Opini: Implikasi Yuridis dan Politis Statuta Universitas Malikussaleh

Opini: Implikasi Yuridis dan Politis Statuta Universitas Malikussaleh

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si. Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Baru-baru ini beredar Statuta Universitas Malikussaleh. Statuta adalah konstitusi kampus yang mengatur banyak hal agar kampus bisa mengembangkan ilmu pengetahuan yang terdiri dari berbagai bidang studi dimana setiap jurusan atau program studi memiliki metodologi, teori, konsep dan pendekatan yang berbeda-beda demi mencapai kebenaran dan nalar ajar. Mari kita telaah Statuta Universitas Malikussaleh (Permendikbudristek Nomor 26 Tahun 2024).

Ambiguitas Pasal 1: “Program Studi” vs. “Jurusan” Pasal 1 Statuta Universitas Malikussaleh menyebutkan “Ketua Program Studi” dan “Sekretaris Program Studi” dalam struktur keorganisasian, namun tidak ada penyebutan “Ketua Jurusan”. Ini memang menimbulkan ambiguitas jika di pasal-pasal lain atau dalam praktik Universitas Malikussaleh masih menggunakan istilah “jurusan”.
Program Studi (Prodi) adalah kesatuan rencana belajar yang mengkaji suatu cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu dalam jenis pendidikan akademik, profesi, dan/atau vokasi. Ini adalah unit terkecil yang menghasilkan lulusan dengan gelar.

Jurusan adalah unit organisasi di bawah fakultas yang membawahi beberapa program studi yang serumpun. Tidak semua fakultas memiliki jurusan; beberapa fakultas langsung memiliki program studi.
Jika Statuta secara eksplisit hanya mengakui “Program Studi” sebagai unit di bawah Dekan, maka secara formal, “Jurusan” mungkin tidak lagi menjadi unit struktural yang diakui dalam tataran peraturan ini. Ini bisa berarti bahwa kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh “Ketua Jurusan” kini dialihkan ke “Ketua Program Studi” atau ditiadakan sama sekali.


Jika dalam praktik masih ada “Jurusan” dengan “Ketua Jurusan”, maka akan terjadi tumpang tindih peran dan kewenangan antara Ketua Program Studi dan Ketua Jurusan. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan administrasi dan operasional.
Universitas Malikussaleh perlu melakukan penyesuaian internal, baik dalam nomenklatur jabatan, struktur organisasi, maupun deskripsi tugas, agar selaras dengan Statuta yang baru. Ini bisa berarti menghapus jabatan “Ketua Jurusan” atau secara eksplisit mengintegrasikan peran “Jurusan” di bawah naungan “Program Studi” jika memang konsep “Jurusan” masih dianggap relevan secara substantif.


Penghapusan Jurusan dan langsung ke Program Studi bisa dilihat sebagai upaya untuk menyederhanakan birokrasi dan memfokuskan manajemen langsung pada unit penyelenggara pendidikan (Program Studi). Selama ada banyak kritik terhadap Penggabungan Program Studi (Antropologi-Sosiologi dan Ilmu Politik-Ilmu Komunikasi)
Antropologi dan Sosiologi, meskipun seringkali disebut sebagai ilmu serumpun atau “rumpun ilmu sosial”, memiliki perbedaan fundamental dalam metodologi dan kerangka teoretisnya.


Antropologi: Cenderung fokus pada studi budaya, masyarakat kecil atau etnis, dengan metodologi kualitatif yang mendalam seperti etnografi dan observasi partisipatif. Pendekatan teoritisnya seringkali menekankan holisme dan relativisme budaya.
Sosiologi: Lebih fokus pada struktur sosial, institusi, dan proses sosial dalam masyarakat yang lebih besar, dengan metodologi yang bisa kualitatif maupun kuantitatif (survei, statistik). Teori-teori sosiologi seringkali membahas stratifikasi sosial, perubahan sosial, dan kekuasaan.
Penggabungan keduanya dalam satu jurusan bisa mengaburkan kekhasan masing-masing, baik dalam pengajaran, penelitian, maupun pengembangan kurikulum.

