakan penyucian diri melalui pengorbanan fisik seperti tusukan vel dan membawa kavadi. Dalam perspektif antropologi ritual, konsep liminalitas yang dikembangkan oleh Victor Turner sangat relevan untuk memahami proses transformasi spiritual yang terjadi dalam Thaipusam.


Thaipusam adalah festival Hindu Tamil yang memiliki akar sejarah panjang dan penuh makna spiritual. Festival ini dirayakan setiap tahun pada bulan Thai dalam kalender Tamil, bertepatan dengan bintang Pusam, yang dianggap sebagai waktu paling sakral untuk menghormati Dewa Murugan.
Secara historis, Thaipusam berakar dari kisah dalam Skanda Purana, di mana Dewa Murugan menerima tombak sakral (Vel) dari ibunya, Dewi Parvati, untuk mengalahkan iblis Soorapadman. Kemenangan Murugan atas kejahatan ini menjadi simbol keberanian dan pengorbanan, yang kemudian diwujudkan dalam ritual Thaipusam oleh umat Hindu Tamil.
Festival ini pertama kali dirayakan di Batu Caves, Malaysia, pada tahun 1888, dan sejak itu menjadi salah satu pusat perayaan Thaipusam terbesar di dunia. Di berbagai negara dengan komunitas Tamil yang signifikan, seperti India, Sri Lanka, Singapura, dan Indonesia, Thaipusam berkembang menjadi ritual yang mencerminkan devosi mendalam dan pengorbanan spiritual.


Dalam praktiknya, Thaipusam melibatkan prosesi panjang menuju kuil Murugan, di mana para penganut membawa kavadi, sebuah struktur hiasan yang melambangkan beban fisik dan spiritual. Beberapa peserta juga melakukan mortifikasi diri, seperti menusuk kulit dan lidah mereka dengan vel, sebagai bentuk pengorbanan dan nazar kepada Dewa Murugan. Ritual ini dianggap sebagai cara untuk membersihkan dosa dan mencapai keberkahan.

Teori Liminalitas Victor Turner dan Kisah-Kisah di Baliknya
Victor Turner dalam bukunya The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (1969) mengembangkan konsep liminalitas sebagai fase transisi dalam ritus perjalanan manusia.

Dalam ritual, peserta sering mengalami suatu kondisi ambang di mana mereka berada di antara status lama dan status baru, melewati tahap yang penuh tantangan sebelum mencapai transformasi. Turner menyebut ini sebagai anti-struktur, yaitu momen ketika norma-norma sosial biasa dilepaskan, memungkinkan individu mengalami perubahan mendalam dalam kesadaran spiritual dan komunitas.

Dalam perspektif antropologi, setiap ritual memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar tindakan keagamaan. Victor Turner dalam The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (1969) menggambarkan ritual sebagai ruang liminal dimensi di mana individu tidak lagi terikat oleh status sosial mereka sebelumnya dan mengalami transformasi spiritual. Ritual seperti Thaipusam memberi para pesertanya kesempatan untuk melepaskan diri dari batasan duniawi dan memasuki realitas baru yang penuh makna dan komitmen terhadap keyakinan mereka.


Thaipusam adalah contoh nyata dari proses liminal ini. Mereka yang berpartisipasi dalam ritual, terutama pemikul kavadi dan penusuk vel, meninggalkan identitas sehari-hari mereka sebagai individu biasa dan masuk ke dalam dunia sakral di mana mereka mengalami penderitaan fisik sebagai bagian dari perjalanan spiritual. Dalam konteks Turner, Thaipusam tidak hanya menjadi perayaan keagamaan, tetapi juga sebuah ritus transformasi, di mana peserta melepaskan status duniawi mereka dan bergerak menuju keadaan spiritual yang lebih tinggi.


