Oleh: Riska Mahqdalena
(Mahasiswi IAIN Lhokseumawe)
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% telah menjadi perhatian publik. Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang mengatur bahwa penyesuaian tarif pajak harus dilakukan untuk mendukung pembangunan dan perekonomian nasional. Namun, pelaksanaan kebijakan ini tetap memunculkan pro dan kontra.
Kenaikan PPN 12% bukanlah keputusan yang tiba-tiba. Langkah ini merupakan bagian dari regulasi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Pemerintah berupaya menjalankan ketentuan ini sebagai bagian dari strategi harmonisasi peraturan perpajakan.
Dengan meningkatkan tarif PPN, negara berharap dapat menambah pendapatan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Namun, untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak memberatkan masyarakat, pemerintah juga telah menetapkan sasaran utama dari kenaikan PPN ini. Tarif baru ini lebih banyak menyasar barang-barang mewah dan layanan premium yang konsumennya umumnya berasal dari kalangan ekonomi atas.
Dengan demikian, kelompok masyarakat menengah ke bawah diharapkan tidak terlalu terbebani oleh kebijakan ini.
Meskipun fokus utama kenaikan PPN adalah pada barang dan jasa mewah, dampaknya tetap dirasakan oleh masyarakat luas, termasuk kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan bahwa kenaikan harga barang pokok dan jasa akibat tarif baru ini diperkirakan hanya sebesar 0,9%. Angka ini dianggap relatif kecil, tetapi tetap dapat memengaruhi daya beli masyarakat yang sudah tertekan oleh inflasi dan kondisi ekonomi global.
Kritik terhadap kebijakan ini datang dari berbagai pihak yang khawatir bahwa kenaikan harga, meskipun kecil, akan berdampak kumulatif pada pengeluaran rumah tangga.
Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah memberikan pembebasan atau penurunan atau tidak menaikkan tarif pajak untuk barang kebutuhan pokok. Dengan demikian, masyarakat berpenghasilan rendah tidak terbebani oleh kenaikan harga yang mungkin terjadi. Selain itu, pengelolaan pajak yang transparan dan efisien juga menjadi faktor penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap kebijakan ini.
Diharapkan kenaikan PPN 12% ini benar-benar dapat menyasar barang dan jasa premium, seperti barang mewah, tanpa memberatkan perekonomian masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah perlu memastikan bahwa tambahan pendapatan dari pajak ini digunakan secara efektif untuk mendukung pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan pendekatan yang tepat, kenaikan PPN 12% dapat menjadi instrumen yang mendukung perekonomian nasional tanpa harus merugikan masyarakat luas. Semoga kebijakan ini mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi semua pihak.