Laporan Baru
Langkah-Langkah Dukungan Energi Indonesia: Inventarisasi insentif yang berdampak pada transisi energi
Insentif dan langkah-langkah dukungan energi dapat membantu Indonesia memengaruhi produksi dan konsumsi energi dengan cara yang memenuhi target iklim dan energinya. Karena negara ini telah berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060, laporan inventaris langkah-langkah dukungan energi di Indonesia ini mengkaji apakah kebijakan fiskal saat ini selaras dengan tujuan ini. Sebagai yang pertama dari jenisnya, inventaris ini mengidentifikasi dan mengukur langkah-langkah dukungan yang tersedia untuk berbagai jenis energi—termasuk batu bara, minyak dan gas, energi terbarukan, biofuel, dan kendaraan listrik—antara tahun 2016 dan 2020.
Langkah-langkah dukungan energi di Indonesia meningkat sebesar 38% dari Rp 203 triliun pada tahun 2016 menjadi Rp 279 triliun pada tahun 2020, yang secara tidak proporsional menguntungkan sektor bahan bakar fosil.
Perkiraan insentif bahan bakar fosil di Indonesia meningkat 30% antara tahun 2016 dan 2020 menjadi setidaknya Rp 246 triliun, sementara dukungan untuk energi terbarukan turun dari Rp 3 triliun pada tahun 2016 menjadi Rp 2 triliun pada tahun 2020.
Laporan ini menjadi titik awal bagi Pemerintah Indonesia, serta semua pemangku kepentingan, warga negara yang peduli, dan masyarakat luas untuk “mengikuti arus uang”: melacak aliran dana publik dan memahami bagaimana uang publik dibelanjakan untuk berbagai jenis energi. Melalui visualisasi data aliran dan alokasi langkah-langkah dukungan selama periode yang diamati, laporan ini juga bertujuan untuk menyoroti pengeluaran pemerintah untuk bahan bakar fosil dibandingkan dengan energi terbarukan dan teknologi bersih.
Dukungan terhadap bahan bakar fosil menguras anggaran publik, terutama dalam konteks harga energi yang tinggi saat ini. Dukungan terhadap bahan bakar fosil menimbulkan biaya yang besar bagi keuangan publik Indonesia, dan memperlambat transisi energi Indonesia dalam dua cara: 1) menghambat produksi bahan bakar fosil, yang menyebabkan ketergantungan berkelanjutan terhadap bahan bakar fosil; dan 2) dengan menurunkan harga bahan bakar fosil dan listrik yang bersumber dari fosil, hal itu mempersulit energi terbarukan untuk bersaing.
Mengingat kontribusinya yang ditetapkan secara nasional terhadap Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim serta target energi terbarukannya, masuk akal bagi Indonesia untuk lebih berfokus pada penciptaan mekanisme insentif yang efektif untuk lebih mendorong adopsi dan pengembangan energi terbarukan. Mengalihkan atau mengalokasikan kembali dukungan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan akan menjadi langkah awal yang baik.
Pemerintah perlu segera mengalihkan dukungan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan untuk membangun sistem energi berkelanjutan yang lebih tangguh terhadap guncangan harga energi dan menyediakan energi bersih yang terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia, kata para ahli.
Langkah-langkah dukungan energi di Indonesia mencapai Rp279 triliun pada tahun fiskal 2020, yang mana 88%-nya—Rp246 triliun—dialokasikan untuk bahan bakar fosil, menurut laporan baru dari Institut Internasional untuk Pembangunan Berkelanjutan (IISD) yang dirilis hari ini.
Pemerintah menyediakan setidaknya Rp 74 triliun untuk mendukung industri migas, Rp 112 triliun untuk listrik berbahan bakar fosil, dan Rp 61 triliun untuk sektor batu bara, menurut kajian berjudul Indonesia’s Energy Support Measures: An inventory of incentives impacting the energy transition . Insentif Indonesia untuk bahan bakar fosil 117 kali lebih tinggi daripada dukungan untuk energi terbarukan yang hanya menerima Rp 2 triliun, mewakili kurang dari 1% dari total langkah dukungan, sementara Rp 31 triliun diberikan untuk biofuel dan Rp 19 miliar untuk kendaraan listrik.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa dalam konteks harga energi yang tinggi saat ini, angka-angka tersebut diperkirakan akan meningkat secara signifikan pada tahun 2022 setelah DPR Indonesia pada bulan Mei menyetujui permintaan pemerintah untuk tambahan subsidi energi sebesar Rp350 triliun, menambah Rp154 triliun yang telah dibelanjakan pada kuartal pertama tahun ini.
