Tolak Domino Jadi Cabor Resmi di Aceh : Analisis Budaya dan Tradisi Masyarakat Aceh dalam Penerimaan dan Penghormatan terhadap Tradisi Lokal

Tolak Domino Jadi Cabor Resmi di Aceh : Analisis Budaya dan Tradisi Masyarakat Aceh dalam Penerimaan dan Penghormatan terhadap Tradisi Lokal

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

 

Oleh : Early Ridho Kismawadi
Dosen IAIN Langsa Ketua Program Studi Magister (S2) Hukum Ekonomi Syariah

MediaKontras.id | Polemik mengenai penolakan permainan domino menjadi cabang olahraga (cabor) resmi di Aceh menarik perhatian banyak kalangan. Keputusan tersebut tidak hanya berbicara soal dunia olahraga, tetapi juga menyentuh ranah yang lebih dalam, yakni budaya dan tradisi masyarakat Aceh. Aceh, yang dikenal dengan identitas kultural dan keagamaannya yang kuat, menyimpan nilai-nilai tradisional yang tak bisa begitu saja diabaikan dalam proses modernisasi, termasuk dalam hal pengakuan terhadap sebuah cabor.

Penerimaan atau penolakan terhadap domino sebagai cabor resmi di Aceh tidak hanya menyangkut soal permainan itu sendiri, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana masyarakat Aceh melihat hubungan antara olahraga dengan nilai-nilai budaya dan tradisi yang selama ini dijunjung tinggi. Dalam konteks ini, penting untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana domino sebagai sebuah aktivitas rekreasi dapat berhadapan dengan prinsip-prinsip lokal yang ada di Aceh.

Domino dan Tradisi Aceh: Sebuah Kontradiksi Budaya?
Aceh dikenal sebagai daerah dengan kekayaan budaya dan tradisi yang sangat kental, terutama yang berhubungan dengan Islam dan adat istiadat. Dalam tradisi Aceh, aspek sosial dan agama sangat mempengaruhi cara masyarakat menjalani kehidupan sehari-hari. Adat dan agama Aceh memandang segala bentuk perilaku, termasuk bentuk hiburan atau permainan, dengan sudut pandang yang cermat dan selektif.

Domino, meskipun populer di banyak kalangan, bisa dilihat dari dua perspektif yang berbeda di Aceh. Di satu sisi, domino sering dianggap sebagai bentuk hiburan ringan namun ada juga persepsi bahwa domino bisa berpotensi membawa dampak negatif jika dikaitkan dengan perjudian. Dalam banyak kasus, permainan ini sering disalahgunakan sebagai ajang taruhan, yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat Aceh. Oleh karena itu, kekhawatiran terkait domino sebagai cabang olahraga resmi di Aceh sangat terkait dengan bagaimana masyarakat memandang potensi negatif yang bisa muncul jika permainan ini dibiarkan berkembang tanpa pengawasan yang ketat. Di sinilah muncul konflik antara modernisasi dan pengaruh tradisi lokal.

Masyarakat Aceh dan Penghormatan terhadap Tradisi Lokal
Masyarakat Aceh memiliki sejarah panjang dalam memelihara dan menghormati tradisi lokal. Keberagaman budaya yang dimiliki masyarakat Aceh tidak hanya terlihat dalam aspek kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam bagaimana mereka melihat kebijakan-kebijakan baru yang datang, terutama yang berkaitan dengan identitas kultural mereka. Dalam hal ini, penghormatan terhadap nilai-nilai lokal menjadi sangat penting, dan masyarakat Aceh cenderung lebih selektif dalam menerima perubahan yang datang, apalagi jika perubahan tersebut dianggap bertentangan dengan norma yang telah lama berlaku.

Masyarakat Aceh memiliki pandangan yang sangat menghargai nilai keagamaan dan adat yang telah diwariskan secara turun-temurun. Dalam setiap kebijakan yang diambil, ada kecenderungan untuk mempertimbangkan terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan adat Aceh. Oleh karena itu, penolakan terhadap domino sebagai cabang olahraga resmi tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan ini. Banyak pihak yang berpendapat bahwa domino, sebagai permainan yang berpotensi menimbulkan masalah sosial, tidak sesuai dengan budaya dan tradisi Aceh yang lebih menjunjung tinggi nilai keagamaan dan sosial.

Sebagai contoh, Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariat Islam. Prinsip-prinsip syariat Islam sangat mengatur kehidupan masyarakat Aceh, tidak hanya dalam hal ibadah, tetapi juga dalam aspek sosial, budaya, dan hukum. Hukum syariat Islam di Aceh memandang judi, baik yang dilakukan secara terbuka maupun tersembunyi, sebagai tindakan yang dilarang. Oleh karena itu, jika domino diterima sebagai cabang olahraga resmi, ada kekhawatiran bahwa permainan ini bisa berubah menjadi ajang perjudian yang merusak tatanan sosial dan moral masyarakat.

Domino sebagai Cabang Olahraga Resmi: Sebuah Tantangan dalam Modernisasi
Ada argumen yang mengatakan bahwa domino, sebagai permainan yang sederhana dan mengandalkan strategi, seharusnya dilihat dari perspektif yang berbeda. Sebagai olahraga, domino dapat dimainkan dengan tujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kemampuan analisis, dan ketangkasan sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. Domino, jika dipandang dari sudut pandang yang lebih terbuka, dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan keterampilan kognitif dan sosial bagi para pemainnya. Oleh karena itu, menjadikannya sebagai cabang olahraga resmi bisa menjadi langkah yang lebih progresif dalam menghadapi era modernisasi, di mana olahraga tidak hanya terbatas pada aktivitas fisik semata, tetapi juga mencakup olahraga otak.

Namun, penerimaan terhadap domino sebagai cabor resmi di Aceh tetap memerlukan pendekatan yang hati-hati, mengingat adanya potensi konflik dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Untuk itu, perlu adanya dialog terbuka antara pihak yang mendukung domino sebagai cabang olahraga resmi dengan kelompok yang khawatir akan dampak negatifnya. Dialog ini penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tetap memperhatikan dan menghormati tradisi dan budaya lokal, sambil juga membuka ruang untuk modernisasi yang tidak merusak tatanan sosial dan moral yang telah lama berlaku.

Kesimpulan
Polemik penolakan terhadap domino sebagai cabang olahraga resmi di Aceh bukan hanya soal permainan itu sendiri, tetapi lebih kepada bagaimana permainan tersebut dipandang dalam konteks budaya dan tradisi masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan adat sangat berhati-hati dalam menerima perubahan, terutama yang menyangkut aspek hiburan dan sosial. Domino, yang sering diasosiasikan dengan perjudian, menjadi simbol ketidakpastian dalam modernisasi dan kebijakan baru.
Namun, dalam era globalisasi dan modernisasi, perlu ada ruang untuk adaptasi dan perubahan. Domino, sebagai permainan yang mengandalkan strategi, dapat dilihat sebagai salah satu bentuk olahraga yang tidak hanya melibatkan fisik, tetapi juga pikiran. Dengan pendekatan yang bijaksana dan terbuka, mungkin ada jalan tengah yang dapat ditemukan, yang menghormati nilai-nilai lokal sekaligus membuka peluang untuk perkembangan olahraga yang lebih inklusif di Aceh. Dialog antara pihak yang berseberangan akan menjadi kunci dalam menemukan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak tanpa mengorbankan identitas budaya dan tradisi Aceh yang telah lama ada.