Oleh: Al Chaidar
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe – Aceh
Serangan bom di SMAN 72 Kelapa Gading pada 7 November 2025 menunjukkan indikasi kuat adanya inspirasi ideologis dari pelaku teror internasional, khususnya Brenton Tarrant — pelaku penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru, tahun 2019. Tulisan dan frasa yang ditemukan di lokasi memiliki kemiripan dengan manifesto Tarrant, The Great Replacement, yang sarat dengan retorika islamofobia dan supremasi kulit putih.
Berdasarkan lokasi (masjid sekolah), waktu (salat Jumat), dan korban (siswa dan guru), indikasi awal memperlihatkan bahwa motif utama serangan lebih mengarah pada konflik internal yang termanifestasi sebagai aksi kriminal terinspirasi ideologi global, bukan operasi teror terorganisir.
Pelaku diduga siswa yang mengalami tekanan sosial dan psikologis di lingkungan sekolah. Penggunaan bom rakitan dan senjata mainan menunjukkan improvisasi individu, bukan dukungan logistik dari jaringan teror.
Motif dan Pola Imitasi Ideologis
Tulisan yang menyerupai frasa dari manifesto Tarrant menandakan pelaku kemungkinan terpapar konten ekstremis secara daring. Dalam konteks ini, pelaku mungkin tidak memahami sepenuhnya ideologi yang diadopsi, melainkan meniru simbol, bahasa, dan gaya dari pelaku teror global.
Pemilihan waktu salat Jumat dan lokasi masjid dapat dipahami sebagai bentuk provokasi terhadap komunitas Muslim. Namun, karena pelaku merupakan bagian dari lingkungan sekolah sendiri, tindakan ini lebih tepat dibaca sebagai ekspresi konflik internal dengan nuansa ideologis imitasi.
Belum ada bukti bahwa pelaku tergabung dalam jaringan teror. Namun, symbolic alignment—yakni peniruan simbol dan nama Brenton Tarrant—menunjukkan adanya upaya mengidentifikasi diri dengan figur ekstremis global untuk memberi makna pada tindakannya.
Analisis Forensik dan Psikologis yang Diperlukan
1. Audit digital forensik: menelusuri perangkat dan aktivitas daring pelaku untuk mengidentifikasi jejak radikalisasi online.
2. Pendekatan psikologis dan sosial: memahami latar tekanan, isolasi sosial, dan perundungan yang mungkin dialami pelaku.
3. Analisis simbolik dan linguistik: mengidentifikasi sejauh mana pelaku meniru narasi ekstremis global secara sadar.
Motif utama tampaknya berakar pada tekanan psikososial, diperkuat oleh pengaruh transnasional melalui radikalisasi daring dan pola copycat.
Manifesto Brenton Tarrant dan Jejak Narasinya
Brenton Tarrant menulis manifesto berjudul The Great Replacemen berisi teori konspirasi demografis dan retorika kebencian terhadap Muslim. Beberapa frasa yang sering ditiru antara lain:
“The Great Replacement” – keyakinan bahwa populasi kulit putih sedang “digantikan” oleh Muslim dan imigran.
“It’s the birthrates” – penekanan berulang tentang angka kelahiran sebagai ancaman eksistensial.
“Rage, rage against the dying of the light” – kutipan dari puisi Dylan Thomas untuk membenarkan kekerasan.
“To create conflict, to incite violence, to destabilize” – tujuan eksplisit untuk memicu kekacauan sosial.
“I am just a regular white man” – normalisasi ekstremisme sebagai reaksi “wajar” terhadap perubahan sosial.
Frasa-frasa ini bukan sekadar slogan, tetapi instrumen propaganda yang sengaja dirancang untuk memancing imitasi dan kekerasan serupa di berbagai negara.
Tanggal-Tanggal Simbolik dalam Manifesto
Tarrant menggunakan tanggal-tanggal historis untuk memberi bobot ideologis dan memancing aksi tiruan (copycat violence):
1. 15 Maret 2019 – serangan Christchurch, disebut “hari aksi”.
2. 22 Juli 2011 – serangan Anders Breivik di Norwegia, dijadikan inspirasi ideologis.
3. 11 September 2001 (9/11) – dijadikan simbol “perang peradaban” antara Barat dan Islam.
4. 12 Oktober 2002 (Bom Bali) – disebut sebagai “contoh” serangan ekstremis Islam di Asia Tenggara.
5. Peristiwa historis lain – seperti penaklukan Konstantinopel (1453) dan pembunuhan Ebba Åkerlund (2017) di Swedia.
Tanggal-tanggal tersebut berfungsi sebagai legitimasi tindakan, narasi kesinambungan ideologis, dan pemicu aksi serupa.
Radikalisasi Daring dan Gamifikasi Kekerasan
Radikalisasi melalui dunia digital menjadi jalur utama penyebaran ideologi ekstremis saat ini. Platform seperti 4chan, 8kun, Reddit, dan Telegram berperan dalam menyebarkan manifesto, meme, dan narasi kebencian.
Algoritma media sosial memperkuat bias pengguna, mempertemukan individu rentan dengan konten ekstrem. Brenton Tarrant bahkan menyiarkan serangannya secara langsung layaknya permainan video bentuk gamifikasi kekerasan yang sangat mempengaruhi generasi muda.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kekerasan dapat muncul dari pertemuan antara luka sosial, krisis identitas, dan paparan simbol ekstremis daring.
Pengaruh Transnasional dan Pola Copycat
Kasus bom SMAN 72 dapat dikategorikan sebagai bentuk “stochastic terrorism” atau “lone actor violence”—kekerasan oleh individu yang terinspirasi narasi ekstremis tanpa afiliasi langsung.
Seperti Tarrant yang mengutip pelaku lain (Anders Breivik, Alexandre Bissonnette), pola imitasi lintas negara ini menunjukkan:
Inspirasi dan glorifikasi antar pelaku.
Narasi global tentang “perang peradaban”.
Penggunaan simbol dan frasa seragam yang menandakan ekosistem ideologis digital.
Dalam konteks Indonesia, hal ini membuktikan bahwa radikalisasi global telah menembus ruang sosial anak muda melalui internet.
Meskipun sekolah bukan target utama kelompok teror di Indonesia, pergeseran pola menuju aksi individual menuntut kewaspadaan baru. Pendekatan penanganan tidak cukup dengan keamanan fisik, tetapi juga mencakup:
Literasi digital dan ideologis di lingkungan sekolah. Pendampingan psikososial terhadap siswa dengan tanda isolasi atau perilaku ekstrem. Kerja sama antara aparat, psikolog, dan institusi pendidikan untuk deteksi dini.
Serangan di SMAN 72 bukan sekadar tindak kriminal spontan, melainkan ekspresi kompleks dari konflik internal yang terhubung dengan pengaruh ideologis transnasional.
Kasus ini menegaskan bahwa radikalisasi tidak lagi berbentuk rekrutmen langsung, melainkan melalui inspirasi digital dan imitasi simbolik.
Upaya pencegahan harus bersifat multidisipliner – menggabungkan analisis forensik digital, pendekatan psikologis, pendidikan literasi media, dan kebijakan publik yang memperkuat daya tahan sosial terhadap narasi kebencian.






