Bakti Sanggar Asri : Edukasi Sang Pengrajin Gerabah untuk Langsa

Penampakan Sanggar Asri dari depan. Foto : Arsip Aulia Fuzi Ramadhani.

Bakti Sanggar Asri : Edukasi Sang Pengrajin Gerabah untuk Langsa

Penampakan Sanggar Asri dari depan. Foto : Arsip Aulia Fuzi Ramadhani.

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Apa yang terlintas di benak kita jika saya menyebut kata Sanggar. Mungkin, sebagian orang membayangkan bangunan berisi peralatan seni yang tersusun rapi, dan sekelompok orang berlatih melukis, menari, serta kegiatan seni lainnya,tempat yang di mana dianggap sebagai wadah bagi mereka yang berbakat dan berminat di bidang seni.

Terkadang, sanggar bisa menjadi tempat hiburan bagi masyarakat sekitar. Itulah persepsi umum yang biasa muncul. Sanggar Asri terletak di Jalan Mesjid Al Muttaqin, BTN Seuriget Nomor 06 Blok G Desa Serambi Indah atau membutuhkan sekitar 10 menit berkendaraan untuk tiba dipusat kota Langsa.

Di tempat ini penulis menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga, sesuatu yang tidak akan kita temukan di sanggar lain. Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa edukasi, motivasi, inspirasi, dan pembelajaran hanya diperoleh di lembaga pendidikan formal. Namun, kisah Aswan S, atau sering dipanggil Pak Aswan, membuktikan sebaliknya.

Pak Aswan yang berusia 69 tahun, seorang pensiunan PNS dengan jabatan staf biasa di Bappeda Kota Langsa. Istrinya, yang biasa dipanggil Bu Upik, adalah pensiunan guru SMP. Mereka berdua mengelola sanggar ini sejak awal berdiri.

Ketika ada kunjungan sekolah atau saat-saat kunjungan lainnya yang begitu padat merayap, Pak Aswan dibantu istri dan anaknya. Di hari biasa, Pak Aswan sendiri yang bersepeda menuju ke sanggarnya. Istrinya mengurus rumah, dan sesekali mengecek toko gerabah mereka di Hutan Kota pada Sabtu dan Minggu.

Aswan sedang menjelaskan struktur tanah dan proses pembuatannya. Foto : Arsip Aulia Fuzi Ramadhani.

Pak Aswan memiliki tekad dan harapan besar pada sanggar ini. Sanggar Asri, yang dikelolanya, bukan sekadar tempat pelatihan seni atau wadah bagi peminat seni. “Saya punya tekad tempat ini bukan hanya sebagai Sanggar, tapi wadah bagi peminat seni,” ujarnya kepada Penulis sambil menyelesaikan karya tangannya perlahan demi perlahan.

Sanggar Asri adalah Oase bagi mereka yang berkreasi, tempat harapan dan dedikasi berpadu melahirkan harapan besar bagi Kota Langsa. Inilah yang membedakan Sanggar Asri dengan sanggar lainnya.

Penulis bahkan takjub terdiam tanpa kata-kata sekilas mendengar cerita Pak Aswan yang tak henti-hentinya ingin mengedukasi anak muda Langsa. Tujuannya bukan semata-mata untuk keuntungan besar, melainkan tekad mulia untuk Kota Langsa. Di usia senjanya, semangat dan harapannya masih membara.

Tangan Jemarinya yang sudah keriput, berlumuran lumpur tanah liat, harum aroma gerabah dalam sanggarnya bukti dedikasi bukan main-main. Kacamata seok tua bergaya klasiknya seolah-olah menunjukkan lama perjuangannya melahirkan banyak karya.

Penulis masih ingat jelas saat pertama kali menginjakkan kaki ke sanggar ini. Bangunannya sederhana, tidak semewah sanggar modern di kota besar. Namun, suasananya hangat dan penuh energi. Lukisan-lukisan usang di dinding, karya Pak Aswan sendiri, berada di samping hasil gerabah yang tertata rapi.

Gerabah yang tersusun itu ada karya tangan dari siswa yang berkunjung sebelumnya, ada yang siap dikirim ke pemesan, dan ada pula karya Pak Aswan. Aroma tanah liat yang baru diolah dan cat menyengat memenuhi udara. Suasananya sederhana, namun kita bisa merasakan semangat dan kreativitas yang tinggi di sini.

Penulis bertemu Pak Aswan saat beliau memperbaiki hasil karya mahasiswa PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiah) yang dua hari sebelumnya mengikuti pelatihan di Sanggar Asri. Rambutnya memutih, wajahnya keriput, namun semangat di wajahnya tak pernah pudar. Beliau menyambut penulis dengan hangat, mengajak duduk, lalu bercerita tentang sanggarnya.

