Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Di tengah semangat keberagamaan masyarakat Indonesia, terutama di daerah yang dikenal kuat memegang nilai-nilai Islam seperti Aceh, muncul kembali bayang-bayang aliran sesat yang telah lama beroperasi di bawah berbagai nama dan wajah: Millata Abraham. Penangkapan sekitar 20 anggotanya di Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie pada pertengahan 2025 bukanlah kejutan bagi mereka yang telah mengikuti jejak gerakan ini sejak awal 2000-an. Millata Abraham bukan sekadar aliran menyimpang; ia adalah gerakan ideologis yang terstruktur, adaptif, dan menyusup lewat celah sosial, hukum, dan psikologis masyarakat.
Akar dari Millata Abraham dapat ditelusuri ke Ahmad Musadeq, seorang mantan pelatih bulu tangkis nasional yang pada tahun 2000 mendirikan Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Musadeq mengklaim dirinya sebagai nabi ke-26 setelah Nabi Muhammad SAW, dan menyebarkan ajaran yang menolak syariat Islam, menafsirkan ulang Al-Qur’an, serta menggabungkan unsur Yahudi, Kristen, dan Islam dalam satu doktrin sinkretis. Setelah Al-Qiyadah dibubarkan dan dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Musadeq tidak berhenti. Ia mendirikan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), yang tampil sebagai gerakan sosial dan pertanian mandiri, namun tetap membawa ajaran lama yang kini dikemas ulang sebagai Millata Abraham.
Ajaran Millata Abraham memiliki karakteristik yang jelas dan konsisten: penolakan terhadap Islam sebagai agama yang benar, penghapusan kewajiban salat dan puasa, serta klaim bahwa Nabi Muhammad bukan nabi terakhir. Ahmad Musadeq diposisikan sebagai nabi pembaru yang membawa kembali ajaran Ibrahim yang “murni.” Pengikutnya diajak untuk hijrah secara fisik dan ideologis, meninggalkan kehidupan lama dan membentuk komunitas mandiri di wilayah terpencil seperti Kalimantan Barat. Di Aceh, ajaran ini menyebar secara diam-diam, dengan strategi rekrutmen yang menyasar anak muda, mahasiswa, dan keluarga miskin melalui kegiatan sosial, diskusi spiritual, dan pembaiatan rahasia.
Pola ini mengingatkan pada aliran Isa Bugis yang berkembang sejak 1970-an. Isa Bugis, meski tidak mengangkat nabi baru, juga menolak mukjizat para nabi, menafsirkan Al-Qur’an secara rasional, dan menempatkan akal di atas wahyu. Kedua aliran ini sama-sama menolak syariat Islam dan berusaha mengilmiahkan agama dengan pendekatan logika ekstrem. Isa Bugis bahkan pernah dimintai pertanggungjawaban di hadapan Buya Hamka dan ulama nasional di Masjid Istiqlal pada 1969, menunjukkan bahwa ancaman ideologis seperti ini bukan hal baru. Yang membedakan Millata Abraham adalah keberanian mereka untuk menyusun struktur organisasi yang menyerupai negara kecil, lengkap dengan sistem keuangan, pendidikan, dan bahkan “konstitusi” internal.
Persebaran Millata Abraham cukup luas dan tidak terbatas pada satu wilayah. Selain Aceh, pengikutnya ditemukan di Jakarta, Depok, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, dan Kalimantan Barat. Di Aceh sendiri, diperkirakan terdapat lebih dari 3.000 pengikut aktif. Struktur organisasi mereka rapi, dengan peran seperti Imam, Bendahara, Sekretaris, dan Duta. Mereka memanfaatkan celah hukum dengan tidak mendaftarkan diri sebagai organisasi resmi, sehingga sulit diawasi dan ditindak secara hukum. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka menyamarkan aktivitas keagamaan sebagai kegiatan sosial atau pertanian, membuat masyarakat awam sulit mengenali bahaya yang tersembunyi.
