Opini: Diberi 4 Batalyon, Lalu Dicabut 4 Pulau Nestapa Aceh Dianaktirikan Oleh Jakarta Sejak Dulu

Opini: Diberi 4 Batalyon, Lalu Dicabut 4 Pulau Nestapa Aceh Dianaktirikan Oleh Jakarta Sejak Dulu

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Situasi di Aceh saat ini memang memunculkan banyak pertanyaan terkait kebijakan pemerintah pusat, terutama dalam hal pengalihan empat pulau di Singkil ke Sumatera Utara serta kehadiran empat batalyon baru di wilayah tersebut. Dalam konteks ini, teori The Rope of God dari James Siegel bisa menjadi lensa yang menarik untuk memahami bagaimana masyarakat Aceh melihat hubungan mereka dengan Jakarta.

Siegel dalam The Rope of God menggambarkan bagaimana Islam di Aceh bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai struktur sosial dan politik yang membentuk identitas kolektif masyarakat Aceh. Konsep “Tali Tuhan” yang ia kemukakan menyoroti bagaimana masyarakat Aceh melihat hubungan mereka dengan kekuasaan—baik kolonial maupun pemerintahan pusat—sebagai sesuatu yang harus selalu dikaitkan dengan nilai-nilai Islam dan keadilan.

Dalam konteks kebijakan Jakarta terhadap Aceh, pendekatan ini bisa menjelaskan mengapa masyarakat Aceh sering kali merasa bahwa keputusan pemerintah pusat tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai yang mereka anut.


Tanggapan masyarakat Aceh terhadap rencana penambahan empat batalyon baru cukup beragam, tetapi banyak pihak yang mengkritisi langkah ini. Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Alhaytar, serta beberapa tokoh perdamaian menilai bahwa kebijakan ini bertentangan dengan MoU Helsinki 2005, yang menjadi dasar perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka khawatir bahwa kehadiran batalyon baru dapat memicu trauma masa lalu dan mengganggu stabilitas yang telah terjaga selama hampir dua dekade.


Selain itu, KontraS Aceh juga menolak rencana ini, dengan alasan bahwa MoU Helsinki telah membatasi jumlah personel militer dan kepolisian di Aceh. Mereka menyoroti pentingnya pemerintah untuk memastikan bahwa jumlah personel militer saat ini masih sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Ada kekhawatiran bahwa pembangunan batalyon baru ini bisa mengancam stabilitas perdamaian yang telah dijaga selama hampir 20 tahun.

Di sisi lain, pihak militer mengklaim bahwa batalyon teritorial ini bertujuan untuk mendukung pencapaian swasembada pangan, dengan setiap batalyon dilengkapi unsur peternakan, pertanian, perikanan, dan kesehatan. Namun, banyak pihak yang tetap mempertanyakan urgensi dari kebijakan ini dan apakah benar-benar diperlukan dalam konteks Aceh saat ini.

Masyarakat Aceh memiliki beberapa kekhawatiran utama terkait rencana penambahan empat batalyon baru.

1. Pelanggaran MoU Helsinki – Kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005 membatasi jumlah personel militer di Aceh. Banyak pihak, termasuk *KontraS Aceh**, menilai bahwa penambahan batalyon ini bertentangan dengan semangat perdamaian yang telah dibangun.
2. Trauma Konflik Masa Lalu– Aceh memiliki sejarah panjang konflik bersenjata, dan kehadiran batalyon baru dikhawatirkan akan membangkitkan kembali trauma masyarakat yang pernah mengalami kekerasan di masa lalu.
3. Ancaman terhadap Stabilitas Perdamaian – Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Alhaytar, serta beberapa tokoh perdamaian menilai bahwa penambahan batalyon ini tidak diperlukan karena kondisi geopolitik saat ini relatif stabil. Mereka khawatir bahwa kebijakan ini justru dapat mengganggu harmoni yang telah terjaga selama hampir dua dekade.
4. Prioritas Pembangunan yang Dipertanyakan – Banyak pihak berpendapat bahwa Aceh lebih membutuhkan investasi dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan sosial daripada penambahan kekuatan militer. Tingkat pengangguran di Aceh masih tinggi, dan masyarakat lebih membutuhkan lapangan kerja serta pembangunan infrastruktur.

Respon Aneuk Bangsa
Mengoptimalkan batalyon yang sudah ada dengan mengalihfungsikan mereka menjadi batalyon teritorial yang berfokus pada pembangunan sosial dan ekonomi. Pendekatan ini telah diusulkan oleh Halaqah Aneuk Bangsa, yang menilai bahwa langkah ini lebih bijaksana dibandingkan penambahan batalyon baru.

Pemerintah perlu mengadakan diskusi terbuka dengan masyarakat Aceh, termasuk tokoh adat dan pemuka agama, untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak bertentangan dengan semangat perdamaian yang telah terjalin sejak MoU Helsinki 2005.

Sebelum menambah batalyon, pemerintah harus melakukan kajian mendalam mengenai urgensi kebijakan ini. KontraS Aceh menyoroti pentingnya memeriksa apakah jumlah personel militer saat ini masih sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.

Jika tujuan utama batalyon baru adalah mendukung swasembada pangan dan pembangunan, maka lebih baik fokus pada program pembangunan langsung yang melibatkan masyarakat sipil tanpa perlu kehadiran militer yang lebih besar. Pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis dialog bisa menjadi solusi terbaik agar kebijakan ini tidak menimbulkan ketegangan baru.

“Tali Tuhan” untuk Rakyat Aceh
Teori The Rope of God dari James T. Siegel dapat memberikan perspektif yang mendalam dalam memahami keresahan masyarakat Aceh terhadap kebijakan Jakarta, khususnya terkait hilangnya empat pulau di Singkil dan penambahan empat batalyon baru.

Dalam bukunya tersebut, Siegel menjelaskan bagaimana Islam di Aceh bukan hanya sekadar agama, tetapi juga struktur sosial dan politik yang membentuk identitas kolektif masyarakat Aceh. Konsep “Tali Tuhan” yang ia kemukakan menyoroti bagaimana masyarakat Aceh melihat hubungan mereka dengan kekuasaan—baik kolonial maupun pemerintahan pusat—sebagai sesuatu yang harus selalu dikaitkan dengan nilai-nilai Islam dan keadilan.

Jika kita menerapkan teori ini dalam konteks kebijakan Jakarta terhadap Aceh, maka keresahan masyarakat Aceh terhadap hilangnya empat pulau dan kehadiran batalyon baru dapat dilihat sebagai bentuk ketidakadilan struktural. Dalam perspektif The Rope of God, masyarakat Aceh tidak hanya melihat tanah dan wilayah sebagai aset geografis, tetapi juga sebagai bagian dari warisan spiritual dan sosial mereka. Hilangnya pulau-pulau di Singkil bisa dianggap sebagai bentuk pelepasan paksa terhadap bagian dari identitas mereka, sementara penambahan batalyon baru dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat kontrol pusat atas Aceh, yang bertentangan dengan semangat otonomi yang mereka perjuangkan sejak lama.

Dengan demikian, teori Siegel membantu menjelaskan mengapa masyarakat Aceh merasa bahwa kebijakan Jakarta tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menyentuh aspek fundamental dari identitas mereka. Jika pemerintah ingin meredakan keresahan ini, maka pendekatan yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai lokal dan sejarah Aceh perlu dipertimbangkan.

Tag

error: Content is protected !!