Oleh: Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Dukungan Amerika Serikat dan sekutu Barat terhadap Israel memiliki akar sejarah, politik, dan strategis yang kuat. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang mengakui Israel setelah deklarasi kemerdekaan pada tahun 1948. Presiden AS saat itu, Harry Truman, melihat Israel sebagai sekutu penting di Timur Tengah. Selama Perang Dingin, AS mendukung Israel sebagai cara untuk menahan pengaruh Uni Soviet di kawasan tersebut. Israel dianggap sebagai benteng demokrasi di Timur Tengah yang dikelilingi oleh negara-negara Arab yang pada saat itu lebih dekat dengan blok Soviet.
Selain kepentingan geopolitik, hubungan AS dan Israel semakin erat melalui aliansi militer dan bantuan keamanan. AS memberikan dukungan besar dalam bentuk bantuan militer dan teknologi pertahanan canggih, sementara Israel menjadi mitra utama dalam operasi intelijen dan keamanan di Timur Tengah. Pengaruh politik dalam kebijakan luar negeri AS juga turut berperan, terutama melalui kelompok lobi seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) yang mendorong kebijakan yang menguntungkan Israel melalui jalur politik dan ekonomi.
Di samping itu, AS dan Israel sering kali menekankan kesamaan nilai-nilai demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia sebagai dasar hubungan mereka. Narasi ini digunakan untuk memperkuat dukungan publik terhadap Israel di negara-negara Barat. Meskipun ada kritik terhadap kebijakan Israel terhadap Palestina, dukungan ini tetap kuat karena berbagai faktor strategis dan historis.
Amerika Serikat telah menghadapi kritik global atas dukungannya terhadap Israel dalam konflik di Gaza.
Meskipun ada tekanan internasional yang semakin meningkat, AS tetap menjadi sekutu utama Israel, dengan memberikan bantuan militer dan diplomatik yang signifikan. Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintahan Joe Biden mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan sikap dengan menangguhkan pengiriman beberapa jenis amunisi ke Israel, terutama yang berpotensi digunakan dalam serangan di Rafah. Namun, langkah ini dianggap oleh banyak pihak sebagai simbolis dan tidak cukup untuk menghentikan agresi Israel di Gaza.
Di sisi lain, AS tetap menegaskan bahwa Israel tidak melakukan genosida, meskipun lebih dari 35.000 warga Palestina telah tewas akibat serangan militer Israel. Sikap ini bertentangan dengan keputusan Mahkamah Internasional yang sedang menyelidiki dugaan genosida oleh Israel. Selain itu, laporan menunjukkan bahwa AS secara diam-diam memberikan informasi intelijen kepada Israel untuk membantu penargetan serangan di Gaza.
Sementara beberapa negara Eropa mulai mengambil sikap lebih tegas dengan menyerukan diakhirinya genosida di Gaza, AS masih mempertahankan dukungan terhadap Israel dengan alasan keamanan dan kepentingan geopolitik. Sikap ini terus menjadi perdebatan di tingkat global, terutama di tengah meningkatnya tekanan dari komunitas internasional dan aktivis hak asasi manusia. Dalam antropologi, hak asasi manusia sering dijelaskan melalui dua pendekatan utama: universalisme dan relativisme budaya. Universalisme berpendapat bahwa hak asasi manusia bersifat universal dan berlaku untuk semua individu, terlepas dari budaya atau tradisi mereka. Sementara itu, relativisme budaya menekankan bahwa hak asasi manusia harus dipahami dalam konteks budaya masing-masing masyarakat.
Salah satu teori yang relevan adalah Teori Hak Kodrati yang berasal dari filsafat hukum kodrat. Teori ini menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap individu sejak lahir dan tidak dapat dicabut oleh negara atau institusi mana pun. Dalam konteks antropologi, teori ini sering dikaitkan dengan perkembangan sistem hukum dan norma sosial dalam berbagai budaya. Selain itu, ada juga Teori Relativisme Budaya, yang berpendapat bahwa konsep hak asasi manusia harus disesuaikan dengan nilai-nilai dan tradisi lokal. Pendekatan ini sering digunakan untuk memahami bagaimana masyarakat tradisional mengembangkan sistem keadilan dan perlindungan hak-hak individu berdasarkan norma budaya mereka sendiri.
Beberapa teoritisi yang ahli dalam teori Hak Kodrati termasuk John Locke, yang berpendapat bahwa hak-hak seperti kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan adalah hak alamiah yang tidak dapat dicabut. Hugo Grotius juga mengembangkan teori hukum kodrati yang menjadi dasar bagi konsep hak asasi manusia modern. Selain itu, Thomas Aquinas dalam filsafat hukum kodratnya menekankan bahwa hak-hak manusia berasal dari hukum alam yang bersifat universal.
Teori Hak Kodrati menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap individu sejak lahir dan tidak dapat dicabut oleh negara atau institusi mana pun. Dalam konteks konflik dan krisis kemanusiaan di Gaza, Suriah, Afghanistan, dan Rohingya di Myanmar, teori ini dapat digunakan untuk menyoroti pelanggaran hak-hak fundamental yang seharusnya dijamin bagi semua manusia.
Di Gaza, hak kodrati seperti hak hidup dan kebebasan sering kali dilanggar akibat serangan militer yang menyebabkan ribuan korban jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak. Meskipun hukum internasional menegaskan perlindungan terhadap warga sipil, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hak-hak dasar mereka sering kali diabaikan.
Di Suriah, perang saudara yang berlangsung lebih dari satu dekade telah menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan mengalami kekerasan ekstrem. Hak kodrati seperti hak atas keamanan dan perlindungan dari penyiksaan sering kali tidak dihormati, baik oleh pemerintah maupun kelompok bersenjata.
Di Afghanistan, perubahan pemerintahan dan konflik berkepanjangan telah mengancam hak-hak dasar, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Hak kodrati seperti hak atas pendidikan dan kebebasan berekspresi menjadi terbatas akibat kebijakan yang diskriminatif.
Di Myanmar, etnis Rohingya telah mengalami diskriminasi sistematis dan pengusiran massal. Hak kodrati mereka, termasuk hak untuk hidup dan hak atas kewarganegaraan, telah dirampas oleh pemerintah Myanmar, yang tidak mengakui mereka sebagai warga negara.