Respons pemerintah dan MUI terhadap Millata Abraham cukup tegas. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 digunakan untuk menjerat para pengikutnya, dengan ancaman hukuman cambuk dan penjara. Namun, tantangan terbesar terletak pada rehabilitasi sosial. Setelah pembubaran Gafatar, ribuan mantan pengikut dipulangkan dari Kalimantan dan menjalani program reintegrasi. Sayangnya, penolakan dari keluarga dan masyarakat membuat mereka rentan kembali ke ajaran lama. Banyak dari mereka yang merasa terasing, tidak diterima, dan akhirnya kembali mencari komunitas yang memberi rasa aman dan identitas—yang ironisnya, justru ditemukan dalam kelompok yang telah menyesatkan mereka.
Fenomena ini menunjukkan bahwa aliran sesat tidak selalu datang dengan wajah ekstrem, tetapi bisa menyusup lewat kegiatan sosial, ekonomi, dan bahkan pendidikan. Penanganan yang hanya bersifat hukum tidak cukup. Diperlukan pendekatan kultural, edukatif, dan psikologis yang menyeluruh agar masyarakat tidak hanya terlindungi, tetapi juga mampu mengenali dan menolak ajaran yang menyesatkan. Pemerintah daerah, tokoh agama, dan lembaga pendidikan harus bersinergi untuk membangun ketahanan ideologis masyarakat, terutama generasi muda yang menjadi target utama rekrutmen.
Salah satu aspek yang sering diabaikan adalah daya tarik psikologis dari aliran seperti Millata Abraham. Mereka menawarkan jawaban atas kegelisahan eksistensial, ketidakpuasan terhadap institusi agama formal, dan rasa keterasingan sosial. Dalam komunitas mereka, setiap individu diberi peran, dihargai, dan dilibatkan dalam kegiatan kolektif. Ini menciptakan rasa memiliki yang kuat, yang sering kali tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat umum. Oleh karena itu, pendekatan deradikalisasi harus menyentuh aspek psikologis dan sosial, bukan hanya doktrinal.
Selain itu, perlu ada kajian akademik yang lebih mendalam tentang bagaimana aliran seperti Millata Abraham mampu bertahan dan berevolusi meski telah dinyatakan sesat secara resmi. Mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu mengubah wajah dan strategi mereka sesuai dengan konteks sosial-politik yang berkembang. Dari Al-Qiyadah ke Gafatar, lalu menjadi Millata Abraham, mereka menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Ini menandakan bahwa penanganan aliran sesat tidak bisa bersifat reaktif, tetapi harus proaktif dan berbasis riset.
Dalam konteks global, fenomena seperti Millata Abraham bukanlah hal yang unik. Di berbagai negara, muncul gerakan-gerakan spiritual alternatif yang menantang ortodoksi agama dan menawarkan interpretasi baru yang lebih “rasional” atau “universal.” Namun, yang membedakan Millata Abraham adalah klaim kenabian dan penolakan total terhadap Islam sebagai agama wahyu. Ini menjadikannya bukan sekadar gerakan spiritual, tetapi ancaman ideologis yang dapat merusak fondasi keagamaan dan sosial masyarakat.
Akhirnya, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: bagaimana masyarakat bisa membentengi diri dari infiltrasi ideologi menyimpang seperti ini? Jawabannya tidak sederhana. Ia melibatkan pendidikan agama yang inklusif dan kritis, penguatan institusi keagamaan yang transparan dan akuntabel, serta penciptaan ruang dialog yang sehat antara umat dan ulama. Masyarakat harus diberi kemampuan untuk bertanya, berdiskusi, dan memahami ajaran agama secara mendalam, bukan sekadar menerima dogma tanpa pemahaman.
Millata Abraham adalah cermin dari kegagalan kita dalam membangun ketahanan spiritual yang tangguh. Ia menunjukkan bahwa di balik semangat keberagamaan yang tinggi, masih ada celah yang bisa dimasuki oleh ideologi menyimpang. Penanganannya tidak bisa hanya mengandalkan aparat dan fatwa, tetapi harus melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses edukasi, rehabilitasi, dan pencegahan. Jika tidak, sejarah akan terus berulang, dan aliran sesat akan terus menemukan wajah baru untuk menyusup ke dalam kehidupan kita.[]