Opini: Musyawarah dan Jihad Ketika Ulama Aceh Memilih Republik

Opini: Musyawarah dan Jihad Ketika Ulama Aceh Memilih Republik

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si (Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh)

Di tengah kekacauan pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia di berbagai pelosok masih ragu-ragu: apa kemerdekaan benar-benar nyata? Apakah kolonial akan kembali? Namun, di Aceh, suara itu mengkristal dengan cepat dan lantang – kemerdekaan adalah harga mati. Dan yang menyuarakannya bukan sembarang pihak: mereka adalah para ulama, pejuang, santri, dan sebagian bangsawan tradisional yang bersatu dalam semangat jihad dan musyawarah.

Sejarah perjuangan rakyat Aceh tidak bisa dilepaskan dari peran ulama. Dari Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman hingga Syekh Abdul Wahid, Aceh membangun narasi heroiknya melalui dakwah dan peluru. Pada 1939, semangat itu dilembagakan dalam bentuk Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. PUSA menjadi tempat berhimpunnya ulama muda dan santri untuk membicarakan masa depan Islam, bangsa, dan rakyat Aceh dalam satu napas.

Maklumat Jihad 1945: Ketika Republik Dimaknai Sebagai Amanah
Pada 15 Oktober 1945, para ulama Aceh mengeluarkan maklumat bahwa mempertahankan Republik Indonesia adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Nama-nama seperti Abu Krueng Kalee, Abu Lamjabat, dan Abu Indrapuri menjadi saksi bahwa dukungan Aceh kepada republik bukan sekadar politik, tapi amanah agama. Dalam maklumat itu, perjuangan kemerdekaan disebut sebagai kelanjutan dari Perang Sabil yang telah dikobarkan sejak masa penjajahan Belanda.

Musyawarah: Pilar Keputusan
Mitos bahwa Daud Beureueh secara sepihak menyerahkan Aceh kepada Indonesia tidak sejalan dengan bukti sejarah. Ia selalu bertindak sebagai pemimpin kolektif, tidak otoriter. Setiap langkah besar seperti pembentukan Barisan Hizbullah, pengiriman sumbangan emas untuk membeli pesawat Seulawah, hingga penolakan terhadap kembalinya Belanda selalu melalui musyawarah ulama, tokoh masyarakat, dan laskar pemuda. Bahkan, dalam Musyawarah Tiro 17 November 1945, diputuskan pengangkatan Teungku Umar Tiro sebagai Panglima Mujahidin—sebuah keputusan bersama, bukan dekrit pribadi.

Sering kali narasi sejarah menggambarkan konflik ulama versus uleebalang. Namun, kenyataannya lebih kompleks. Banyak bangsawan seperti Teuku Nyak Arif justru menjadi jembatan antara PUSA dan republik. Beberapa uleebalang lain, seperti Teuku Umar Keumangan dan Teuku Cut Hasan, turut serta dalam transisi pemerintahan dan perjuangan, bahkan setelah Perang Cumbok. Koalisi antara ulama, bangsawan, dan rakyat ini menjadi fondasi kuat bagi peran Aceh sebagai “daerah modal” bagi Indonesia.

Penutup: Mengembalikan Marwah Kolektif. Menegaskan peran ulama Aceh dalam memilih Republik Indonesia bukan semata penghormatan sejarah, melainkan koreksi atas pelurusan narasi. Aceh tidak diserahkan. Aceh memilih. Dan pilihan itu dilandasi oleh musyawarah, keikhlasan berjihad, dan harapan akan tegaknya keadilan dalam bingkai Islam dan bangsa.

Tag

error: Content is protected !!