Pak Aswan menjelaskan teknik pembuatan gerabah dari cetak, putar, pilin, pijat, dan cor. Sanggar Asri lebih fokus pada teknik putar. Beliau juga menjelaskan tekstur tanah yang cocok untuk membuat gerabah, yang biasanya didapatkannya dari Aramiah, Alue Merbau, dan Danau Hijau di Hutan Kota. “Sangat disayangkan, bahan baku gerabah yang melimpah di sini tidak dimanfaatkan dengan baik,” ujar Pak Aswan kepada penulis.

Lukisan Aswan yang ada di sanggar karyanya sering menghiasi dinding. Foto : Arsip Aulia Fuzi Ramadhani.

Awal mula mendirikan sanggar kerajinan gerabah, banyak kerabat dan saudaranya menentang, “Ngapain loh wan buka sanggar, mending nikmati masa tuamu aja” kata kerabat-kerabatnya.

Meski tak didukung, Aswan pantang menyerah, melanjutkan untuk membesarkan sanggar ini. “Saya dulu diasuh sama kakek saya, dan kebetulan kakek saya seorang pelukis. Saya ingat dahulu kakek saya, sempat bangga kepada saya saat saya melukis di bus orang. Semua orang menyepelekan saya, berbeda dengan kakek saya yang mendukung saya,” kilasan Aswan sambil menahan air matanya.

Pak Aswan selalu teringat bagaimana kakeknya begitu senang dan bangga melihat ia melakukakan kegiatan seni seperti ini. Dari sinilah Pak Aswan bertekad untuk menekuni seni dibidang gerabah. Terlepas dari hobi dan punya keturunan seni, beliau memiliki motivasi lain yaitu ingin mengedukasi anak muda zaman sekarang.

Setelah mengabdi sebagai staf biasa di Bappeda Kota Langsa dan memasuki masa Purna Bakti, Pak Aswan menemukan kembali panggilan seninya. Bukan melukis seperti kakeknya, melainkan seni gerabah yang lebih dekat dengan tanah dan akar budaya Aceh. Pengalamannya belajar membatik di Kasongan, Yogyakarta, semasa masih lajang, memberikan dasar yang kuat. Sebelum mendirikan Sanggar Asri ditahun 2007, Pak Aswan dikenal juga sebagai pelukis  berbakat di lingkungannya.

Sebuah pertemuan tak terduga mengubah arah hidupnya. Saat berdinas, obrolan santai dengan temannya yang memahami seluk-beluk tanah liat membuka mata Pak Aswan terhadap potensi besar tanah Aceh. Temannya itu menjelaskan jenis tanah yang cocok untuk gerabah, lokasi ini memiliki tanah liat berkualitas tinggi, dan potensi pasar yang belum tergali.

Dari situlah tercetus ide untuk memberdayakan masyarakat, khususnya generasi muda Langsa, melalui seni gerabah. Setelah pensiun, Pak Aswan mendaftarkan Sanggar Asri sebagai IKM (Industri Kecil dan Menengah).

Kilas balik halaman tua, Pak Aswan bercerita dulu Sanggar Asri berkembang sangat pesat sebelum Covid melanda. Dulu pula, Sanggar Asri memperkerjakan perajin berpengalaman dari Bandung. Keahliannya dalam membentuk tanah liat menghasilkan produk gerabah berkualitas tinggi yang diminati banyak orang. Hasil karya dari Sanggar Asri banyak diminati hingga sampai ke Aceh Besar dan Blang Pidie.

Bahkan, ada pesanan yang datang dari Bandung, pesanan-pesanan ini menunjukkan kualitas produk Sanggar Asri telah diakui di luar Langsa. Sanggar Asri adalah satu-satunya sanggar gerabah di Langsa, dengan dua gerai penjualannya yang berada di Langsa Lama dan satunya lagi di kantin Hutan Kota sebagai etalase hasil karya para pengrajin. Namun, pusat produksi dan pelatihan tetap berada di desa Serambi Indah, Kecamatan Langsa Barat dekat dengan rumah Pak Aswan sendiri.

Aswan dan istri bersama turis (Kiri) dan Kunjungan Anak sekolah Man 2 Aceh Tamiang (Kanan). Foto : Arsip Aulia Fuzi Ramadhani.

