Oleh: Sofyan S.Sos Aktivis Demokrasi Aceh.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 300.2.2-2138 tertanggal 25 April 2025 resmi memindahkan administrasi empat pulau Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang dari Kabupaten Aceh Singkil ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Secara teknis, ini tampak seperti keputusan administratif biasa. Tapi bila dilihat dari momentum dan eskalasi publiknya, ini lebih dari sekadar penataan wilayah.
Publik baru mengetahui keputusan tersebut di awal Juni 2025. Tak lama, isu ini meledak secara nasional, memicu gelombang kecaman dan pertanyaan dari berbagai tokoh, media, hingga aktivis lintas sektor. Yang menarik, beberapa hari sebelumnya—tepatnya 23 Mei 2025—pemerintah Aceh juga telah menyerahkan Draf Revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) ke DPR RI. Apakah ini kebetulan? Atau memang ada narasi besar yang sedang digiring secara sistematis?
Misteri Diamnya Pemerintah Aceh
Pertanyaan paling awal dan mendasar: Apakah Pemerintah Aceh benar-benar tidak mengetahui keluarnya SK Mendagri pada 25 April? Jika iya, ini merupakan kegagalan komunikasi pusat-daerah yang fatal. Namun jika sebenarnya sudah tahu namun memilih diam, maka publik berhak mempertanyakan: apakah ada kompromi politik tertentu yang tak diketahui rakyat?
Empat pulau yang selama ini menjadi bagian dari Aceh tiba-tiba dipindahkan. Ini bukan sekadar perubahan batas administratif, melainkan juga menyangkut aspek identitas, sejarah, dan kedaulatan teritorial.
Konspirasi Politik: Uji Coba Reaksi Aceh?
Dalam sudut pandang analisis politik, tak sedikit yang meyakini bahwa keputusan ini bukan berdiri sendiri. Banyak yang menilai isu pemindahan pulau merupakan bagian dari strategi uji reaksi: apakah rakyat Aceh, dua dekade setelah damai, masih memiliki semangat kolektif dan nasionalisme regional? Jika tidak ada respons berarti, maka isu ini bisa dijadikan dasar untuk melemahkan posisi tawar Aceh dalam revisi UUPA.
Isu batas wilayah kerap kali digunakan dalam dunia politik sebagai alat pemantik reaksi emosional masyarakat. Bila reaksi tersebut terkonsolidasi dengan kuat, pemerintah pusat mungkin akan bersikap kompromistis. Namun jika tidak, maka ini akan menjadi preseden bahwa Aceh telah kehilangan daya desaknya secara politik.
Waspadai Skema Pengalihan Isu
Momentum revisi UUPA adalah hal yang sangat krusial bagi masa depan Aceh. Ketentuan dalam undang- undang ini menyangkut banyak hal fundamental: kewenangan partai lokal, pengelolaan sumber daya alam, perlindungan tenaga kerja lokal, hingga struktur pemerintahan yang khas. Isu pulau yang dilepaskan memang penting, tetapi jangan sampai kita justru disibukkan dengan satu titik konflik, sementara dokumen yang lebih strategis sedang digodok secara senyap.
Rakyat Aceh harus tetap fokus dan bersatu: memperjuangkan revisi UUPA agar tetap menjamin kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam MoU Helsinki. Jangan terjebak pada skema pengalihan isu yang menguras energi tanpa arah.
Penutup: Jangan Ada Lagi Keputusan Diam-Diam
Aceh pernah terluka. Tapi luka itu telah dijahit dengan satu kata bernama “damai”. Jangan biarkan damai itu kembali sobek oleh keputusan- keputusan sepihak yang dibuat tanpa partisipasi publik. Hari ini, kita tidak hanya mempertanyakan keputusan Mendagri, tetapi juga mempertanyakan posisi politik kita sebagai bagian dari republik ini.
Jika benar Aceh punya kekhususan, maka kekhususan itu harus dihormati. Bila tidak, maka kita sedang mundur jauh ke belakang. Satu hal yang pasti: kedaulatan tidak boleh dilepas dalam diam.
Opini: Pulau Dilepas, UU Direvisi: Ujian untuk Aceh atau Sinyal Politik Jakarta?
- - Minggu, 15 Juni 2025 - 18:1 WIB
Opini: Pulau Dilepas, UU Direvisi: Ujian untuk Aceh atau Sinyal Politik Jakarta?
- Minggu, 15 Juni 2025 - 18:1 WIB
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID
Tag