Untuk memahami lebih dalam, mari kita bayangkan seorang bapak paruh baya yang berjalan kaki belasan kilometer, memanggul kavadi berat yang dihiasi bulu merak. Keringat membanjiri wajahnya, namun matanya memancarkan keteguhan. Mungkin ia adalah seorang pedagang kecil di pasar yang sehari-hari disibukkan oleh hitung-hitungan untung rugi. Namun, di hari Thaipusam, semua beban duniawi itu seolah lenyap. Ia hanya seorang penganut yang taat, mengucap janji kepada Dewa Murugan, berharap kesembuhan untuk anaknya yang sakit atau keberkahan bagi keluarganya. Pengorbanan fisiknya menjadi jembatan menuju ketenangan batin, sebuah cara untuk merasakan kehadiran ilahi yang begitu nyata.

Prosesi Ritual dan Fase Liminal dalam Thaipusam

Detik-Detik Transenden Pada hari Thaipusam, peserta memulai prosesi panjang menuju kuil Murugan, sering kali dengan membawa kavadi struktur berat yang dihiasi dengan bunga dan bulu merak sebagai simbol pengorbanan. Sebagian peserta memilih bentuk nazar yang lebih ekstrem, seperti menusukkan vel (tombak kecil) ke kulit mereka atau berjalan dengan punggung tertusuk kait baja. Dalam tahap ini, mereka berada dalam fase liminal, yaitu kondisi di mana batas antara diri fisik dan spiritual menjadi kabur.


Menurut Turner, individu dalam fase liminal berada dalam kondisi yang rentan namun penuh potensi transformasi. Pengorbanan fisik dalam Thaipusam bukanlah tindakan sadisme, tetapi sebuah bentuk penghancuran ego dan keterhubungan dengan energi ilahi. Dalam keadaan ini, peserta mengalami semacam komunitas liminal, yang disebut Turner sebagai communitas yaitu solidaritas mendalam yang terbentuk antara mereka yang bersama-sama menjalani pengalaman liminal.


Bayangkan seorang pemuda yang baru pertama kali menusuk pipinya dengan vel. Rasa sakit pasti ada, namun ada dorongan spiritual yang jauh lebih besar. Keluarganya, teman-teman, dan bahkan orang asing yang berdiri di sepanjang jalan memberikan dukungan moral. Sorak-sorai dan lantunan doa mengiringi setiap langkah mereka. Ada getaran energi yang aneh di udara, perpaduan antara ketegangan, iman, dan kelegaan saat mereka berhasil melewati setiap rintangan. Bagi mereka, rasa sakit fisik adalah pengorbanan kecil dibanding dengan ketenangan spiritual yang akan mereka dapatkan, sebuah bentuk permohonan maaf atau syukur yang mendalam kepada Dewa Murugan. Ini adalah momen di mana mereka merasa paling dekat dengan Yang Ilahi, sebuah pengalaman yang akan terukir dalam memori mereka seumur hidup.

Komunitas dan Transformasi Sosial: Ikatan yang Menguat
Selain dimensi spiritual, Thaipusam juga berfungsi sebagai sarana memperkuat identitas dan solidaritas komunitas Tamil di Medan. Prosesi ini bukan hanya tentang perjalanan individu, tetapi juga tentang kolektivitas. Konsep communitas yang dikemukakan Turner sangat terlihat dalam Thaipusam, di mana individu-individu yang menjalani ritual menjadi bagian dari suatu hubungan yang melampaui batas kasta, status ekonomi, dan identitas sosial sehari-hari.


Dalam komunitas Hindu Tamil di Medan, Thaipusam tidak hanya menjadi simbol pengabdian kepada Dewa Murugan, tetapi juga simbol resistensi budaya, mempertahankan tradisi mereka dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Dalam perspektif Turner, ini menunjukkan bagaimana ritual dapat berfungsi sebagai alat pemulihan identitas kolektif, terutama bagi kelompok minoritas.