Pandemi Covid-19 menjadi pukulan telak bagi Sanggar Asri. Penjualan anjlok tajam, ancaman penutupan usaha begitu nyata. Pak Aswan, rambutnya kini memutih, merasa beban itu begitu berat. Ia hampir menyerah, ingin menutup usahanya. Perajin dari Bandung dipulangkan karna beliau tak mampu lagi membiayai gajinya. Harapan untuk melanjutkan usaha ini terasa sirna bagi beliau.

Namun, di saat putus asa itu, sekelompok siswa-siswi SMK 1 Langsa datang. Mereka hendak membuat film pendek untuk perlombaan FLS2N, dan meminta bantuan Pak Aswan. Semangat dan antusiasme yang terpancar dari wajah-wajah muda itu menyentuh hati Pak Aswan.

Seketika, tekadnya untuk terus berjuang demi anak-anak Langsa kembali menyala. Ia teringat kembali tujuan awal mendirikan sanggar ini bukan untuk mengejar keuntungan besar, melainkan untuk memberdayakan dan membantu masyarakat Langsa.

Dari titik itu, Pak Aswan bangkit. Harapan baru mulai menyinari langkahnya. Tujuan Sanggar Asri lebih difokuskan ke edukasi untuk masyarakat luas. Pak Aswan memulai kembali promosi dari mulut ke mulut, dibantu anaknya melalui media sosial. Ketekunan dan konsistensi beliau membuahkan hasil. Setelah pandemi mereda, banyak organisasi dan lembaga melirik kembali Sanggar Asri.

Dari TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi, bahkan organisasi pun tertarik dengan program edukasi yang ditawarkan. Kini, Sanggar Asri sering bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang ada di Langsa. Sekarang banyak turis yang ingin melihat sanggar ini jika berkunjung ke Langsa.

Pak Aswan bercerita kepada penulis, “Saya sangat senang dan bahagia saat pertama kali seorang anak SD menyalami tangan saya dan mengucapkan terima kasih atas ilmunya pak. Rasa haru itu membuat saya ingin terus mengajari mereka,” ujarnya yang matanya berkaca-kaca.

Di balik keriput wajahnya, terpancar kebahagiaan seorang guru yang telah menemukan kembali tujuan hidupnya memberikan yang terbaik untuk generasi penerus.

“Sekarang, ramai sekali pengunjung, kadang pun kami sekeluarga lelah mengurusi sanggar di saat lagi ramai-ramainya,” sambungnya.

Pak Aswan tipikal orang yang sangat ramah. Semua kalangan pasti akan betah berlama lama berada di sanggar ini. Setiap pengunjung yang datang disambut dengan hangat. Beliau sangat sabar dan telaten mengajari pengunjung membuat gerabah. Di setiap pertemuan beliau pasti memberikan motivasi dan inspirasi bagi setiap pengunjung. Tak heran mengapa kini Sanggar Asri menjadi ramai.

Pak Aswan juga pernah mengajari anak SLB (Sekolah Luar Biasa) Kota Langsa dalam mengikuti lomba dibidang melukis. Pekerjaan ini bukan semata mata untuk mencari keuntungan. Beliau memiliki impian yang besar untuk Kota Langsa, maka dari itu tidak pernah terpikirkan oleh beliau untuk berhenti memberikan edukasi di sanggar ini.

Sanggar Asri bukan didirikan untuk mengejar keuntungan materi. Biaya yang dibebankan kepada siswa sangat terjangkau, bahkan sering kali Pak Aswan menanggung sendiri biaya operasional sanggar dari uang pensiunnya. Beliau percaya seni dan budaya harus diakses oleh semua orang, tanpa memandang latar belakang ekonomi. “Seni bukan hanya untuk orang kaya,” tuturnya dengan lembut.

Dedikasi Pak Aswan luar biasa. Hampir setiap hari beliau di sanggar, membimbing siswa, mengelola administrasi, dan mencari sumber dana. Usia senjanya tak mampu meredam semangatnya untuk berkarya dan mengabdi. Beliau tak hanya mengajarkan teknik seni, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan karakter. Disiplin, kerja keras, dan semangat pantang menyerah menjadi nilai-nilai yang beliau tanamkan. Beliau juga menekankan pentingnya menghargai budaya lokal dan melestarikan warisan seni tradisional.

Aswan sedang menjelaskan kepada siswa siswi di Taman Budaya Banda Aceh. Foto : Arsip Aulia Fuzi Ramadhani.

