Opini: Mirza dan Zainal Bukan Teroris Mereka Nasionalis Aceh yang Terluka

Opini: Mirza dan Zainal Bukan Teroris Mereka Nasionalis Aceh yang Terluka

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Dr Al Chaidar Abdurrahman Puteh. Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Penangkapan dua Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Densus 88 pada 5 Agustus 2025 di Banda Aceh —Mirza dan Zainal— telah memicu gelombang opini publik yang cenderung menyederhanakan persoalan. Mereka dituduh sebagai bagian dari jaringan Negara Islam Indonesia (NII) faksi MYT, dan segera dicap sebagai “teroris”. Tapi apakah label itu adil? Apakah kita benar-benar memahami siapa mereka dan apa yang mereka perjuangkan?


Saya ingin menawarkan sudut pandang lain berdasarkan hasil penelitian saya selama ini terhadap kedua yang sangat saya kenal. Mirza dan Zainal dan juga Ustadz Maimun Al Abrar bukan teroris. Mereka adalah nasionalis Aceh yang terluka—yang kecewa terhadap janji-janji negara yang tak kunjung ditepati, dan yang memilih jalur politik serta ideologi untuk memperjuangkan martabat Aceh.

Dua ASN, Dua Aktivis Politik
Mirza, pegawai Kanwil Kemenag Aceh, dan Zainal, pegawai Dinas Pariwisata Banda Aceh, bukan orang asing dalam dunia aktivisme politik lokal. Mereka adalah relawan fanatik Gardu Prabowo, sebuah gerakan akar rumput yang aktif mendukung Prabowo Subianto dalam dua kali pencalonannya sebagai presiden: 2014 dan 2019.


Di bawah kepemimpinan Roesly Moehammad Saman—tokoh sentral Gardu Prabowo di Aceh dan fungsionaris NII faksi MYT—mereka terlibat dalam kampanye, diskusi politik, dan mobilisasi dukungan. Bagi mereka, Prabowo adalah simbol harapan: pemimpin tegas yang berani melawan arus, dan yang diyakini akan menghormati komitmen terhadap Aceh.

NII Faksi MYT: Ideologi, Bukan Teror
Keterlibatan Mirza dan Zainal dalam NII faksi MYT tidak bisa langsung disamakan dengan aksi teror. Faksi MYT di Aceh lebih menyerupai gerakan ideologis dan spiritual yang mengusung semangat otonomi, keadilan, dan pemulihan identitas Aceh. Di bawah bimbingan Roesly MS, mereka tidak mengangkat senjata, tetapi mengangkat gagasan.

Bagi mereka, NII bukan tentang memisahkan diri dari Indonesia, tetapi tentang menuntut Indonesia menepati janji. Janji yang pernah diucapkan oleh Soekarno kepada Aceh—tentang penghormatan, otonomi, dan pengakuan—yang kemudian diingkari. Kekecewaan itu melahirkan nasionalisme yang kritis, bukan radikalisme yang destruktif.
Aceh bukan wilayah yang anti-NKRI. Justru, sejarah menunjukkan bahwa Aceh adalah salah satu daerah yang paling awal dan paling besar kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia. Tapi cinta terhadap tanah air tidak berarti diam terhadap ketidakadilan. Nasionalisme Aceh adalah cinta yang kritis—yang berani menuntut, bukan sekadar menerima.
Mirza dan Zainal adalah bagian dari generasi yang tidak puas dengan simbol, tapi menuntut substansi. Mereka ingin pemimpin yang tidak hanya bicara, tapi bertindak. Dukungan mereka terhadap Prabowo adalah bentuk harapan akan pemimpin yang bisa mengembalikan martabat Aceh dalam bingkai Indonesia.

Penutup: Mendengar Sebelum Menuduh
Menyematkan label “teroris” kepada mereka bukan hanya tidak akurat, tapi juga berbahaya. Itu menutup ruang dialog, memperkuat stigma, dan memperdalam luka sejarah. Negara harus belajar membedakan antara aktivisme politik dan ancaman keamanan. Tidak semua yang berbeda adalah berbahaya. Tidak semua yang kritis adalah musuh.


Jika negara terus menyederhanakan aspirasi lokal sebagai ancaman, maka luka sejarah akan terus menganga. Yang dibutuhkan bukan represi, tapi rekognisi. Bukan penangkapan, tapi pemulihan kepercayaan.
Mirza dan Zainal adalah cerminan dari nasionalisme Aceh yang terluka. Mereka bukan ancaman bagi Indonesia, tapi pengingat bahwa janji harus ditepati. Jika kita benar-benar ingin membangun Indonesia yang adil dan inklusif, maka kita harus mulai dengan mendengar—bukan menuduh. Aceh tidak butuh label. Aceh butuh keadilan.

Tag

error: Content is protected !!