MediaKontras.id | Sekretaris Jenderal Front Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (FOMAPAK), Munazir, SH.I, MH, menegaskan bahwa Negara tidak boleh mundur terkait pengurangan pembiayaan pendidikan tinggi adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Selasa, 19 Agustus 2025.
“Keprihatinan mendalam atas pernyataan Menteri Keuangan Republik Indonesia yang mempertanyakan komitmen negara dalam menanggung pembiayaan guru dan dosen. Bila diwujudkan dalam kebijakan, langkah ini merupakan kemunduran serius (non-retrogression) dalam pemenuhan Hak Azasi Manusia, khususnya hak atas pendidikan, yang jelas dilarang oleh hukum HAM Internasional,” ungkapnya.
Menurutnya, pendidikan sebagai Hak Asasi dan Kewajiban Negara, pendidikan bukanlah komoditas pasar, melainkan hak fundamental setiap warga negara yang dijamin oleh Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 UUD 1945, yang menegaskan hak atas pendidikan serta kewajiban negara untuk membiayainya.
Lalu, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 60 ayat (1): “Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.” ungkapnya.
Kemudian, kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), Pasal 13 ayat (2)(c), yang mengamanatkan pendidikan tinggi harus, “dapat diakses secara adil oleh semua orang khususnya melalui pengenalan pendidikan tinggi secara cuma-cuma secara bertahap,” paparnya lagi.
General Comment No. 13 Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1999) yang menegaskan empat prinsip dasar hak pendidikan: availability, accessibility, acceptability, adaptability. Pengurangan pembiayaan negara akan menggerus prinsip accessibility dan melanggar standar internasional yang telah diakui Indonesia.
Risiko Pelanggaran dan Dampak Sosial FOMAPAK menilai bahwa pengurangan peran negara dalam pendidikan tinggi adalah bentuk kekerasan struktural dengan konsekuensi.
Pertama Diskriminasi dan eksklusi sosial-biaya kuliah yang meningkat akan menutup akses pendidikan bagi kelompok miskin dan rentan. Kedua ketidaksetaraan yang dilembagakan-Hanya mereka dari kalangan ekonomi kuat yang dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi, memperlebar kesenjangan sosial.
Masih kata Munazir, Injustice lintas generasi-Negara berisiko melahirkan generasi yang kehilangan haknya (lost generation), suatu pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan antar-generasi.
Keempat, kemunduran HAM (non-retrogression), dalam hukum HAM internasional, negara tidak boleh mengurangi perlindungan atau layanan hak yang telah dicapai. Kebijakan ini melanggar prinsip tersebut.
— Pernyataan Sikap dan Tuntutan —
Berdasarkan hal-hal di atas, FOMAPAK menuntut pertama Pemerintah pusat segera mencabut wacana pengurangan pembiayaan pendidikan tinggi dan menjamin keberlanjutan anggaran untuk guru dan dosen.
Lantas, kedua DPR RI menjalankan fungsi pengawasan agar kebijakan pendidikan nasional selaras dengan konstitusi dan komitmen HAM internasional.
Ketiga, Komnas HAM dan lembaga independen melakukan kajian dan pemantauan atas potensi pelanggaran HAM dari kebijakan ini.
Lanjut keempat, Presiden Republik Indonesia menegaskan kembali komitmen negara untuk menjamin pendidikan tinggi yang setara, terjangkau, dan berkualitas, termasuk melalui penguatan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) yang konsisten pada sektor pendidikan.
FOMAPAK menegaskan, mengurangi peran negara dalam pendidikan tinggi sama dengan melanggar hak dasar rakyat, mengingkari kewajiban konstitusional, serta menodai komitmen Indonesia terhadap hukum HAM internasional. Langkah mundur ini bukan hanya melukai rakyat, tetapi juga merusak reputasi Indonesia di mata dunia.
“Pendidikan tinggi tidak boleh tunduk pada logika pasar. Negara harus berdiri tegak sebagai penjamin akses ilmu, keadilan, dan masa depan generasi yang akan datang,” tandas Munazir. [ian]