OPINI: Mengapa Dunia Diam terhadap Gaza?

OPINI: Mengapa Dunia Diam terhadap Gaza?

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.


Dunia diam terhadap Gaza karena dalam realitas politik global, penderitaan manusia sering kali ditentukan oleh kepentingan ekonomi dan strategi kekuasaan. Seolah-olah hak asasi manusia adalah sebuah mata uang yang hanya berlaku jika menguntungkan kelompok tertentu. Gaza bukanlah ladang minyak atau pusat ekonomi dunia, sehingga jeritan rakyatnya tidak cukup kuat untuk menembus tembok kepentingan geopolitik.

Dalam perspektif antropologis, kita melihat bagaimana sistem sosial dan budaya global membentuk hierarki penderitaan. Beberapa konflik mendapatkan perhatian besar, dipenuhi dengan pernyataan keprihatinan dari pemimpin dunia, konferensi pers yang dramatis, dan sanksi internasional yang digembar-gemborkan. Sementara itu, Gaza tetap dalam bayang-bayang, hanya menjadi angka statistik yang tercetak di laporan media yang tidak akan mengubah kebijakan nyata. Keberpihakan dalam konflik ini bukan sekadar persoalan moral, tetapi juga hasil dari konstruksi budaya tentang siapa yang layak dianggap sebagai korban.

Refleksi antropologis ini adalah bagaimana masyarakat global telah terbiasa dengan normalisasi kekerasan di Gaza. Semakin sering konflik terjadi, semakin kecil empati yang diberikan. Ketika tragedi menjadi rutinitas, ia kehilangan urgensinya. Bahkan dalam diskursus hak asasi manusia, Gaza hanya menjadi bagian dari narasi tanpa solusi, sebuah simbol penderitaan yang dikutuk dalam seminar akademik tetapi tetap dibiarkan terbakar dalam kenyataan.
Mari kita selami lebih dalam refleksi antropologis mengenai diamnya dunia terhadap Gaza, dengan menyoroti bagaimana kekuasaan, norma sosial, dan konstruksi budaya memainkan peran dalam ketidakpedulian ini.

1. Hierarki Penderitaan: Siapa yang Layak Diperhatikan?
Dalam konteks konflik global, tidak semua penderitaan mendapat perlakuan yang sama. Dunia internasional tampaknya menerapkan sistem seleksi tersendiri tentang tragedi mana yang layak dikutuk dan mana yang boleh diabaikan. Gaza, meskipun telah mengalami kehancuran besar dan ribuan nyawa melayang, sering kali hanya menjadi bagian dari laporan rutin, kehilangan urgensi dalam diskursus kemanusiaan. Jika kita melihat peristiwa lain yang mendapat perhatian luas—seperti invasi Ukraina—perbedaan ini sangat mencolok. Media besar dan pemimpin dunia bersatu mengecam agresi dalam beberapa konflik tertentu, sementara untuk Gaza, serangkaian pembunuhan massal diperlakukan hampir seperti peristiwa administratif yang sudah menjadi kebiasaan.

2. Normalisasi Kekerasan dan Sensibilitas Global dalam antropologi sosial, ada konsep normalisasi kekerasan, di mana suatu bentuk kekejaman secara bertahap diterima sebagai bagian dari realitas. Gaza telah menjadi contoh klasik dari proses ini-dari blokade ekonomi yang berlangsung selama bertahun-tahun hingga serangan yang berulang kali terjadi. Setiap kali tragedi baru terjadi, kemarahan global meredup lebih cepat dari sebelumnya. Kekerasan menjadi latar belakang, bukan lagi pusat perhatian. Seiring waktu, dunia terbiasa melihat kehancuran Gaza tanpa merasakan dorongan moral untuk bertindak.

3. Kepentingan Ekonomi dan Realpolitik yang Menentukan Sikap
Dalam politik global, keputusan tentang dukungan atau penolakan terhadap suatu konflik sering kali tidak didasarkan pada prinsip kemanusiaan, tetapi pada kepentingan ekonomi dan strategis. Gaza, tidak memiliki nilai ekonomi besar bagi kekuatan global, sehingga tidak mendapat tempat dalam agenda diplomasi utama. Negara-negara yang seharusnya menjadi pelindung hak asasi manusia justru memilih untuk mempertahankan hubungan baik dengan pihak yang memiliki kekuatan finansial dan militer lebih besar sebuah kalkulasi yang lebih mengutamakan keuntungan daripada keadilan. Jika sebuah tragedi tidak mengganggu keseimbangan ekonomi global atau kepentingan politik besar, maka ia dapat dibiarkan begitu saja.

4. Refleksi terhadap Konstruksi Budaya tentang Korban dalam kajian antropologi, bagaimana suatu kelompok dipandang oleh komunitas internasional sering kali menentukan seberapa besar simpati yang mereka terima. Gaza dan Palestina pada umumnya telah mengalami dehumanisasi sistematis—mereka tidak lagi hanya dilihat sebagai korban, tetapi juga sebagai ancaman, sebagai bagian dari narasi yang menyalahkan mereka atas penderitaan mereka sendiri. Berbeda dengan komunitas lain yang mendapat perlindungan penuh sebagai pengungsi akibat perang, warga Gaza sering kali ditempatkan dalam kategori yang lebih ambigu, di mana hak-hak mereka tidak mendapatkan prioritas. Konstruksi ini diperkuat oleh narasi media, di mana penderitaan Gaza tidak dijelaskan dalam konteks kemanusiaan yang setara dengan tragedi lain.

Kesimpulan: Dunia Memilih Diam karena Sudah Nyaman dalam Ketidakpedulian. Diamnya dunia terhadap Gaza bukanlah hasil dari ketidaktahuan, tetapi keputusan yang dibuat secara sadar.

Antropologi mengajarkan bahwa kekuasaan dan persepsi sosial membentuk respons terhadap suatu tragedi. Gaza telah menjadi contoh bagaimana sebuah masyarakat dapat dibiarkan hancur secara perlahan karena tidak memiliki posisi kuat dalam dinamika global. Ketika kekejaman menjadi bagian dari rutinitas, maka solidaritas kehilangan maknanya. Dunia diam karena sudah terbiasa dengan pemandangan kehancuran di Gaza, dan lebih memilih mempertahankan status quo daripada memperjuangkan keadilan bagi mereka yang telah lama kehilangan hak-haknya.

Tag

error: Content is protected !!