Opini: Dari Perjuangan ke Kompromi Kritik atas Figur Malek Mahmud

Opini: Dari Perjuangan ke Kompromi Kritik atas Figur Malek Mahmud

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Sofyan S.Sos. (Analis Politik Kebajikan Sosial )

Setiap bangsa memiliki figur yang ditempatkan sebagai penjaga warisan perjuangan. Di Aceh, nama Malek Mahmud kerap dihadirkan dalam posisi itu, seolah ia adalah penerus amanah almarhum Wali Negara Hasan Tiro. Namun, bagi sebagian pihak, Malek Mahmud bukanlah sosok yang patut dijadikan panutan rakyat Aceh.
Pernyataan ini bukan untuk menafikan nilai perjuangan masa lalu. Konflik bersenjata yang panjang, pengorbanan darah, dan duka mendalam yang dirasakan rakyat Aceh adalah fakta sejarah yang tidak bisa dihapus.

Namun, justru karena menghormati pengorbanan itulah sejarah harus diluruskan. Generasi Aceh tidak boleh terus-menerus dipasung dengan narasi palsu yang diwariskan segelintir elite.
Kita tahu, Hasan Tiro tidak pernah benar-benar terlibat dalam perundingan yang melahirkan MoU Helsinki. Tokoh yang tampil adalah Malek Mahmud bersama lingkarannya, yang sejak awal lebih condong pada penerimaan otonomi khusus dalam bingkai NKRI. Ironisnya, kompromi itu dikemas dengan istilah “perang politik”, seolah perjuangan hanya bergeser arena. Padahal, substansi telah berubah total, dari cita-cita kemerdekaan menjadi perebutan kursi dan akses kekuasaan.

Lebih pahit lagi, pada masa transisi itu, siapa pun yang berbeda pandangan harus menanggung risiko besar. Ada yang dibungkam, bahkan ada yang dibunuh, seperti almarhum Cage. Hanya karena berbeda pilihan politik, nyawa bisa hilang. Peristiwa ini memperlihatkan bahwa narasi besar perjuangan telah digadaikan, sementara budaya kekerasan tetap diwariskan, hanya berganti wajah, dari senjata ke intimidasi.

Mitos Ciptaan Elite
Di titik inilah persoalan sesungguhnya. Generasi Aceh tidak boleh terus dibohongi oleh mitos ciptaan elite. Kita tidak butuh figur yang dikenang karena kelihaiannya berkompromi, melainkan tokoh yang tegak di atas prinsip dan keberanian moral. Malek Mahmud mungkin bagian dari sejarah, tetapi bukan teladan. Mengidolakannya justru menjerumuskan generasi muda ke lingkaran kekuasaan yang penuh kepura-puraan.

Hasan Tiro, dengan segala keterbatasannya, mewariskan gagasan penting, yaitu nasionalisme lokal Aceh. Ia berupaya membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan, sekaligus mengartikulasikan identitas politik Aceh agar tidak larut dalam arus besar negara kesatuan. Inti pemikirannya jelas: Aceh harus berdaulat atas dirinya sendiri. Dari perspektif itu, realitas Indonesia hari ini memperlihatkan betapa sentralisme ala negara kesatuan hanya melahirkan ketimpangan. Sumber daya alam yang melimpah di daerah tidak bisa dikelola secara mandiri, karena semua keputusan tersentral di Jakarta. Bandingkan dengan model federal seperti Malaysia atau Amerika Serikat, di mana daerah diberi kewenangan luas mengatur ekonominya sendiri.

Hasilnya, pertumbuhan lebih merata dan kemandirian lebih nyata.
Menulis Ulang Sejarah
Meluruskan sejarah bukanlah upaya menjatuhkan siapa pun, melainkan kejujuran demi masa depan. Generasi Aceh, khususnya anak muda, berhak tahu bahwa setelah Hasan Tiro sakit, tongkat kepemimpinan jatuh ke tangan Malek Mahmud yang lebih mementingkan kompromi daripada konsistensi perjuangan. Menyampaikan kebenaran ini bukanlah dosa, melainkan tanggung jawab agar sejarah tidak diwarisi dalam bentuk manipulasi.


Dua dekade pasca-perdamaian, sedikit demi sedikit tabir kebenaran mulai terbuka. Pernyataan Juha Christensen mediator damai MoU Helsinki – misalnya, menegaskan bahwa sejak awal Aceh memang tidak mungkin merdeka karena kalkulasi geopolitik internasional. Pernyataan ini menimbulkan banyak tafsir. Namun yang pasti, publik Aceh tidak pernah diberi penjelasan jujur. Yang muncul hanyalah versi yang dipoles, demi mempertahankan citra dan kekuasaan elite.

Sejarah yang diamputasi inilah yang harus segera ditulis ulang. Aceh tidak boleh selamanya hidup dalam bayang-bayang elite yang menukar idealisme dengan kepentingan. Persoalan merdeka atau tidak merdeka adalah wilayah takdir. Yang terpenting adalah menjaga api cita-cita, bahwa Aceh pernah menjadi bangsa yang berdaulat dan layak bermimpi untuk kembali menjadi bangsa yang mandiri dan modern.

Pada akhirnya, kesimpulannya jelas: Malek Mahmud bukanlah pewaris ideologi Hasan Tiro, melainkan simbol kompromi yang menjauhkan Aceh dari cita-cita kemerdekaan. Mengkultuskannya hanya akan menjadi beban sejarah, bukan sumber inspirasi.