Opini: Anak Muda dalam Pusaran Terorisme Digital

Opini: Anak Muda dalam Pusaran Terorisme Digital

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Penangkapan terduga teroris berusia 18 tahun di Gowa, Sulawesi Selatan, sangat mengkhawatirkan dan menjadi indikasi kuat bahwa era digital telah menjadi lahan subur bagi penyebaran paham radikal. Anak muda, dengan akses yang mudah ke internet dan media sosial, menjadi target empuk bagi kelompok teroris untuk merekrut dan menyebarkan ideologi mereka. Setelah kekalahan ISIS di medan perang dunia nyata, mereka semakin memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru. ISIS menggunakan media sosial, forum daring, dan platform komunikasi terenkripsi untuk menyebarkan ideologi mereka dan menarik simpatisan. Mereka juga mengembangkan strategi cyber terrorism, di mana mereka tidak hanya menyebarkan propaganda tetapi juga memberikan panduan bagi individu yang ingin melakukan aksi teror secara mandiri. Upaya deradikalisasi digital menjadi semakin penting untuk membendung pengaruh mereka di dunia maya.

Pencarian Identitas
Usia remaja adalah masa pencarian identitas. Ketika mereka merasa tidak menemukan tempat atau tujuan dalam lingkungan sekitarnya, ideologi ekstremis bisa menawarkan “identitas” dan “tujuan” yang keliru. Masa remaja adalah fase penting dalam pembentukan identitas, di mana individu mencari makna, penerimaan, dan tujuan dalam hidup mereka. Ketika mereka merasa terasing atau mengalami krisis identitas, mereka lebih rentan terhadap pengaruh ideologi ekstremis yang menawarkan kepastian semu -sebuah “keluarga” atau “misi” yang terlihat jelas, tetapi dalam kenyataannya justru menyesatkan. Kelompok ekstremis sering kali memanfaatkan psikologi remaja, dengan menyajikan narasi yang menggugah emosi, seperti ketidakadilan, penderitaan, atau kebanggaan akan suatu identitas tertentu. Dunia maya menjadi tempat yang sangat efektif bagi mereka untuk menanamkan propaganda ini, karena remaja banyak menghabiskan waktu online, mencari komunitas, dan interaksi sosial.

Karena itu, penting bagi masyarakat-orang tua, guru, dan lingkungan sekitar—untuk memberikan ruang bagi remaja agar mereka bisa menemukan identitas yang sehat, berbasis pada nilai positif seperti keterbukaan, pemahaman, dan keberagaman. Upaya deradikalisasi digital juga menjadi semakin krusial dalam membendung pengaruh ideologi ekstremis. Beberapa anak muda mungkin tertarik pada narasi terorisme karena rasa ingin tahu, atau karena mereka melihatnya sebagai “petualangan” yang menawarkan sensasi. Kasus Zakiah Aini menarik untuk kita jadikan contoh karena melibatkan seorang perempuan muda yang melakukan aksi teror secara lone wolf di Mabes Polri pada 31 Maret 2021. Dari hasil penyelidikan, ia diketahui sebagai simpatisan ISIS, yang terpapar ideologi radikal melalui media sosial. Muhammad Najib Azca (2013) melihat fenomena radikalisme di kalangan pemuda Muslim Indonesia setelah Orde Baru. Azca mengkaji bagaimana perubahan sosial dan politik pasca-reformasi berkontribusi terhadap meningkatnya radikalisasi di kalangan anak muda.

Reformasi membuka ruang bagi berbagai ideologi, termasuk kelompok Islam konservatif dan radikal. Anak muda menjadi target utama radikalisasi karena mereka berada dalam fase pencarian identitas dan sering kali mengalami ketidakpastian sosial. Kelompok ekstremis memanfaatkan media sosial dan jaringan komunitas untuk menyebarkan ideologi mereka. Bagi Azca, pendidikan, keterlibatan komunitas, dan pendekatan moderasi Islam menjadi kunci dalam menangkal radikalisme. Beberapa analis melihat bahwa perempuan dalam jaringan terorisme sering kali menjadi korban eksploitasi ideologi ekstremis. Mereka bisa saja mengalami indoktrinasi, tekanan sosial, atau bahkan manipulasi psikologis yang membuat mereka merasa bahwa aksi teror adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan spiritual atau politik.