Dosen dari satu bidang mungkin tidak memiliki keahlian mendalam di bidang lain, yang bisa berdampak pada kualitas pembelajaran dan penelitian.
Hal serupa juga berlaku untuk Ilmu Politik dan Ilmu Komunikasi.
Ilmu Politik: Berfokus pada kekuasaan, pemerintahan, sistem politik, kebijakan publik, dan perilaku politik. Metodologinya beragam, termasuk analisis komparatif, studi kasus, dan kuantitatif.


Ilmu Komunikasi: Mempelajari proses komunikasi, media massa, komunikasi antarpribadi, dan dampaknya pada masyarakat. Metodologinya juga bervariasi, termasuk analisis isi, survei, dan eksperimen.
Meskipun ada titik temu di beberapa area (misalnya, komunikasi politik), menyatukan keduanya dalam satu payung struktural dapat mengurangi kedalaman dan spesialisasi yang diperlukan untuk masing-masing disiplin.

Hal ini adalah Bukti Tidak Adanya Apresiasi terhadap Bidang Keilmuan. Penggabungan ini menunjukkan bahwa pihak yang membuat kebijakan (dalam hal ini, struktur universitas) mungkin tidak sepenuhnya memahami atau menghargai kekhasan epistemologis dan metodologis dari setiap disiplin ilmu tersebut. Mereka mungkin melihatnya hanya sebagai “ilmu sosial” secara umum tanpa mempertimbangkan nuansa pentingnya.


Keputusan penggabungan semacam ini seringkali didasari oleh pertimbangan administratif atau efisiensi birokrasi (misalnya, mengurangi jumlah jabatan, menghemat sumber daya) daripada pertimbangan akademik yang mendalam mengenai bagaimana ilmu tersebut seharusnya berkembang dan diajarkan.


Jika dosen atau staf administrasi di satu “jurusan gabungan” tidak memahami sepenuhnya lingkup keilmuan prodi lain di bawahnya, ini bisa menghambat pengembangan kurikulum yang relevan, pembentukan kelompok riset yang fokus, dan bahkan penentuan arah penelitian yang strategis.


Dalam beberapa kasus, penggabungan ini mungkin didorong oleh upaya rasionalisasi atau efisiensi anggaran dan sumber daya manusia, terutama di universitas yang memiliki keterbatasan. Namun, ini seringkali dilakukan dengan mengorbankan kedalaman dan identitas keilmuan.
Mahasiswa dan dosen mungkin merasa identitas keilmuan mereka kurang terwakili atau terdilusi di bawah payung jurusan yang terlalu luas. Ini bisa berdampak pada semangat akademik dan bahkan daya tarik program studi. Jika sumber daya (dosen, laboratorium, referensi) harus dibagi antara dua atau lebih prodi yang berbeda secara fundamental, kualitas pembelajaran dan penelitian bisa terpengaruh.


Meskipun lulusan tetap akan mendapatkan gelar sesuai prodi, persepsi pasar kerja terhadap prodi yang berada di bawah jurusan “campur” bisa sedikit berbeda dibandingkan prodi yang berdiri sendiri atau di bawah jurusan yang lebih fokus.


Mengingat Statuta yang baru tampaknya mengarahkan pada struktur berbasis “Program Studi” alih-alih “Jurusan”, ini bisa menjadi momentum bagi Universitas Malikussaleh untuk Mengevaluasi Ulang Struktur Organisasi. Pertimbangkan untuk meniadakan “jurusan gabungan” dan memungkinkan setiap program studi berdiri sendiri di bawah fakultas (jika memang memungkinkan dan sesuai dengan standar yang ditetapkan Kemendikbudristek).


Jika konsep “jurusan” masih dipertahankan dalam praktik, perlu ada penjelasan yang sangat jelas mengenai pembagian tugas, tanggung jawab, dan kewenangan antara Ketua Jurusan dan Ketua Program Studi, terutama dalam kasus prodi yang berbeda disiplin.


Pengambil kebijakan di tingkat universitas perlu memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang kekhasan setiap disiplin ilmu untuk memastikan bahwa struktur organisasi mendukung pengembangan akademik yang optimal, bukan justru menghambatnya. Struktur yang jelas dan mendukung identitas keilmuan akan sangat membantu dalam proses akreditasi program studi.

