Opini: Ketika ‘AI’ Hanyalah Topeng: Runtuhnya Builder.ai dan Krisis Etika Teknologi

Opini: Ketika ‘AI’ Hanyalah Topeng: Runtuhnya Builder.ai dan Krisis Etika Teknologi

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Asrianda Dosen Universitas Malikussaleh

Di tengah gegap gempita revolusi kecerdasan buatan (AI), ironi besar muncul dari Inggris: Builder.ai. Startup yang digadang-gadang sebagai pelopor solusi otomatis pengembangan aplikasi tanpa coding, resmi menyatakan kebangkrutan. Perusahaan yang pernah dihujani dana lebih dari 450 juta dolar AS dari investor kelas kakap seperti Microsoft dan Qatar Investment Authority, kini tersungkur karena satu dosa besar: menjual ilusi. Builder.ai tak runtuh karena kalah bersaing dalam inovasi.

Ia ambruk karena mengkhianati kepercayaan. Di balik teknologi yang disebut-sebut canggih, ternyata tersembunyi ratusan tenaga manusia yang berpura-pura menjadi mesin. Ini bukan hanya soal etika bisnis, tetapi tamparan telak bagi ekosistem startup yang kerap menjual mimpi tanpa fondasi nyata.

Penipuan ini menjadi refleksi keras bagi dunia teknologi: AI bukan mantra yang bisa dijual begitu saja tanpa akuntabilitas. Masyarakat dan investor telah terbuai dengan istilah “disruptif”, “otomatisasi”, dan “tanpa kode”. Namun, jika label AI hanya menjadi kemasan palsu untuk eksploitasi tenaga kerja murah, maka teknologi berubah dari inovasi menjadi penipuan sistemik. Lebih memilukan lagi, kebangkrutan ini terjadi bukan semata karena gagalnya teknologi, melainkan karena keberanian untuk memalsukan pendapatan hingga empat kali lipat dalam laporan keuangan. Jika benar laporan dari Linas Beliūnas, bahwa tak ada AI sungguhan di balik Builder.ai, maka ini adalah bentuk fraud struktural yang melibatkan manipulasi masif dan berlangsung selama hampir delapan tahun.

Kasus Builder.ai menyingkap kerapuhan mekanisme pengawasan terhadap startup yang menyebut diri sebagai pelopor AI. Di satu sisi, perusahaan ini sukses menarik ratusan juta dolar dari investor, termasuk dari lembaga sekelas Bank Dunia. Di sisi lain, lembaga-lembaga tersebut tampaknya tidak cukup kritis untuk menguji sejauh mana klaim teknologi itu nyata atau sekadar label indah tanpa substansi.

Akibatnya, bukan hanya uang investor yang lenyap. Reputasi teknologi AI ikut tercoreng. Masyarakat kini berhak mempertanyakan: berapa banyak lagi perusahaan yang menjual “AI” sebagai topeng, sementara operasionalnya sepenuhnya dijalankan manusia? Dan yang lebih penting, berapa banyak kebijakan publik dan pendanaan negara yang telah, sedang, dan akan digelontorkan keperusahaan- perusahaan bertopeng semacam ini?
Di tengah era keemasan AI, kita tidak boleh kehilangan akal sehat. Perlu standar audit teknologi, bukan hanya audit finansial.

Jika laporan AI menjadi faktor utama menarik investasi dan regulasi, maka perusahaan teknologi mesti diwajibkan membuka “black box” AI mereka kepada regulator independen. Kepercayaan publik dan stabilitas ekosistem digital tak bisa diserahkan pada narasi sepihak.

Kisah Builder.ai adalah sinyal darurat: industri AI sedang menuju titik jenuh antara inovasi dan ilusi. Jika tidak dikendalikan dengan transparansi dan akuntabilitas, kita bisa terjebak dalam ekonomi yang dibangun atas dusta, bukan data. Dan pada akhirnya, kebangkrutan ini bukan semata runtuhnya satu startup. Ini adalah runtuhnya kepercayaan pada mimpi AI yang tidak disertai integritas. Sejatinya, teknologi adalah alat, bukan panggung sandiwara. Dan setiap kebohongan yang dibungkus dengan istilah canggih, cepat atau lambat, akan menemukan kejatuhannya sendiri.

Fenomena Builder.ai juga menyentil kegagalan kolektif dalam ekosistem investasi teknologi. Venture Capital dan investor strategis yang semestinya memiliki kemampuan uji tuntas (due diligence) justru terkesan terlalu antusias mengejar potensi cuan dari tren AI. Ini menunjukkan bagaimana euforia teknologi dapat mengaburkan penilaian risiko dan memperbesar toleransi terhadap narasi yang belum terbukti.

Dalam konteks ini, kegagalan Builder.ai bukan hanya cerminan kesalahan perusahaan, tapi juga bukti lemahnya mekanisme kontrol investor.
Tidak kalah penting, kasus ini juga menunjukkan adanya ketimpangan global dalam struktur tenaga kerja digital. Sekitar 700 programmer asal India dikabarkan bekerja secara tersembunyi untuk berpura-pura menjadi “BOT AI”. Mereka bukan sekadar korban, namun juga bagian dari sistem yang dibangun untuk mempertahankan kebohongan. Ini membuka diskusi penting tentang eksploitasi digital, etika kerja jarak jauh, dan bagaimana teknologi bisa disalahgunakan untuk menyembunyikan eksploitasi manusia.


Dari sisi kebijakan, kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah di berbagai negara untuk mulai membentuk kerangka regulasi yang tegas terhadap praktik mislabeling AI. Sertifikasi algoritma, audit algoritmik, dan kewajiban pelaporan arsitektur sistem adalah contoh langkah konkret yang bisa diambil.

Tanpa intervensi regulatif yang progresif, ruang digital akan semakin rawan dimanipulasi oleh narasi yang mengaburkan antara teknologi nyata dan fiksi korporat. Di saat bersamaan, publik juga perlu meningkatkan literasi digital-terutama dalam membedakan antara teknologi nyata dan promosi pemasaran semata. Istilah seperti “tanpa kode”, “otomatisasi total”, atau “solusi AI penuh” harus dihadapi dengan sikap kritis. Jangan sampai semangat untuk mengadopsi inovasi membuat masyarakat dan pelaku bisnis kehilangan kemampuan untuk mengajukan pertanyaan mendasar: apakah ini benar-benar teknologi, atau hanya kemasan?

Terakhir, penting untuk diingat bahwa bukan AI yang patut disalahkan dalam kisah ini, melainkan manusia yang memilih menyalahgunakannya. AI tetaplah alat yang menjanjikan untuk mendorong efisiensi dan kemajuan, asal digunakan dengan tanggung jawab dan integritas. Kasus Builder.ai menjadi pelajaran berharga – bahwa transparansi, akuntabilitas, dan etika harus menjadi fondasi utama dalam setiap langkah membangun teknologi masa depan. Jika tidak, kita hanya akan terus mengulangi sejarah yang sama: membangun masa depan di atas kebohongan.

Tag

error: Content is protected !!