Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh. Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Artikel ini mengkaji peran dan pertanggungjawaban Aceh Monitoring Mission (AMM) dalam proses perdamaian Aceh pasca-MoU Helsinki 2005. Meskipun AMM dinilai berhasil secara teknis dalam melucuti senjata dan mendemobilisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), banyak pihak di Aceh mempertanyakan efektivitas dan akuntabilitas misi tersebut dalam menjamin keadilan hukum, hak asasi manusia, serta rekonstruksi politik dan ekonomi.
Tulisan ini juga menyoroti bias Barat dan jejak kolonialisme dalam pendekatan AMM, yang cenderung teknokratis dan kurang kontekstual terhadap kompleksitas lokal Aceh. Dengan merujuk pada sejumlah literatur kunci, artikel ini mengusulkan perlunya evaluasi kritis terhadap model liberal peacebuilding yang diterapkan di Aceh.
Peran Teknis AMM dan Keterbatasan Mandat
Secara formal, AMM dinilai berhasil dalam menyelesaikan tugas teknisnya. Schulze (2007: 83) mencatat bahwa AMM mampu mengawasi pelucutan 840 senjata GAM dan penarikan 25.000 personel TNI/Polri non-organik dalam waktu singkat. Namun, mandat AMM sangat terbatas dan tidak mencakup penanganan pelanggaran HAM masa lalu, reformasi politik, atau rekonstruksi ekonomi pascakonflik (Schulze, 2009: 2001).
Michelle Miller (2008: 13) menegaskan bahwa pendekatan AMM sangat teknokratis dan lebih berorientasi pada stabilitas ketimbang keadilan substantif. Akibatnya, banyak masyarakat Aceh menilai perdamaian yang dibangun hanya bersifat prosedural dan tidak menyentuh akar konflik.
Bias Barat dan Jejak Kolonialisme
Pendekatan AMM mencerminkan paradigma liberal peacebuilding yang dominan dalam diplomasi Barat. Schulze (2008: 37) menyebut misi ini sebagai “sensitive mission” karena harus menavigasi antara kepentingan internasional dan aspirasi lokal. Namun, sensitivitas tersebut tidak berarti keberpihakan pada keadilan rakyat Aceh.
Transformasi konflik Aceh dari solusi militer ke kesepakatan politik memang penting. Namun, proses ini sangat dipengaruhi logika stabilisasi Barat yang mengutamakan demobilisasi dan normalisasi politik (Schulze, 2016: 193). Dalam konteks ini, AMM lebih berfungsi sebagai fasilitator kepentingan negara dan donor internasional ketimbang sebagai penjaga keadilan transisional.
Kekecewaan Rakyat Aceh dan Minimnya Akuntabilitas
Kekecewaan masyarakat Aceh terhadap hasil perdamaian tidak lepas dari kegagalan AMM dan pemerintah pusat dalam mengimplementasikan MoU secara utuh. Beberapa butir penting, seperti pengelolaan sumber daya alam, partai lokal, dan mekanisme penyelesaian sengketa, tidak diakomodasi penuh dalam UU No. 11 Tahun 2006 (Matsyah & Abdul Aziz, 2021: 258).
Schulze (2007: 85) menegaskan bahwa AMM tidak memiliki mekanisme untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM atau menjamin partisipasi masyarakat sipil dalam rekonstruksi. Akibatnya, perdamaian yang lahir terkesan elitis dan eksklusif, memperkuat ketidakpercayaan terhadap negara dan aktor internasional.
Kesimpulan
AMM memang memainkan peran penting dalam transisi dari konflik bersenjata menuju perdamaian formal di Aceh. Namun, keberhasilan teknis tersebut tidak cukup menjawab tuntutan keadilan historis dan sosial. Bias Barat dan pendekatan kolonial dalam misi perdamaian telah mengabaikan kompleksitas lokal dan memperlemah legitimasi proses damai.
Evaluasi kritis terhadap model liberal peacebuilding di Aceh sangat diperlukan. Perdamaian yang berkelanjutan hanya bisa dibangun di atas keadilan substantif, partisipasi lokal, dan akuntabilitas internasional yang nyata. Aceh bukan sekadar objek stabilisasi, tetapi subjek sejarah yang berhak atas keadilan dan martabat.