Implikasi Politis Pasal 43: Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor oleh Menteri
Pasal 43: “Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal ini merujuk pada kekuasaan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) dalam mengangkat dan memberhentikan Rektor Universitas Malikussaleh. Ini adalah praktik umum di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, terutama PTN Badan Layanan Umum (BLU) atau PTN Satker (Satuan Kerja) seperti Universitas Malikussaleh (berdasarkan lampiran PERMEN ini, UNIMAL masuk BLU).


Ketentuan ini menunjukkan adanya kontrol vertikal yang kuat dari pemerintah pusat (dalam hal ini Kementerian) terhadap kepemimpinan di PTN. Meskipun PTN diberikan otonomi dalam pengelolaan akademik, keuangan, dan sumber daya, pengangkatan dan pemberhentian Rektor oleh Menteri menunjukkan bahwa puncak kepemimpinan masih berada di bawah yurisdiksi dan kebijakan pemerintah pusat.
Otonomi kampus dalam memilih pemimpinnya menjadi terbatas. Senat Universitas, meskipun berperan dalam penjaringan dan pemberian pertimbangan, keputusan akhir ada pada Menteri. Ini bisa mengurangi rasa kepemilikan dan akuntabilitas Rektor kepada komunitas akademik internal, dan lebih kepada Menteri.


Proses pemilihan Rektor seringkali diwarnai oleh “kuota Menteri” (persentase suara Menteri) yang memiliki bobot signifikan. Ini dapat menjadi alat bagi Menteri untuk memastikan figur Rektor yang sejalan dengan visi dan program Kementerian, atau bahkan agenda politik pemerintah yang lebih luas.
Rektor yang diangkat oleh Menteri secara implisit memiliki “hutang” politik atau setidaknya harus menjaga hubungan baik dengan Kementerian. Ini dapat menimbulkan tekanan bagi Rektor dalam mengambil kebijakan, terutama jika ada kebijakan kampus yang berbenturan dengan kepentingan atau arahan Kementerian.


Kemudahan pemberhentian Rektor oleh Menteri juga membuka potensi politisasi. Rektor yang tidak sejalan dengan Menteri atau kebijakan pemerintah pusat dapat sewaktu-waktu diberhentikan, bahkan jika kinerja akademisnya baik. Ini dapat menciptakan ketidakstabilan kepemimpinan dan mengurangi independensi Rektor.


Rektor memiliki akuntabilitas kepada komunitas akademik (Senat, dosen, mahasiswa) dan juga kepada Menteri. Terkadang, kedua akuntabilitas ini bisa berbenturan. Misalnya, keputusan yang populer di kampus mungkin tidak sejalan dengan prioritas Kementerian, atau sebaliknya.


Meskipun Statuta biasanya menjamin kebebasan akademik, keberadaan Rektor yang diangkat oleh Menteri dapat secara tidak langsung mempengaruhi sejauh mana kebebasan akademik dapat dijalankan tanpa kekhawatiran akan dampak politis. Rektor mungkin cenderung lebih berhati-hati dalam isu-isu sensitif yang berpotensi memicu ketidakpuasan Kementerian.
Di sisi lain, argumen positif dari mekanisme ini adalah untuk memastikan konsistensi dan sinergi antara kebijakan perguruan tinggi dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan oleh Kementerian.

Rektor yang diangkat Menteri diharapkan dapat menerjemahkan dan mengimplementasikan visi pendidikan nasional di tingkat universitas.
Pasal 43 Statuta Universitas Malikussaleh menegaskan hierarki kekuasaan dalam tata kelola PTN di Indonesia, di mana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memegang kendali signifikan dalam penentuan kepemimpinan rektoral. Ini mencerminkan adanya keseimbangan (atau ketegangan) antara otonomi perguruan tinggi dan kontrol pemerintah pusat, dengan potensi implikasi politis yang nyata terhadap proses pemilihan, pengambilan kebijakan, dan stabilitas kepemimpinan di universitas.

Tag

error: Content is protected !!