Opini: Grand Design Konflik Modern: Aceh Diujung Tanduk Teritorial

Opini: Grand Design Konflik Modern: Aceh Diujung Tanduk Teritorial

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Sofyan, S.Sos – Analis Politik dan Kebijakan

Dua dekade telah berlalu sejak MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, namun tantangan terhadap komitmen damai itu terus bergulir. Terbaru, Peta publik Aceh kembali dikejutkan oleh isu penambahan enam batalion TNI di sejumlah kabupaten/kota di Aceh, yakni di Singkil, Nagan Raya, Pidie, Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Aceh Timur. Proyek pembangunan fasilitas untuk batalion-batalion ini bahkan sudah memasuki tahap tender dan penentuan pemenang, dengan nilai kontrak yang mencapai puluhan miliar rupiah.

Ironisnya, rencana ini muncul tanpa adanya proses konsultasi resmi dengan Pemerintah Aceh dan DPRA, sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 8 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Padahal, Pasal tersebut menyebutkan bahwa “rencana pembentukan undang-undang dan kesepakatan internasional yang berkaitan langsung dengan Aceh wajib dilakukan melalui konsultasi dengan Pemerintah Aceh dan mendapat pertimbangan dari DPRA.”

Mekanisme konsultasi itu telah diatur secara teknis dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2008, yang mengatur tata cara konsultasi terkait kebijakan yang berdampak langsung pada Aceh, termasuk rencana administratif, legislasi, dan pertahanan.

Pertanyaannya, apakah rencana penambahan enam batalion TNI ini sudah melalui mekanisme tersebut? Jika tidak, maka jelas bahwa Pemerintah Pusat sedang melanggar kesepakatan yang dibuatnya sendiri. Lebih dari itu, hal ini juga berpotensi menyalahi MoU Helsinki poin 4.11, yang menyebutkan bahwa jumlah pasukan organik TNI yang diperbolehkan berada di Aceh hanya 14.700 personel.

Jika pemerintah pusat sendiri yang melanggar undang-undang yang dibuatnya, maka ini bukan hanya bentuk inkonsistensi, tapi juga penghinaan terhadap semangat perdamaian yang dibangun dengan susah payah.”

Kita tidak boleh Puas Koordinasi Lintas Sektoral Menjaga Garis Batas Lemah

Tanpa strategi nasional yang terintegrasi dan berpandangan jauh ke depan, Aceh hanya akan menjadi panggung pemain dalam peta kekuatan Indonesia.

Di era informasi, narasi adalah senjata. Penguasaan data adalah bentuk kedaulatan yang baru untuk masyarakat Aceh.

Aceh saat ini, memerlukan sistem perlindungan yang berbasis jaringan, yang mampu mengintegrasikan sistem informasi, komunikasi, dan pengambilan keputusan secara real time.

Kita memerlukan strategi komunikasi nasional, bukan sekadar untuk pencitraan, tetapi untuk membangun legitimasi, kepercayaan masyarakat, dan citra internasional yang kuat.

“Serangan bisa datang dalam bentuk disinformasi, peretasan, atau manipulasi data—semuanya tanpa suara tembakan.”

Kini, yang lebih menentukan adalah siapa yang paling cepat membentuk persepsi, menguasai narasi, dan menjaga sistem informasinya dari sabotase.

Perang tidak lagi hanya berlangsung di parit dan laut, tetapi juga di layar radar dan layar ponsel.

Refleksi untuk Elit Aceh Bicaralah !

Sayangnya, hingga kini tidak ada penjelasan terbuka dari Pemerintah Aceh maupun DPRA terkait isu ini. Apakah mereka telah dilibatkan? Apakah mereka telah menyetujui rencana ini? Jika iya, atas dasar apa?

Diperlukan doktrin strategi nasional yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga kontekstual. Perlu adanya sinergi antara strategi pertahanan, diplomasi secara kolektif elite politik DPR Aceh dan kemampuan penguasaan teknologi dalam satu kesatuan kebijakan NKRI.

Transparansi publik menjadi penting, agar tidak ada dusta antara rakyat Aceh dengan elit-elitnya. Sebab, kalaupun alasan penambahan pasukan ini adalah untuk “kepentingan nasional”, maka perlu disampaikan dengan terang dan disertai dasar hukum serta urgensinya. Kalau tidak, publik Aceh pantas untuk curiga bahwa ini adalah agenda terselubung yang tidak mewakili kepentingan rakyat, melainkan hanya menguntungkan segelintir elit tertentu.