Ada satu hal lagi yang membuat penulis tak berhenti takjub kepada semangatnya Pak Aswan untuk mengedukasi dan memberikan dedikasinya ke Kota Langsa. Beliau mengatakan kepada penulis ; “SDA kita sangat berlimpah sangat disayangkan tidak digunakan dengan sebaik mungkin. Saya berharap dengan saya membuka program ini banyak anak muda dan masyarakat dari golongan mana saja terinspirasi untuk membuka peluang pekerjaan, karna gerabah ini salah satu karya seni yang tidak merogoh kantong,” ucap Pak Aswan penuh semangat.

Benar saja program pelatihan dan edukasi gerabah ini hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp 20.000 per orang. Pengunjung bisa mendapatkan pelatihan cara pembuatan gerabah, contoh tanah yang bagus untuk gerabah, dan mereka dapat membawa pulang gerabah yang sudah mereka hasilkan. Beliau mengatakan kepada saya bahwasanya negara/tempat yang maju itu, ialah negara yang menjadi produsen, bukan konsumen.

“Coba kita lihat negara-negara maju, pasti negara produsen bukan negara konsumen. Negara lain berlomba lomba menggali potensi dan sumber daya untuk menjadi konsumen, sedangkan kita tetap menjadi konsumen, padahal sumber daya alam, sumber daya manusia kita melimpah,” ucap sambungnya lagi.

Perjuangan dan pemberian edukasi Pak Aswan tidak hanya terbatas di Kota Langsa saja, beliau pernah diundang ke acara Edukasi 150 siswa di Taman Budaya Banda Aceh. Di sana beliau juga memberi edukasi dan pemahamannya tentang gerabah. Beliau bersama istrinya Ibu Upik dengan telaten dan sabar mengajari 150 siswa cara membuat gerabah. Beliau juga memberi tahu sejarah tentang asal mula gerabah dan kisah inspirasi lainnya.

Pak Aswan terus melanjutkan edukasinya untuk masyarakat luas. Tidak hanya terpaku di kalangan remaja, program pelatihan ini terbuka bagi umum. Sanggar Asri juga pernah dikunjungi oleh ibu-ibu Pertamina Sumatera utara. Organisasi Kejar Mimpi yang disponsori oleh CMB Niaga dan organisasi lainnya. Aswan juga pernah diundang ke Acara Ekonomi kreatif di Aceh Jaya.

Pada saat itu beliau di undang sebagai pemilik IKM perwakilan Kota Langsa, dan narasumber di acara tersebut. Beliau juga memberikan wawasan kepada peserta lain yang berhadir di acara itu tentang gerabah, cara memanfaatkan sumber daya secara maksimal di bumi Aceh.

Kisah Pak Aswan dan Sanggar Asri bukanlah sekadar narasi tentang seorang pensiunan yang mendedikasikan diri untuk seni. Namun, kisah ini menunjukkan bagaimana semangat, keuletan, dan visi yang kuat bisa berujung pada perubahan signifikan dalam suatu komunitas.

Sanggar Asri, terlepas dari semua keterbatasannya, membuktikan bahwa kreativitas dan inovasi bisa tumbuh. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat juga bisa dilakukan di tempat kecil itu.

Acara Ekonomi Kreatif di Aceh jaya. Foto : Arsip Aulia Fuzi Ramadhani.

“Saya harap untuk ke depannya Sanggar Asri dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi masyarakat Langsa. Dengan dukungan dari berbagai pihak, Sanggar Asri berpotensi untuk menjadi pusat kreativitas dan inovasi seni di Langsa, menghasilkan seniman-seniman berbakat yang mampu mengharumkan nama Langsa di tingkat nasional bahkan internasional.,” ujar Pak Aswan menyerukan mimpi-mimpi besarnya.

Bagi Penulis, ini adalah sebuah kisah warisan yang berharga, sebuah inspirasi yang tak lekang oleh waktu. Pak Aswan adalah bukti nyata bahwa semangat dan dedikasi dapat mengubah impian menjadi kenyataan, bahkan di tengah keterbatasan dan tantangan. Semoga kisah inspiratif ini dapat mendorong kita semua untuk berkontribusi bagi kemajuan Kota Langsa, dengan cara kita masing-masing, dengan semangat dan dedikasi yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Pak Aswan dan Sanggar Asri.

*Artikel ini ditulis oleh Aulia Fuzi Ramadhani asal sekolah SMA Unggul Cut Nyak Dhien yang merupakan pemenang Peringkat 1 dalam ajang FL3SN Kota Langsa Kategori Lomba Jurnalistik. Artikel sudah melewati proses editing menghindari adanya kesalahan penulisan seperti typo, ataupun lainnya. (Jika keberatan terhadap artikel ini silahkan hubungi melalui email redaksi@mediakontras.id).

Tag

error: Content is protected !!