Aceh Timur, MediaKontras.id | Di tengah puing-puing sisa bencana yang masih menggunung dan jerit pilu ratusan ribu pengungsi, sebuah peringatan keras berkirim noda merah darah meluncur menuju jantung ibu kota. Koalisi Pemuda Aceh resmi menyurati Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), mendesak penggunaan Hak Angket atas sikap pemerintah pusat yang dinilai abai dan “bebal” karena tak kunjung menetapkan status Bencana Nasional terhadap tragedi yang melumat Serambi Mekkah.
Surat dengan “stempel darah” tersebut bukan sekadar simbolis, melainkan manifestasi dari keputusasaan sekaligus amarah atas lambannya respons negara. Hingga 29 Desember 2025, krisis kemanusiaan di Aceh dianggap telah mencapai titik nadir yang melampaui batas ketahanan daerah.
Angka yang Menjadi Air Mata. Data dari Posko Tanggap Darurat Aceh per 23 Desember 2025 melukiskan potret kusam 502 nyawa melayang, 31 orang masih terkubur dalam ketidakpastian (hilang), dan lebih dari dua juta jiwa terpaksa menyambung hidup di bawah tenda-tenda darurat yang jauh dari kata layak.
“Ketika lebih dari dua juta rakyat terdampak dan ratusan nyawa melayang, tidak adanya penetapan status Bencana Nasional adalah bentuk kelalaian politik sekaligus pengingkaran terhadap tanggung jawab konstitusional negara,” ujar Nanda Rizki, perwakilan Koalisi Pemuda Aceh, dengan nada getir.
Bagi para pemuda ini, angka-angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan nyawa dan masa depan yang terenggut. Sebanyak 2.174 titik pengungsian kini menjadi saksi bisu warga yang kehilangan kedaulatan atas hidupnya sendiri. Kerusakan masif pada 124.545 unit rumah dan ratusan jembatan telah memutus urat nadi ekonomi, menciptakan kemiskinan struktural baru yang bersifat sistemik.
Hak Angket Kewajiban, Bukan Pilihan, Koalisi menilai skala kerusakan telah memenuhi indikator substantif Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Mereka menegaskan bahwa Hak Angket DPR RI adalah instrumen konstitusional terakhir untuk memaksa negara “hadir” secara utuh.
“Jika DPR tidak menggunakan hak angket, maka parlemen secara sadar membiarkan krisis kemanusiaan ini langgeng. Hak angket bukan lagi pilihan politik, melainkan kewajiban moral,” tegas Nanda.
Melalui hak angket, Koalisi mendesak DPR RI untuk segera memanggil Presiden, BNPB, serta kementerian terkait. Tujuannya satu meminta keterangan terbuka mengapa status Bencana Nasional tak kunjung disematkan, padahal kapasitas daerah telah lumpuh total.
Membuka Pintu Solidaritas Internasional. Penetapan status Bencana Nasional dipandang sebagai kunci pembuka gembok birokrasi. Dengan status tersebut, mobilisasi sumber daya nasional dapat bergerak lebih trengginas, koordinasi lintas lembaga menjadi terintegrasi, dan yang terpenting: membuka ruang bantuan internasional secara sah dan akuntabel.
“Bantuan luar negeri adalah wujud solidaritas universal, bukan ancaman kedaulatan. Saat kapasitas nasional tak lagi memadai, menutup diri adalah bentuk pengkhianatan terhadap keselamatan rakyat,” lanjut pernyataan koalisi tersebut.
Surat berstempel darah ini kini berada di meja wakil rakyat. Bagi Koalisi Pemuda Aceh, ini adalah “dakwaan moral” terakhir. Jika parlemen memilih bungkam dan bergeming, maka sejarah akan mencatat bahwa di tahun 2025, negara pernah membiarkan jutaan warganya luluh lantak dalam kesunyian tanpa pertanggungjawaban yang nyata.