Bahwa kekuatan nasional tidak terletak semata-mata pada alutsista, tetapi pada kecerdasan strategis kolektif bangsa. Kita perlu lebih banyak membangun lembaga think tank yang independen, memperkuat penelitian pelestarian, dan membina generasi muda agar memiliki visi strategis dalam menjaga konservasi. Termaksud Legislatif – Eksekutif – Yudikatif dan elemen sipil.

Isu Pemekaran dan Kedaulatan Aceh

Selain soal penambahan batalion, isu seksi yang mengemuka adalah pemekaran wilayah Aceh, termasuk wacana pembentukan Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan) – Provinsi Samudra Pase, Elite lokal hingga bersekongkol Jika benar sudah ada rekomendasi atau sikap dari DPRA, maka hal itu pun perlu dibuka ke publik.

Apalagi ketegangan stratak geopolitik dan ekonomi, wilayah-wilayah yang dimaksud sudah sering disebut-sebut sebagai kawasan yang layak secara administratif. Namun tetap saja, prosesnya harus dilakukan melalui mekanisme hukum dan konsultasi publik yang terbuka.

Jangan sampai semua kebijakan yang menyangkut Aceh-baik soal pasukan militer maupun pemekaran daerah- dijalankan dengan pendekatan Jakarta-sentris yang mengabaikan prinsip “konsultatif” sebagaimana dijamin dalam UUPA.

“Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 bukan milik Aceh, tapi milik Republik yang mengatur Aceh. Ketika pemerintah pusat mengabaikannya, maka secara tidak langsung mereka sedang mengabaikan kedaulatan hukum negara sendiri di wilayah Aceh.”

Mengembalikan Kepercayaan Rakyat

Rakyat Aceh tidak menolak pembangunan, keamanan, atau reformasi kelembagaan. Namun, semua itu harus ditempuh melalui jalur konstitusional dan kesepakatan bersama, bukan dengan mengulang praktik sentralistik ala Orde Baru.

Agar para pihak yang terdepan dari informasi yang disampaikan dapat menerima dan memahaminya.

Oleh karena itu, saya mendesak:

1. Pemerintah Aceh dan DPRA untuk menyampaikan secara terbuka posisi mereka terhadap penambahan batalion dan isu pemekaran.

2. Pemerintah Pusat agar menunda seluruh proses pembangunan batalion hingga dilakukan konsultasi sesuai ketentuan Pasal 8 UUPA.

3. Lembaga masyarakat sipil dan media lokal agar aktif melakukan kontrol sosial, agar tidak terjadi praktik kebijakan diam-diam yang merugikan rakyat.

Karena ketika suara rakyat dibungkam dan aturan dilanggar oleh pembuatnya sendiri, maka tidak ada yang tersisa dari demokrasi kecuali nama.

Menakar Pro dan Kontra Pemekaran Sebagai Resolusi Konflik

Papua tolak pemekaran provinsi baru memakan korban jiwa: Tidak dilibatkan, akan terasing, dan ancaman konflik horizontal.

Gelombang penolakan wacana pemekaran atau daerah otonomi baru (DOB) di Papua diprediksi semakin besar dan berpotensi menciptakan konflik horizontal jika pemerintah pusat secara sepihak memaksa wacana tersebut.

Pemerintah RI harus belajar raodmap dari konsep penanganan konflik Papua bahwa pemekaran wilayah bukan sebuah solusi yang selektif untuk menjawab akar masalah rakyat.

Kita tidak boleh puas hanya menjaga garis batas. Kita harus mulai menjaga jaringan—jaringan sistem, jaringan informasi, dan jaringan kesadaran kolektif bangsa.

Karena dominasi masa depan dimenangkan bukan hanya oleh siapa yang paling kuat, namun oleh siapa yang paling sadar dan siap.

Kita melihat bagaimana Vietnam menang karena berhasil menggoyahkan opini publik global.

Kita menyaksikan India–Pakistan saling beradu narasi untuk mendapatkan keunggulan meski fakta di lapangan masih diperdebatkan.

Dan kini, kekuatan dunia membangun komando informasi nasional untuk menjaga legitimasi negara dan memperkuat posisi diplomasi.

Kruue Seumangat !!!

Tag

error: Content is protected !!