Opini: Dosen Itu Tewas di Tengah Gurun

Opini: Dosen Itu Tewas di Tengah Gurun

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Asrianda, Dosen Universitas Malikussaleh

Menuju Rumah Allah Ratusan ribu pasang mata menatap layarnya dengan mata yang basah, namun tak sedikit pula yang mencibir. “Mengapa pakai jalur ilegal?”, tanya sebagian. Komentar- komentar tajam seperti anak panah mengarah ke mendiang. Begitulah netizen, tak selalu bersimpati, tak selalu bijak. Padahal, di balik wafatnya Syukron Mahbub, tersimpan kisah yang tak layak hanya dinilai dari visa dan jalur yang ia tempuh.

Syukron Mahbub bukan nama asing di kalangan akademisi Madura. Ia adalah Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam di Universitas Islam Madura. Seorang dosen yang telah mempersembahkan hidupnya bagi ilmu, iman, dan masa depan anak bangsa. Di ruang-ruang kuliah, ia bukan hanya menyampaikan teori, tapi menanamkan nilai: tentang keadilan, tentang kesabaran, dan tentang ikhtiar dalam keterbatasan. Tapi kini, tubuhnya rebah di tengah gurun, jauh dari keramaian, jauh dari keluarga. Ia tidak wafat di pelukan orang-orang terdekat, melainkan dalam sunyi pasir Arab yang asing pada bahasa kesedihan.

Ia bukan nekat, hanya terlalu percaya. Terlalu ingin sampai ke Rumah Allah. Jalur yang ditempuh bukan pilihan ideal, tapi seringkali itulah satu-satunya yang tersedia bagi mereka yang tak punya akses, tak punya kuota, tak punya biro haji. Ia menembus batas bukan untuk melanggar, tapi untuk mengharap ridha. Sayangnya, sistem terlalu keras pada yang lemah. Ia ditinggal sopir taksi di tengah padang, lalu berjalan dengan dua rekannya, menjemput takdir yang pedih.

Ia wafat dalam suhu 47 derajat, tubuh yang dehidrasi, ditemukan oleh drone – bukan manusia, bukan muridnya.
Kini jenazahnya dimakamkan di Mekkah, kota yang ia cintai, yang ia tuju dengan segenap hati. Tapi tidak dengan kemenangan. Melainkan dalam sunyi, dalam kehilangan. Di kampusnya, ruang kelas yang dulu penuh canda mahasiswa kini kosong. Di atas mejanya masih tersisa catatan skripsi yang belum sempat direvisi. Di hati kita, masih tersisa luka, sebab kita tahu: yang wafat bukan sekadar jemaah, tapi seorang guru bangsa.


Kita boleh membahas prosedur, aturan, atau legalitas. Tapi jangan hilangkan sisi kemanusiaan. Jangan bunuh simpati dengan komentar sinis. Sebab Syukron Mahbub telah lebih dulu menunjukkan niat tulusnya. Ia pergi bukan untuk wisata, tapi untuk ibadah. Ia bukan pelanggar, ia hanya seorang hamba yang ingin pulang ke Tuhan. Mari doakan almarhum. Karena dalam kehidupan yang semakin keras ini, kebaikan kadang tersesat di antara paragraf peraturan dan tembok sistem. Tapi kebaikan tak pernah benar-benar hilang, selama kita masih mampu mengenangnya dalam doa.


Kisah ini mestinya menyentil nurani kita semua—terutama para pemangku kebijakan dan pemilik otoritas. Betapa banyak warga negara yang ingin berhaji, tapi terhalang oleh kuota, birokrasi, dan biaya yang terus menjulang. Impian menunaikan rukun Islam kelima seakan menjadi hak eksklusif mereka yang mampu, bukan lagi hak universal setiap Muslim. Maka ketika ada yang mencoba mencari celah, bukan karena semata nekat, melainkan karena iman dan kerinduan, kita pun semestinya merenung: apakah sistem kita telah cukup adil? Tentu, negara berhak mengatur. Tentu, hukum perlu ditegakkan. Tapi apakah semua pelanggaran layak dibalas dengan stigma dan olok-olok publik? Di balik pelanggaran prosedur, ada manusia, ada keluarga, ada air mata yang tak terlihat di layar media.

Kita tidak sedang membenarkan tindakan ilegal, namun kita menolak untuk menihilkan sisi kemanusiaan di baliknya. Sebab, Syukron Mahbub adalah simbol dari ribuan umat yang ingin beribadah namun tak tahu lagi harus lewat pintu yang mana.
Tak banyak yang tahu, betapa berat perjuangan sebagian rakyat biasa untuk bisa berhaji. Menabung belasan tahun, mendaftar lalu menunggu puluhan tahun, bahkan wafat sebelum nomor antrean tiba. Di tengah situasi ini, Syukron dan rombongannya memilih jalur ziarah yang mereka tahu penuh risiko. Tapi niat mereka suci. Dalam bahasa spiritual, mereka sedang “berikhtiar melampaui tembok duniawi” menuju rumah Tuhan. Dan itulah yang kita tangisi hari ini, bukan hanya wafatnya Syukron, tapi kenyataan pahit bahwa untuk mencintai Tuhan pun, seseorang harus bertaruh nyawa.

Syukron Mahbub kini mungkin telah damai di sisi-Nya. Tapi kita yang masih hidup, punya pekerjaan rumah besar. Kita mesti bertanya ulang: bagaimana agar jalan ibadah tak lagi rumit? Bagaimana agar sistem tak menjadi tembok yang menjauhkan umat dari Tuhannya? Dan yang paling penting: bagaimana agar setiap orang, tak peduli status sosialnya, bisa memeluk mimpinya untuk menyapa Ka’bah dengan tenang dan sah?
Akhir kata, mari kita doakan Syukron Mahbub.

Semoga amal ibadahnya diterima, perjuangannya dicatat sebagai jihad, dan kematiannya menjadi pelajaran bagi bangsa ini. Sebab yang pergi bukan orang sembarangan. Ia adalah guru, pencari Tuhan, dan hamba yang tak menyerah. Ia memang tidak sempat sampai ke Ka’bah, tapi siapa tahu, ia telah lebih dahulu sampai ke surga.

Topik