Ketua DPRA Dinilai Tak Paham Hukum, GASTA Soroti Risiko Impunitas

Ketua DPRA Dinilai Tak Paham Hukum, GASTA Soroti Risiko Impunitas

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Banda Aceh, MediaKontras.id | Gerakan Aktivis Kota (GASTA) mengkritik pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadli, yang meminta agar pengaduan masyarakat (Dumas) tidak dijadikan dasar utama dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum (APH).

Koordinator GASTA, Isra Fu’addi, S.H., menyebut pernyataan tersebut keliru secara hukum dan berpotensi membatasi partisipasi publik serta melemahkan independensi lembaga penegak hukum.

“Pengaduan masyarakat adalah hak konstitusional warga negara dan sah secara hukum sebagai dasar awal penyelidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP,” ujar Isra kepada media, Senin (28/7/2025) di Banda Aceh.

Isra, yang merupakan alumni Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry, menilai bahwa pernyataan Ketua DPRA tersebut seakan menyesatkan dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar negara hukum.

Soal MoU Tiga Lembaga

Isra juga menanggapi rujukan Zulfadli terhadap Nota Kesepahaman (MoU) antara Kemendagri, Kejaksaan Agung, dan Polri tahun 2023 yang disebut sebagai dasar koordinasi antara APH dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

Menurut Isra, MoU tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara yuridis dan tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda atau membatasi proses hukum.

“MoU bukan norma hukum dan tidak dapat menunda pelaksanaan tugas penyelidik atau penyidik sebagaimana diatur dalam KUHAP, UU Kepolisian, maupun UU Tipikor,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa menjadikan MoU sebagai penghalang penegakan hukum membuka ruang impunitas dan memperlambat proses keadilan, terutama jika kasus melibatkan elit kekuasaan.

Klarifikasi Isu Administratif dan Pidana

Isra juga mengkritisi narasi Ketua DPRA yang menyebut bahwa kesalahan administratif sebaiknya tidak langsung dikriminalisasi. Menurutnya, pernyataan ini bisa menyesatkan publik jika tidak disampaikan dalam konteks yang tepat.

“Banyak tindak pidana korupsi justru bermula dari pelanggaran administratif yang disengaja dan dimanipulasi. Tidak bisa dipisahkan secara mutlak antara kesalahan administratif dan pidana,” katanya.

Isra menambahkan, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mewajibkan aparat penegak hukum menunggu telaah APIP sebelum memulai penyelidikan.

“Jika semua laporan harus ditelaah inspektorat dulu, maka penegakan hukum lumpuh. Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan semangat reformasi,” ungkapnya.

Desak Ketua DPRA Bersikap Pro-Rakyat

Isra menilai bahwa sebagai Ketua lembaga legislatif daerah, Zulfadli seharusnya berdiri di garis depan dalam membela hak publik untuk menyampaikan laporan dugaan pelanggaran, bukan justru membatasi.

“Kami berharap Ketua DPRA tidak terjebak dalam narasi yang bisa membatasi ruang pengawasan masyarakat. Sebaliknya, ia harus mendorong agar setiap laporan ditanggapi secara profesional,” ujarnya.

Di akhir pernyataannya, Isra menegaskan bahwa pengaduan masyarakat adalah pilar utama akuntabilitas publik dan pembatasan terhadapnya, baik langsung maupun lewat tafsir sempit birokrasi, merupakan bentuk pengingkaran terhadap semangat reformasi.

“Pernyataan Ketua DPRA soal Dumas bukan hanya keliru, tapi mencerminkan kedangkalan pemahaman hukum. Kalau hal mendasar seperti ini saja tidak dipahami, bagaimana bisa mengawasi anggaran rakyat?” tutupnya.

Tag

error: Content is protected !!