Opini: Narcoterrorism dan Ironi Negara Hukum Senjata Api di Lapas Lhoksukon

Opini: Narcoterrorism dan Ironi Negara Hukum Senjata Api di Lapas Lhoksukon

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh

Penemuan sepucuk senjata api laras pendek di Lapas Kelas IIB Lhoksukon, Aceh Utara, bukan sekadar pelanggaran prosedural. Ia adalah alarm keras tentang bagaimana jaringan narkotika telah menjelma menjadi kekuatan yang tak hanya ekonomis, tetapi juga ideologis dan militeristik. Fenomena ini dikenal sebagai narcoterroris terorisme narkoba dan kini telah menyusup ke jantung sistem pemasyarakatan kita.

Senjata di Balik Jeruji

Senjata api yang ditemukan di dalam sel narapidana kasus narkotika menunjukkan bahwa lapas bukan lagi tempat rehabilitasi, melainkan terminal kejahatan. Di sana, jaringan narkoba mengontrol aset, mengatur strategi, dan bahkan mengancam aparat sipil. Ironisnya, ruang yang seharusnya steril dari kekerasan justru menjadi tempat konsolidasi kekuasaan ilegal.

Dua Wajah Ancaman

Narcoterrorism memiliki dua tujuan utama. Pertama, tujuan pragmatis: menjaga jaringan dan aset ekonomi melalui intimidasi bersenjata. Kedua, tujuan ideologis: menyebar rasa takut di kalangan rakyat, aparat, dan negara. Ketika ketakutan telah meresap, maka tuntutan untuk melegitimasi ideologi mereka—baik radikalisme agama maupun neoliberalisme ekstrem—akan muncul.

Negara dalam Negara

Lolosnya senjata ke dalam lapas menunjukkan bahwa aparat sipil bisa diancam, dibeli, atau dikendalikan. Ini bukan hal baru. Di Amerika Latin, kartel narkoba telah membentuk “negara dalam negara” lengkap dengan aparat, persenjataan, dan legitimasi sosial. Apakah Aceh sedang menuju ke arah yang sama?

Bahkan, bisa jadi ini adalah “uji ombak” dari kalangan pergerakan etnonasionalis untuk melihat sejauh mana negara bisa ditembus dan dikendalikan. Jika benar, maka ancaman terhadap integritas hukum dan keamanan nasional jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.

Ironi Negara Hukum

Lapas seharusnya menjadi tempat menjalani proses hukum yang telah tetap. Namun kini, ia menjadi pusat kendali kejahatan. Hukuman badan tidak lagi menjerakan. Bahkan, sekitar 12% anggaran negara yang diperoleh dari pajak dibelanjakan untuk “melindungi dan melayani” narapidana—sebuah ironi yang menyakitkan.

Kejahatan seperti narkoba, korupsi, terorisme, pemerkosaan, dan pembunuhan tidak cukup ditangani dengan kurungan badan. Perlu hukuman yang lebih tegas, lebih efektif, dan tidak membebani APBN.

Reformasi yang Mendesak

Ini bukan lagi tugas polisi semata. Aparat sipil harus diperkuat, bukan dengan senjata, tetapi dengan perlindungan hukum, pelatihan psikologis, dan sistem whistleblower yang aman. Reformasi lapas harus melibatkan pendekatan intelijen, psikososial, dan ideologis. Kita harus berani menghadapi kenyataan bahwa negara hukum sedang diuji dari dalam.

Penutup

Kasus Lhoksukon adalah cermin dari krisis yang lebih luas. Narcoterrorism bukan hanya soal narkoba dan senjata, tetapi tentang bagaimana kekuasaan ilegal menguji batas-batas legitimasi negara. Jika kita tidak bertindak sekarang, maka keheningan di balik jeruji bisa berubah menjadi ledakan yang mengguncang fondasi hukum dan keamanan kita.