Remaja Sebagai Korban
Dalam kasus Zakiah Aini, ada dugaan bahwa ia terinspirasi oleh aksi teror sebelumnya, seperti bom Makassar, yang juga melibatkan perempuan. Hal ini menunjukkan bagaimana propaganda ekstremis dapat mempengaruhi individu secara mendalam, terutama mereka yang merasa terasing atau mengalami krisis identitas. Banyak anak muda belum memiliki literasi digital yang memadai untuk menyaring informasi yang mereka terima. Mereka kesulitan membedakan antara fakta dan propaganda, sehingga mudah terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan. Ini menjelaskan mengapa penyebaran ajakan aksi teror banyak dilakukan oleh anak muda di era digital. Mereka tidak hanya menjadi korban, tetapi juga bisa menjadi agen penyebaran ekstremisme melalui platform online.

Jaringan atau Lone-Wolf
Fenomena terorisme anak muda di Indonesia itu kompleks, bisa berjejaring maupun bergerak sendiri-sendiri (lone wolf), namun seringkali ada keterkaitan antara keduanya.

Sebagian besar kasus menunjukkan adanya keterkaitan dengan jaringan teroris yang lebih besar, seperti Jemaah Ansharut Daulah (JAD) atau sel-sel kecil yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok tersebut. Anak muda ini direkrut, diindoktrinasi, dan kadang dilatih oleh anggota jaringan yang lebih senior. Komunikasi dan koordinasi seringkali dilakukan secara daring.

Ada juga kasus di mana individu, setelah terpapar narasi radikal secara online, kemudian memutuskan untuk melakukan aksi sendiri tanpa perintah langsung dari struktur organisasi (lone-wolf). Namun, meskipun bergerak sendiri, ideologi dan motivasi mereka tetap berasal dari paparan materi-materi radikal yang disebarkan oleh kelompok-kelompok teroris di dunia maya. Jadi, secara tidak langsung, mereka tetap “berjejaring” dalam konteks ideologis.

Intinya, di era digital ini, garis antara “berjejaring” dan “bergerak sendiri” menjadi semakin kabur. Individu bisa teradikalisasi secara daring dan kemudian bertindak atas inisiatif sendiri, namun tetap dalam payung besar ideologi yang disebarkan oleh kelompok teroris.

Mencegah Radikalisasi Anak Muda
Kurikulum sekolah harus memasukkan materi tentang literasi digital, bahaya hoaks, dan propaganda ekstremisme. Anak-anak harus diajarkan cara memverifikasi informasi dan berpikir kritis. Orang tua perlu dibekali pemahaman tentang bahaya radikalisasi online dan cara mendeteksi tanda-tandanya pada anak. Komunikasi yang terbuka dalam keluarga sangat penting. Apa yang selama ini dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirimkan anak-anak bermasalah ke barak militer adalah solusi yang paling tepat di tengah alternatif solusi lainnya.

Menyediakan wadah dan aktivitas positif yang menyalurkan energi dan kreativitas anak muda, sehingga mereka tidak mudah terjerumus ke hal negatif. Densus 88 dan aparat penegak hukum harus terus menindak tegas para pelaku dan penyebar paham terorisme, termasuk yang beroperasi di dunia maya.

Sudah saatnya juga Densus 88 Polri menerapkan strategi pembubaran organisasi Jamaah Ansharu Daulah (JAD) setelah sukses membubarkan organisasi teror Jamaah Islamiyyah (JI). Mencegah anak muda terjerumus dalam terorisme adalah investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa. Kita tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum, tetapi juga harus membangun ketahanan diri anak muda dari paparan ideologi ekstremis.

Tag

error: Content is protected !!