Opini: TA Khalid dan Janji Helsinki yang Belum Tuntas: Saatnya Aceh Bicara Tegas

Opini: TA Khalid dan Janji Helsinki yang Belum Tuntas: Saatnya Aceh Bicara Tegas

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh. Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Ada saatnya kita diam. Ada saatnya kita bicara. Dan hari ini, Aceh harus bicara. Dua dekade telah berlalu sejak tinta perdamaian ditorehkan di Helsinki. MoU 2005 bukan sekadar dokumen diplomatik—ia adalah janji. Janji bahwa darah akan diganti dengan dialog, senjata dengan suara, dan luka dengan keadilan. Tapi apa jadinya jika janji itu dikhianati oleh kelambanan negara sendiri?

Di tengah sunyi politik nasional, satu suara dari Aceh menggema lantang: TA Khalid. Ia bukan politisi biasa. Ia adalah anak Aceh, sahabat masa sekolah saya di Lhokseumawe—seorang yang saya kenal sebagai setia kawan, jujur, berani, apa adanya, sopan, ramah, dan cerdas. Nilai-nilai itu bukan sekadar kenangan masa kecil, tapi fondasi keberaniannya hari ini.

Ketika Yang Lain Diam, TA Khalid Berdiri

TA Khalid tidak menunggu angin politik berhembus. Ia menantang badai. Di Senayan, ia bersuara lantang: UUPA 2006 harus direvisi, bukan dikurangi, tapi disempurnakan sesuai MoU Helsinki. Ia tahu betul bahwa banyak pasal dalam UUPA adalah bayang-bayang, bukan cerminan. Ia tahu bahwa Aceh tidak butuh basa-basi, tapi keberanian. Dan keberanian itu ia tunjukkan. Bukan demi popularitas. Bukan demi jabatan. Tapi demi janji yang belum ditepati.

Revisi Bukan Ancaman, Tapi Amanah

Ada yang takut pada kata “revisi”. Mereka khawatir Aceh akan kehilangan. Tapi TA Khalid melihat sebaliknya: revisi adalah jalan untuk menagih janji, bukan untuk menghapus hak. Ia mengajak semua elemen Aceh—DPRA, Partai Aceh, KPA—untuk bersatu dalam satu proposal politik. Bukan proposal elite, tapi proposal rakyat.

Ia tahu bahwa revisi yang dilakukan tanpa suara Aceh adalah pengkhianatan. Maka ia berdiri, bukan sebagai anggota DPR semata, tapi sebagai anak Aceh yang tidak lupa asalnya.

TA Khalid sadar betul akan bahaya revisi yang dilakukan sepihak. Ia menolak keras model revisi yang menghapus substansi, seperti yang terjadi di Papua. Aceh bukan objek eksperimen. Aceh adalah subjek sejarah. Dan sejarah itu harus ditulis dengan tinta keadilan, bukan koreksi sepihak.

Penutup: Saatnya Kita Berdiri Bersama

TA Khalid telah memilih jalannya. Jalan yang tidak mudah. Jalan yang penuh risiko. Tapi jalan yang benar. Sebagai sahabatnya, saya tahu keberanian itu bukan topeng politik. Itu adalah jati dirinya. Dan sebagai rakyat Aceh, kita punya kewajiban untuk berdiri bersamanya. Bukan untuk memuja, tapi untuk menjaga. Menjaga agar janji Helsinki tidak menjadi fosil sejarah, tapi napas masa depan.

Aceh tidak meminta lebih. Aceh hanya menuntut apa yang sudah dijanjikan. Dan TA Khalid adalah suara yang mengingatkan kita semua: janji harus ditepati.