Dari Tenda Tak Layak ke Meja PBB Jeritan Korban Bencana Aceh
Lhokseumawe, MediaKontras.id | Masyarakat sipil Aceh menyatakan keprihatinan mendalam atas penanganan pascabencana hidrometeorologi yang melanda Provinsi Aceh sejak 26 November 2025. Mereka menilai, hingga satu bulan pascabencana, respons negara belum sepenuhnya mampu menjamin pemenuhan hak-hak dasar para korban, sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam siaran pers yang diterima pada Kamis (26/12/2025), masyarakat sipil Aceh menyebutkan bahwa bencana hidrometeorologi tersebut berdampak luas di 18 kabupaten/kota, 198 kecamatan, dan 3.543 desa. Data Posko Tanggap Darurat Aceh per 23 Desember 2025 mencatat 540.281 kepala keluarga atau 2.017.542 jiwa terdampak, dengan 485 orang meninggal dunia, 474 luka berat, 4.939 luka ringan, serta 31 orang dinyatakan hilang. Sementara itu, 374.827 jiwa terpaksa mengungsi di 2.174 titik pengungsian.
Selain korban jiwa, bencana ini juga menyebabkan kerusakan infrastruktur dan sumber penghidupan secara masif. Tercatat 1.098 titik jalan rusak, 492 jembatan terdampak, dan 124.545 unit rumah mengalami kerusakan, serta puluhan ribu hektare lahan pertanian, perkebunan, dan tambak masyarakat ikut terdampak.
Masyarakat sipil menyoroti kondisi di lapangan yang dinilai masih memprihatinkan. Banyak pengungsi dilaporkan bertahan di tenda darurat yang tidak layak, dengan keterbatasan akses terhadap air bersih, sanitasi, layanan kesehatan, dan pangan. Krisis air bersih bahkan memaksa sebagian warga menggunakan air banjir yang tercemar untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk memasak dan menyiapkan susu bayi.
“Kondisi ini berdampak serius terhadap kesehatan, terutama bagi anak-anak, perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas,” demikian isi pernyataan tersebut.
Situasi tersebut, menurut masyarakat sipil Aceh, menunjukkan bahwa hak-hak dasar korban bencana sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2005, belum terpenuhi secara optimal.
Atas dasar itu, masyarakat sipil Aceh secara resmi telah menyampaikan desakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Human Rights Council) di Jenewa. Mereka meminta dilakukan pemantauan independen atas dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan bencana Aceh serta penyampaian urgent appeal kepada Pemerintah Indonesia agar segera mengambil langkah korektif.
Selain itu, masyarakat sipil juga mendesak dibukanya akses tanpa hambatan bagi bantuan kemanusiaan internasional, mempertimbangkan pengiriman Pelapor Khusus PBB terkait isu perumahan, kesehatan, air bersih, dan pengungsian internal, serta menjamin perlindungan bagi relawan, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan pembela HAM.
Mereka menegaskan bahwa keterlibatan komunitas internasional bukan merupakan bentuk intervensi politik, melainkan bagian dari mandat kemanusiaan universal, khususnya ketika kapasitas nasional dinilai belum mampu merespons krisis berskala besar.
“Bencana tidak boleh menjadi alasan pembiaran terhadap penderitaan rakyat. Negara memiliki kewajiban mutlak untuk hadir dan memastikan hak-hak korban terpenuhi secara bermartabat,” tegas pernyataan tersebut.
Siaran pers ini ditandatangani oleh Cut Meutia atas nama masyarakat sipil Aceh.






