Opini: Sayuti Abubakar dan Jalan Terjal Menuju Lhokseumawe Baru

Opini: Sayuti Abubakar dan Jalan Terjal Menuju Lhokseumawe Baru

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Sofyan, S.Sos
Analis Politik dan Kebijakan Publik

Nama Dr. Sayuti Abubakar mulai menarik perhatian publik Lhokseumawe setelah dirinya menyatakan maju dan kemudian ditetapkan sebagai Wali Kota terpilih periode 2025–2030. Sebelumnya, ia lebih dikenal di lingkaran hukum nasional, terutama karena kiprahnya sebagai pengacara di Jakarta.

Meski merupakan alumnus Ulumuddin Uteunkot dan berstatus menantu daerah Gampong Meunasah Blang, nama Sayuti tidak terlalu familiar bagi warga Lhokseumawe karena sudah lama menetap di luar daerah. Ia mulai dikenal sebagian kalangan saat mendampingi mantan Bupati Aceh Utara, Ilyas Pase, dalam kasus besar pembobolan dana Rp220 miliar di Bank Mandiri. Publik lokal yang lebih akrab dengan dunia hukum mungkin mengenal reputasinya, namun secara umum, ia masih dianggap sosok luar yang “turun gunung” menjelang pemilu.

Kiprahnya di politik lokal mulai terlihat setelah bergabung dengan Partai Nanggroe Aceh (PNA) dan mendekat ke tokoh-tokoh eks kombatan GAM. Meski begitu, langkahnya dinilai belum menyentuh akar rumput secara mendalam. Belum tampak karakter pemimpin yang mengakar secara kerakyatan.

Harapan yang Masih Jauh dari Kenyataan

Sejak dilantik sebagai Wali Kota, publik Lhokseumawe berharap kehadiran Dr. Sayuti akan membawa perubahan signifikan. Namun, setelah empat bulan menjabat, belum terlihat arah kebijakan yang jelas, apalagi gebrakan besar. Alih-alih membenahi, kota justru semakin semrawut.

Tata ruang kota terlihat amburadul. Jalan Pase, misalnya, tampak tidak tertata dengan baik dan menunjukkan lemahnya perhatian terhadap estetika kota. Proyek SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) yang menyisakan lubang-lubang berbahaya pun menjadi simbol kelalaian dalam menyelesaikan kebutuhan dasar masyarakat.

Masalah lain muncul dari pengelolaan Baitul Mal, yang dinilai tidak didasari kajian matang. Video penyerahan bantuan kepada pendamping orang sakit yang beredar di media sosial menimbulkan pertanyaan serius, karena tidak disertai nomenklatur atau dasar hukum yang jelas sebagai acuan kerja komisioner Baitul Mal.

Situasi serupa terjadi di pasar ikan Pusong yang semakin kumuh. Tak ada upaya revitalisasi yang terlihat. Begitu juga dengan proses penunjukan direksi Perusahaan Daerah (PDPL), yang dianggap hanya formalitas dan mengundang kecurigaan publik soal integritas dan transparansi.

Lhokseumawe Masih Tertinggal di Tengah Status Otonomi

Dua dekade lebih sebagai kota otonom, Lhokseumawe belum menunjukkan lompatan kemajuan berarti. Infrastruktur dasar, sistem tata ruang, dan pengelolaan sampah masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum ditangani secara serius.

Pasar Pusong yang semrawut membutuhkan penataan total—mulai dari zonasi pedagang, perbaikan sanitasi, hingga sistem kebersihan berbasis partisipasi warga. Sudah saatnya kota ini memiliki Master plan Tata Kota 2025–2045 yang konkret, inklusif, dan berbasis data serta aspirasi masyarakat.

Belajar dari PJ yang Berani

Perbandingan muncul ketika menyebut nama Dr. Imran, Penjabat (PJ) Wali Kota sebelumnya. Meski masa jabatannya singkat, ia berani mengambil keputusan tidak populer demi pembenahan kota. Sikap ini menunjukkan visi kepemimpinan yang berorientasi solusi.

Sebaliknya, dalam kepemimpinan Sayuti, kesan yang muncul justru sebaliknya—terlalu berhati-hati, bahkan stagnan. Padahal, pemimpin tidak diukur dari seberapa banyak pihak yang disenangkan, tetapi dari keberanian menyelesaikan masalah nyata.

Hentikan Politik Eksklusif dan Balas Dendam

Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah praktik politik eksklusif. Terlihat adanya kecenderungan menutup ruang partisipasi bagi kelompok atau tokoh yang berbeda pilihan politik dalam Pilkada lalu.

Sudah saatnya Wali Kota membuka ruang dialog dan rekonsiliasi. Salah satu solusi konkret adalah membentuk Dewan Penasihat Kota, yang melibatkan tokoh lintas partai, kalangan profesional, akademisi, dan mantan calon kepala daerah. Pemerintahan yang hanya diisi loyalis politik tidak akan mampu menjawab tantangan kota secara menyeluruh.

Inklusivitas adalah fondasi utama dalam membangun tata kelola pemerintahan modern.

Catatan untuk Wali Kota: Rakyat Menunggu Aksi Nyata

Kepemimpinan bukan soal gelar, tetapi soal keberanian dan kerja nyata. Lhokseumawe tidak butuh pemimpin yang hanya memelihara simbol kekuasaan—melainkan sosok yang berani keluar dari zona nyaman dan hadir di tengah rakyat.

Wali Kota harus segera mengambil langkah strategis: menyusun roadmap pembenahan kota, mereformasi birokrasi yang stagnan, dan memulihkan kepercayaan publik. Gagasan progresif, kerja kolaboratif, dan solusi berbasis data adalah jawaban bagi tantangan masa depan Lhokseumawe.

Jika Dr. Sayuti mampu mengubah pendekatan, membuka ruang dialog, dan bekerja melampaui sekat politik, maka masa depan Lhokseumawe masih punya harapan cerah. Namun jika tidak, maka nama besar yang selama ini dibanggakan akan terkubur bersama ekspektasi rakyat yang dikhianati.

Tag

error: Content is protected !!