Lhokseumawe, MediaKontras.id | Pernyataan Anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang mempertanyakan capaian Otonomi Khusus (Otsus) Aceh selama 20 tahun terakhir, dinilai perlu ditempatkan dalam konteks yang tepat. Pertanyaan “20 tahun sudah bikin apa?” menurut para pengamat berpotensi menyederhanakan kompleksitas persoalan Aceh jika tidak disertai analisis kebijakan yang komprehensif.
Pemerhati Kebijakan Publik, Sofyan, menegaskan bahwa evaluasi Otsus Aceh harus dilakukan melalui pendekatan diagnosa kebijakan (policy diagnosis), bukan narasi saling menyalahkan. Ia menilai penggunaan Dana Otsus yang mencapai sekitar Rp100 triliun dalam dua dekade terakhir perlu dievaluasi dengan tolok ukur yang jelas dan objektif.
“Menilai Aceh tidak melakukan apa-apa adalah pendekatan yang bias. Persoalan yang dihadapi Aceh lebih bersifat struktural,” ujarnya.
Sofyan menyebut setidaknya ada tiga faktor utama yang menghambat efektivitas implementasi Otsus:
Desain fiskal yang masih berorientasi pemulihan pascakonflik, belum fokus pada transformasi ekonomi.
Kewenangan Aceh kerap tidak sinkron dengan regulasi sektoral nasional sehingga sejumlah Qanun dibatalkan dan iklim investasi terganggu.
Kelembagaan pemerintahan daerah masih lemah akibat warisan konflik bersenjata.
“Ini bukan sekadar soal tata kelola di Aceh, melainkan persoalan desain kebijakan nasional yang perlu dibenahi,” jelasnya.
Sofyan mengingatkan bahwa keberhasilan Otsus bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh. Konsistensi pemerintah pusat dalam menjalankan MoU Helsinki serta harmonisasi regulasi juga menjadi bagian penting dari evaluasi.
“Tanpa baseline dan indikator yang disepakati bersama antara Aceh dan Jakarta, evaluasi apa pun tidak memiliki dasar ilmiah,” tegasnya.
Menanggapi pernyataan yang menyarankan agar Aceh tidak terus merujuk pada Helsinki, Sofyan menyebut pandangan itu tidak tepat.
“Helsinki bukan slogan. Itu fondasi lahirnya UUPA dan seluruh kerangka hubungan Aceh–Pusat. Mengabaikannya sama saja dengan meniadakan dasar otonomi Aceh,” ujarnya.
Untuk memperkuat masa depan Otsus Aceh, Sofyan mendorong adanya revisi UU Pemerintahan Aceh (UUPA) dengan langkah strategis berikut:
1. Reformulasi skema Dana Otsus yang mendorong kemandirian ekonomi.
2. Harmonisasi UUPA dan UU sektoral agar kewenangan Aceh tidak terus tergerus.
3. Pembentukan lembaga khusus di bawah Presiden untuk memastikan pelaksanaan Otsus tepat sasaran.
4. Penyusunan indikator keberhasilan bersama Aceh–Pusat yang dievaluasi setiap lima tahun.
Menurutnya, kritik publik terhadap perjalanan Otsus Aceh seharusnya menjadi energi positif untuk pembaruan kebijakan demi kepentingan masyarakat.
“Setiap kritik harus mengarah pada solusi, bukan memperkuat stigma bahwa Aceh gagal,” tutupnya.






