Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Banjir besar yang melanda Aceh dan berbagai wilayah Sumatra pada 2025 telah menjadi salah satu tragedi ekologis paling mematikan dalam sejarah Indonesia kontemporer. Ribuan orang meninggal dunia, lebih dari 1,5 juta jiwa mengungsi, dan bentang alam berubah menjadi puing lumpur serta kayu gelondongan. Namun di tengah kehancuran itu, sebuah suara akademik dari Lhokseumawe justru menembus batas-batas diplomasi internasional.
Pada 8 Desember 2025, Nazaruddin, M.A.P., dosen Kebijakan Publik Universitas Malikussaleh, mengirimkan surat protes sekaligus permohonan dialog kepada Uni Eropa. Ia menuntut akuntabilitas atas keterkaitan antara pasar global, regulasi deforestasi, dan kerusakan ekologis yang memicu banjir Sumatra 2025. Surat tersebut, sebagaimana dilaporkan Serambi Indonesia (21 Desember 2025), menegaskan bahwa banjir ini bukanlah bencana alam biasa, melainkan bencana ekologis yang diproduksi secara legal melalui izin-izin resmi dan ekspansi komoditas untuk melayani pasar internasional.
Dalam suratnya, Nazaruddin menunjuk puluhan ribu kayu gelondongan bernomor dan berizin yang hanyut bersama banjir sebagai bukti konkret bahwa kehancuran ini bukan kecelakaan. Ia menyebutnya sebagai kehancuran yang “direncanakan dan dilegalkan”. Kritiknya terhadap European Union Deforestation Regulation (EUDR) menyoroti bagaimana regulasi tersebut terlalu menekankan kepatuhan administratif, sehingga berpotensi menjadi instrumen greenwashing birokratis yang gagal menangkap realitas kerusakan ekologis di lapangan.
Nazaruddin menuntut investigasi independen atas asal-usul kayu tersebut, integrasi data satelit dan pemantauan ekologis dalam mekanisme uji tuntas EUDR, penetapan kawasan Leuser dan Batang Toru sebagai wilayah berisiko sangat tinggi, serta pembentukan forum dialog yang melibatkan masyarakat sipil Aceh. Tuntutan ini menempatkan Uni Eropa bukan sekadar sebagai pembeli pasif, tetapi sebagai aktor yang turut bertanggung jawab dalam rantai kehancuran ekologis global.
Untuk memahami kedalaman kritik ini, analisis antropologis Tania Murray Li dan Pujo Semedi menawarkan kerangka yang sangat relevan. Dalam Plantation Life: Corporate Occupation in Indonesia’s Oil Palm Zone, Li dan Semedi menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan sawit beroperasi sebagai bentuk “pendudukan korporasi”, di mana ruang hidup masyarakat dikuasai secara sistematis dengan negara menyediakan legalitas dan perlindungan bagi korporasi (Li & Semedi, 2021: 44–47).
Dalam rezim seperti ini, hutan tidak sekadar ditebang, melainkan direstrukturisasi menjadi lanskap monokultur yang menghilangkan daya serap air, memutus aliran ekologis, dan menciptakan kondisi ekstrem yang rentan terhadap banjir bandang. Dari perspektif ini, banjir Sumatra 2025 bukanlah anomali, melainkan konsekuensi logis dari model produksi yang menempatkan komoditas global di atas keselamatan ekologis.
Tania Li juga menegaskan bahwa legalitas kerap berfungsi sebagai alat kekuasaan, bukan jaminan keberlanjutan. Dalam Social Impacts of Oil Palm in Indonesia, ia menunjukkan bagaimana “rule by documents” digunakan untuk menormalkan perampasan tanah dan menghapus jejak kekerasan ekologis di lapangan (Li, 2015: 12–15). Kritik Nazaruddin terhadap EUDR sejalan dengan temuan ini: dokumen legal dapat menyamarkan kehancuran ekologis, sehingga produk yang “legal” tetap berasal dari kawasan deforestasi masif. Legalitas, dengan demikian, tidak identik dengan keadilan ekologis.
Lebih jauh, Li juga menyoroti dampak gender dari ekspansi perkebunan. Perempuan sering menjadi kelompok paling terdampak akibat hilangnya akses terhadap hutan, air bersih, dan sumber nafkah rumah tangga (Li, 2015: 28–32). Dalam konteks banjir Sumatra 2025, perempuan menjadi mayoritas pengungsi dan menghadapi risiko kesehatan serta kerentanan sosial yang lebih tinggi. Meski tidak secara eksplisit dibahas dalam surat Nazaruddin, struktur kritiknya selaras dengan analisis Li bahwa bencana ekologis selalu lebih dulu menghantam kelompok paling rentan.
Surat balasan Uni Eropa pada 19 Desember 2025 – sebagaimana dicatat Serambi Indonesia – menyampaikan belasungkawa dan menegaskan komitmen terhadap EUDR sebagai instrumen memerangi deforestasi global. Namun respons tersebut tetap bergerak dalam bahasa diplomasi teknokratis yang menekankan prosedur, konsultasi, dan kepatuhan regulasi. Dari sudut pandang Li dan Semedi, respons semacam ini mencerminkan kecenderungan institusi global mempertahankan kerangka birokratis yang sering kali gagal menangkap kompleksitas penderitaan ekologis masyarakat lokal.
Surat Nazaruddin menjadi brilian bukan hanya karena keberaniannya menuntut akuntabilitas transnasional, tetapi karena ia berhasil menghubungkan bencana lokal dengan struktur ekonomi-politik global yang selama ini dipelihara atas nama legalitas dan pasar. Banjir Sumatra 2025, jika dibaca melalui lensa antropologi politik-ekologis, adalah gejala dari rezim perkebunan yang menempatkan komoditas di atas kehidupan, legalitas di atas keadilan, dan pasar global di atas keselamatan masyarakat lokal.
Dari Lhokseumawe, seorang akademisi mengingatkan dunia bahwa keadilan ekologis bukanlah jargon kebijakan, melainkan tuntutan yang lahir dari penderitaan nyata mereka yang hidup di garis depan krisis lingkungan.






