Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Ketika Dedi Mulyadi mengganti nama Rumah Sakit Al-Ihsan menjadi RSUD Welas Asih, sebagian kalangan langsung bereaksi keras. Mereka menuduhnya menghapus identitas Islam dari ruang publik. Namun, di balik kontroversi itu, muncul pertanyaan yang lebih mendalam: apakah Islam hanya soal nama dan simbol, atau tentang nilai dan tindakan?
Bahasa Lokal, Nilai Universal
Nama “Welas Asih” bukan sekadar ganti kulit. Ia adalah terjemahan dari dua sifat utama Allah: ar-Rahman dan ar-Rahim. Dalam bahasa Sunda, “welas” berarti kasih, dan “asih” berarti sayang. Dua kata ini merangkum esensi Islam yang penuh cinta dan kepedulian terhadap sesama.
Menggunakan bahasa lokal bukan berarti menanggalkan keislaman. Justru, itu adalah bentuk dakwah kultural yang lebih inklusif dan membumi. Islam tidak datang untuk meng-Arab-kan dunia, tapi untuk menyebarkan nilai-nilai universal yang bisa hidup dalam berbagai budaya.
Simbol Tanpa Substansi
Di banyak tempat, nama-nama Arab digunakan untuk lembaga publik, tapi pelayanan yang diberikan jauh dari nilai-nilai Islam. Rumah sakit bernama “Al-Ihsan” tidak otomatis menjamin pelayanan yang penuh ihsan. Masjid megah tidak selalu menjadi tempat yang ramah bagi orang miskin atau anak muda yang mencari bimbingan.
Simbol memang penting, tapi tanpa substansi, ia menjadi hampa. Islam bukan hanya soal nama, pakaian, atau jargon. Ia adalah soal kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan keberpihakan pada yang lemah. Ketika seorang pemimpin menerjemahkan nilai-nilai itu ke dalam kebijakan, maka ia sedang menjalankan Islam secara nyata.
Dakwah yang Membumi
Dedi Mulyadi dikenal sebagai figur yang dekat dengan rakyat, terutama di pedesaan. Ia menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi publik, membangun narasi kebudayaan lokal, dan menolak politik identitas yang eksklusif. Bagi sebagian orang, pendekatan ini dianggap “tidak Islami.” Padahal, justru inilah bentuk dakwah yang membumi dan relevan.
Islam tidak anti budaya. Sejarah mencatat bagaimana Islam berkembang di Nusantara melalui pendekatan kultural: wayang, gamelan, bahkan pantun. Para wali tidak memaksakan Arabisasi, tapi menyisipkan nilai Islam dalam tradisi lokal. Dedi Mulyadi melanjutkan warisan itu, meski tanpa gelar ulama.
Penutup: Menghidupkan Islam, Bukan Menyembah Simbol
Kontroversi nama rumah sakit hanyalah permukaan dari perdebatan yang lebih besar: apakah kita masih memahami Islam sebagai jalan hidup, atau sekadar identitas yang harus dipertahankan secara simbolik?
Dedi Mulyadi mungkin tidak tampil dengan sorban dan jargon keagamaan, tapi ia menunjukkan nilai-nilai Islam dalam tindakan. Dan dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh simbol, barangkali kita butuh lebih banyak pemimpin yang berani menghidupkan Islam secara substansial—tanpa harus menyembah simbol.[]