Ketika ribuan orang berbaris bersama, berpeluh, bernyanyi, dan mendukung satu sama lain, terciptalah ikatan yang melampaui sekat-sekat sosial. Seorang dokter mungkin berjalan di samping seorang tukang becak, seorang ibu rumah tangga di samping seorang pekerja pabrik. Di mata Dewa Murugan, mereka semua setara, hanya penganut yang mengemban janji suci. Suasana kekeluargaan dan persatuan begitu terasa, sebuah momen di mana identitas pribadi melebur menjadi identitas komunal yang lebih besar dan kuat. Setelah ritual selesai, mereka kembali ke kehidupan masing-masing, namun dengan semangat baru dan ikatan komunitas yang semakin erat, membawa pulang cerita-cerita tentang ketahanan dan iman yang akan mereka wariskan kepada generasi selanjutnya.

Kesimpulan
Thaipusam di Medan bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi sebuah perjalanan liminal yang memungkinkan peserta mengalami transformasi spiritual dan sosial. Dalam pandangan Victor Turner, momen-momen seperti ini memberikan kesempatan bagi individu untuk melepaskan identitas lama mereka dan memasuki dunia baru yang penuh makna. Thaipusam, dengan segala elemen penderitaan, pengorbanan, dan devosi yang terkandung di dalamnya, adalah contoh nyata bagaimana ritual dapat menjadi jalan menuju pembaruan spiritual, baik bagi individu maupun komunitas.


Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh perbedaan politik, agama, dan ideologi, Thaipusam hadir sebagai simbol kuat tentang devosi, pengorbanan, dan solidaritas komunitas. Ritual ini bukan hanya ekspresi keagamaan dari umat Hindu Tamil, tetapi juga sebuah cerminan tentang bagaimana manusia menggunakan simbol dan tindakan ritual untuk membangun hubungan dengan yang sakral, sekaligus memperkuat ikatan sosial dalam komunitas mereka.


Namun, dalam konteks masyarakat yang semakin majemuk, penting untuk melihat Thaipusam bukan hanya sebagai ritual keagamaan bagi Hindu Tamil, tetapi juga sebagai manifestasi nyata dari keragaman budaya yang perlu dihormati. Keragaman ini bukan sekadar keberadaan berbagai kelompok etnis dan agama dalam satu wilayah, tetapi juga mencerminkan kebebasan ekspresi spiritual yang menjadi bagian dari hak asasi manusia. Sebagai masyarakat yang hidup berdampingan dalam perbedaan, kita harus memahami bahwa ritual seperti Thaipusam adalah bagian dari warisan budaya dunia, yang menunjukkan bahwa manusia memiliki berbagai cara untuk merayakan kehidupan dan hubungan mereka dengan hal-hal yang transenden.


Sayangnya, dalam beberapa kasus, ritual keagamaan sering kali menjadi sasaran stigma atau bahkan diskriminasi oleh kelompok yang tidak memahami maknanya. Pengorbanan fisik seperti menusuk kulit dengan vel dalam Thaipusam sering kali dilihat sebagai tindakan ekstrem oleh mereka yang tidak memahami konteks ritualnya. Padahal, dalam studi antropologi, tindakan ini memiliki makna pengorbanan spiritual, bukan bentuk penyiksaan diri. Ritual seperti Thaipusam menantang perspektif kita tentang apa yang dianggap “normal” dalam praktik keagamaan dan membuka ruang bagi dialog lintas budaya yang lebih inklusif.
Sebagai masyarakat yang hidup dalam keberagaman, kita tidak perlu mengalami ritual orang lain agar bisa menghormatinya. Thaipusam mengajarkan bahwa meskipun setiap kelompok memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan spiritualitasnya, hak untuk menjalankan tradisi ini adalah bagian dari identitas komunitas yang perlu dihormati. Menghormati Thaipusam berarti mengakui bahwa keberagaman bukanlah ancaman, tetapi kekayaan yang memperkuat nilai-nilai kemanusiaan kita.

Tag

error: Content is protected !!