Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai banjir yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra bukan semata bencana alam, melainkan akibat dari kebijakan anti sains dalam pengelolaan lingkungan. Politik bencana di Sumatra, khususnya banjir yang melanda wilayah tersebut, tidak dapat dipahami semata-mata sebagai fenomena alam yang terjadi secara kebetulan. Kajian yang dilakukan oleh KIKA menegaskan bahwa banjir ini merupakan konsekuensi dari kebijakan anti-sains yang diterapkan oleh negara, yang pada gilirannya mencerminkan sebuah bentuk politik afektif yang dikelola oleh negara untuk mengatur penderitaan rakyat demi kepentingan oligarki. Dalam konteks ini, teori Ann Laura Stoler sangat relevan untuk digunakan sebagai kerangka analisis yang mendalam.
Ann Laura Stoler, seorang antropolog politik terkemuka, memperkenalkan konsep “affective states” yang menegaskan bahwa negara tidak hanya beroperasi melalui hukum dan kebijakan formal, tetapi juga melalui pengelolaan emosi, rasa takut, dan penderitaan masyarakat. Negara menggunakan penderitaan sebagai alat untuk mengatur dan mengendalikan rakyatnya, menjadikan penderitaan tersebut sebagai sesuatu yang dianggap normal dan bahkan sebagai legitimasi untuk memperkuat kekuasaannya. Selain itu, Stoler juga mengemukakan konsep “imperial debris” yang menunjukkan bagaimana warisan kolonial tidak berhenti pada masa lalu, melainkan terus hidup dan memengaruhi kebijakan, infrastruktur, serta cara negara memperlakukan warganya hingga saat ini. Dalam kasus banjir di Sumatra, pola pembangunan sentralistik yang diwarisi dari kolonialisme menjadi contoh nyata dari imperial debris, di mana pusat pemerintahan mengabaikan pengetahuan lokal dan kondisi ekologi daerah, sehingga memperparah dampak bencana.
Lebih jauh lagi, Stoler menyoroti fenomena “epistemic violence” yang terjadi ketika pengetahuan ilmiah dan ekologis disingkirkan atau dimanipulasi demi kepentingan politik dan ekonomi. Kebijakan anti-sains yang diterapkan dalam pengelolaan lingkungan di Sumatra merupakan bentuk epistemic violence, di mana pengetahuan yang valid dan berbasis sains diabaikan demi melayani kepentingan oligarki yang menguasai sumber daya dan kekuasaan. Dengan demikian, banjir yang terjadi bukan hanya bencana alam, melainkan juga bencana politik yang dikelola oleh negara melalui mekanisme politik afektif yang mengatur penderitaan rakyat.
Sementara itu, teori Danilyn Rutherford tentang Leviathan memberikan perspektif tambahan yang penting untuk memahami dinamika kekuasaan negara dalam konteks ini. Rutherford menggunakan metafora
Leviathan untuk menggambarkan negara sebagai raksasa yang mengklaim kedaulatan penuh atas rakyatnya. Namun, Leviathan yang ada di Indonesia, khususnya di Aceh, menunjukkan paradoks yang mencolok meskipun negara berusaha tampil sebagai pelindung dan penguasa yang berdaulat, kenyataannya ia sering kali rapuh dan tidak mampu mengelola penderitaan rakyat secara efektif.
Leviathan bukan hanya sebuah mesin kekuasaan yang represif, tetapi juga sebuah proyek imajinatif di mana negara membentuk citra dirinya sebagai pelindung dan penyelamat. Namun, citra ini sering kali bertentangan dengan realitas di lapangan, di mana negara justru menjadi penyebab penderitaan melalui kebijakan yang mengabaikan otonomi daerah dan kondisi ekologis lokal. Di Aceh, misalnya, kebijakan pusat yang mengabaikan otonomi dan pengetahuan lokal telah menyebabkan banjir buatan yang merugikan masyarakat. Gugatan warga negara melalui _citizen lawsuit_ terhadap Presiden dan pejabat pusat merupakan bentuk perlawanan terhadap legitimasi Leviathan yang dipertanyakan, di mana negara yang seharusnya melindungi justru dianggap sebagai sumber penderitaan.
Paradoks Leviathan ini memperlihatkan bagaimana negara berusaha mengontrol narasi bencana dengan mengklaim bahwa banjir adalah fenomena alamiah, padahal kajian KIKA dan akademisi publik membongkar bahwa banjir tersebut adalah hasil dari kebijakan politik yang disengaja dan anti-sains. Dengan demikian, Leviathan di Aceh dan Sumatra bukanlah raksasa yang kuat dan berdaulat, melainkan raksasa yang rapuh dan paradoksal, yang kekuasaannya dipertanyakan oleh rakyat yang menderita.
Kesimpulannya, analisis politik bencana di Sumatra melalui lensa teori Ann Laura Stoler dan Danilyn Rutherford membuka pemahaman baru tentang bagaimana negara mengelola bencana bukan hanya sebagai fenomena alam, tetapi sebagai produk dari kebijakan politik yang mengabaikan sains dan pengetahuan lokal demi mempertahankan kekuasaan oligarki. Stoler membantu kita melihat bagaimana negara menggunakan politik afektif dan epistemic violence untuk menyingkirkan pengetahuan ilmiah dan mengelola penderitaan rakyat sebagai alat legitimasi kekuasaan. Sementara itu, Rutherford menyingkap paradoks Leviathan yang berusaha tampil sebagai pelindung, tetapi justru menunjukkan rapuhnya kedaulatan ketika rakyat menggugatnya.
Signifikansi analisis ini bagi Aceh sangat besar, karena banjir buatan pejabat pusat memperlihatkan bagaimana negara masih mengulang pola kolonial yang merusak ekosistem dan mengabaikan pengetahuan lokal, sehingga menempatkan rakyat sebagai korban dari proyek kekuasaan yang tidak adil. Pemahaman ini penting untuk memperkuat gugatan hukum dan advokasi publik yang menuntut akuntabilitas negara dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal.
Dengan demikian, kajian ini tidak hanya relevan untuk analisis akademis, tetapi juga sebagai landasan bagi akademisi publik dan aktivis dalam menyusun kerangka argumentasi hukum-antropologis yang dapat digunakan dalam gugatan citizen lawsuit. Teori Stoler dan Rutherford memberikan alat konseptual yang kuat untuk menantang narasi resmi negara dan memperjuangkan keadilan ekologis dan sosial di Aceh dan Sumatra secara lebih luas.






