Oleh: Marzuki, Pemerhati Kebijakan Publik/Ketua Yayasan Bina Generasi Samudera.
Bencana yang menerjang bentang Sumatera dari Aceh hingga Sumatera Barat di penghujung tahun ini bukan lagi sekadar teguran alam. Ia adalah “tamparan keras” bagi nalar keadilan kita.
Data berbicara mengerikan. Hingga 13 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 1006 nyawa melayang di tiga provinsi—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Di Aceh, lebih dari 37.000 rumah rusak. Di Sumatera Barat, memori kita belum kering dari tragedi “Galodo” (banjir lahar dingin) Mei 2024 yang menewaskan 60-an jiwa, kini kembali ditambah ratusan korban baru akibat banjir bandang akhir tahun. Di Tapanuli, Sumatera Utara, ekosistem Batang Toru yang kritis mengirimkan air bah yang meluluhlantakkan permukiman.
Kerugian ekonomi ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah. Namun, di balik angka-angka statistik kematian dan kerusakan ini, tersimpan sebuah ironi struktural yang menyakitkan: Daerah dipaksa “berkelahi” sendirian memulihkan diri dengan APBD yang terbatas, sementara pundi-pundi pajak dari aktivitas ekonomi yang merusak alamnya justru mengalir deras ke Jakarta.
Ketimpangan Fiskal: Akar Ketidakadilan.
Akar masalah ini bukan semata curah hujan ekstrem, melainkan sistem perpajakan yang sentralistik dan tidak berpijak pada bumi. Kita masih menganut rezim pajak berbasis domisili administrasi, bukan lokasi riil usaha.
Faktanya telanjang di depan mata. Truk-truk pengangkut CPO (Sawit) dan hasil tambang setiap hari melindas jalanan nasional di Riau, Jambi, dan Sumut hingga hancur. Ribuan hektare hutan di hulu DAS dialihfungsikan menjadi area konsesi, yang menurut data WALHI, telah menyumbang deforestasi masif seluas 1,4 juta hektare di Sumatera dalam satu dekade terakhir.
Namun, ke mana pajaknya bermuara?
Karena kantor pusat (Headquarters) perusahaan-perusahaan raksasa tersebut mayoritas berdomisili di kawasan segitiga emas Jakarta (Sudirman-Thamrin-Kuningan), maka setoran Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan sebagian besar PPN-nya tercatat sebagai penerimaan Kanwil Pajak Jakarta.
Akibatnya, Jakarta menikmati status sebagai penyumbang pajak terbesar dan mendapatkan fasilitas infrastruktur kelas dunia. Sementara itu, kabupaten di pedalaman Aceh atau Sumatera Barat yang tanahnya dikeruk dan airnya tercemar, hanya mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBH) yang seringkali tidak sepadan dengan biaya pemulihan bencana (recovery cost) yang harus ditanggung. Ini adalah definisi klasik dari impoverishing growth-pertumbuhan yang memiskinkan daerah pemilik sumber daya.
Beban Ganda Daerah Penghasil.
Apa yang terjadi saat bencana datang adalah bukti nyata ketidakadilan ini. Ketika banjir bandang menerjang Agam atau Aceh Utara:
1. Infrastruktur Hancur: Jalan putus dan jembatan roboh menjadi beban APBD Kabupaten/Provinsi untuk perbaikan darurat.
2. Ekonomi Lumpuh: Sawah puso dan pasar terendam mematikan ekonomi rakyat kecil.
3. Anggaran Tekor: Pemda harus menggeser anggaran pembangunan lain demi tanggap darurat, karena dana cadangan bencana seringkali minim.
Sementara korporasi? Mereka mungkin menyumbang bantuan sembako atau CSR ala kadarnya, tetapi kewajiban fiskal utama mereka (pajak) sudah tersedot ke pusat, meninggalkan daerah dengan “ampas” kerusakan lingkungan.
Mendesak Reformasi Pajak Berbasis Lokasi
Negara tidak boleh lagi menutup mata. Pembangunan Indonesia Sentris yang didengungkan pemerintah akan selamanya menjadi utopia jika sistem fiskal kita masih Jakarta Sentris. Ada tiga langkah radikal yang harus segera diambil:
Pertama, Ubah Basis Pajak ke Lokasi Usaha (Point of Production).
Reformasi regulasi perpajakan harus mewajibkan perhitungan PPh Badan dan PPN berdasarkan lokasi di mana nilai tambah (value added) diciptakan. Jika pabrik dan kebunnya di Sumatera Utara, pajaknya harus masuk ke kas pelayanan pajak di Sumut. Jangan biarkan administrasi kertas di Jakarta mengalahkan realitas fisik di lapangan.
Kedua, Pajak Ekologis untuk Daerah Terdampak.
Penerimaan negara dari sektor ekstraktif di Sumatera harus memiliki komponen earmarking (alokasi khusus) untuk mitigasi bencana ekologis. Daerah yang memiliki risiko bencana tinggi akibat aktivitas industri berhak mendapat porsi bagi hasil lebih besar, bukan berdasarkan jumlah penduduk semata, tapi berdasarkan luas kerusakan ekologis yang ditanggung.
Ketiga, Aliran Dana hingga ke Desa.
Desa adalah benteng terakhir. Dana bagi hasil pajak harus menetes deras hingga ke kas desa (APBDes) di sekitar wilayah operasi perusahaan. Desa harus memiliki kemandirian finansial untuk merawat parit, menanam kembali pohon di hulu, dan melakukan mitigasi dini tanpa harus menunggu instruksi birokrasi dari pusat yang lambat.
Banjir yang merendam Sumatera hari ini adalah alarm tanda bahaya. Jika ketimpangan fiskal ini terus dibiarkan, kita sedang mewariskan bom waktu ekologis dan ekonomi.
Jangan biarkan Sumatera terus menjadi “sapi perah” yang susunya dinikmati di seberang lautan, sementara kotoran dan kandangnya yang rusak harus diurus sendiri. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus dimulai dari keadilan fiskal bagi daerah penghasil. Pajak harus kembali ke tempat di mana bumi dipijak dan alam dieksploitasi.