Studi tersebut—yang mencakup berbagai insentif yang mendukung berbagai jenis energi di luar langkah-langkah yang secara resmi diklasifikasikan sebagai “subsidi” dalam laporan keuangan Indonesia—menyoroti dukungan luar biasa negara tersebut terhadap sektor bahan bakar fosil dalam periode 2016–2020, dengan 94% dialokasikan rata-rata per tahun untuk menopang minyak dan gas, batu bara, dan listrik berbasis bahan bakar fosil, dan hanya 1% yang dialokasikan untuk energi terbarukan. Para ahli memperingatkan bahwa dukungan Indonesia yang tidak proporsional terhadap bahan bakar fosil memperlambat transisi energi, menguras anggaran publik, mempercepat perubahan iklim, dan membahayakan kesehatan masyarakat.
“Indonesia sangat perlu mengalihkan dukungan dari bahan bakar fosil ke energi bersih untuk memenuhi target iklim dan energi terbarukan, serta mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang harganya tidak stabil,” kata Anissa Suharsono dari IISD , penulis utama laporan tersebut. “Insentif ini menimbulkan biaya yang sangat besar bagi anggaran publik—terutama dalam konteks harga energi yang tinggi saat ini—dan berdampak besar pada kesehatan masyarakat dan iklim.”
Laporan tersebut, yang meneliti sejauh mana langkah-langkah dukungan energi Indonesia saat ini mencerminkan sasarannya untuk mencapai 23% energi terbarukan pada tahun 2025 dan emisi nol bersih pada tahun 2060, menyoroti bahwa kebijakan saat ini melemahkan target energi dan keharusan lingkungan negara tersebut. Penulis laporan memberikan rekomendasi konkret bagi pemerintah untuk menyelaraskan kembali insentifnya dengan mereformasi kebijakan yang menguntungkan sektor bahan bakar fosil dan sebagai gantinya memberikan insentif bagi investasi dalam energi terbarukan.
Di tengah melonjaknya harga energi dan krisis biaya hidup, penyaluran dukungan kepada masyarakat miskin dan rentan menjadi kunci untuk melestarikan sumber daya publik yang langka. Sumber daya ini harus digunakan secara efisien dan berfungsi untuk membuka jalan bagi transisi yang adil dari bahan bakar fosil, demikian rekomendasi para ahli IISD.
Untuk melakukan hal itu, pemerintah dapat meningkatkan penargetan dua dukungan terbesar yang diberikan—penggantian biaya kepada perusahaan energi milik negara, PT.Pertamina, karena harga bahan bakar di bawah harga pasar, dan subsidi kepada perusahaan listrik negara, PT.PLN, untuk menyediakan listrik murah—yang sebagian besar menguntungkan segmen masyarakat kaya yang mengonsumsi bahan bakar dan listrik dalam jumlah terbesar.
“Mereformasi kebijakan yang mendukung bahan bakar fosil dan memastikan bahwa kelompok berpendapatan rendah menerima dukungan yang tepat guna menghadapi kenaikan harga akan membebaskan sumber daya yang dapat diinvestasikan dalam energi terbarukan, transportasi bersih, dan infrastruktur berkelanjutan,” kata rekan penulis studi Lourdes Sanchez dari IISD.
“Hal itu akan memastikan masyarakat miskin terlindungi sekaligus memungkinkan Indonesia untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih guna membangun sistem energi berkelanjutan yang lebih tangguh terhadap guncangan harga global dan menyediakan energi bersih yang terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.”
Lourdes Sanchez, Penasihat Kebijakan Senior dan Pimpinan, Indonesia, IISD: lsanchez@iisd.org