Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si. (Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh)
Saya ingin menjawab pertanyaan yang belakangan ini sering muncul di berbagai grup WhatsApp: Siapa itu TA Khalid? Mengapa namanya begitu sentral dalam pembicaraan tentang revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)? Jawaban saya bukan sekadar berdasarkan berita atau jabatan politiknya, tapi dari kenangan pribadi dan rasa hormat yang mendalam.
Masa SMA Bersama TA Khalid
TA Khalid bukan hanya tokoh publik, bagi saya—dia adalah sahabat masa SMA di SMA Negeri Lhokseumawe. Kami sering berboncengan naik motor Honda, menyusuri jalanan kota kecil itu sambil berdiskusi tentang banyak hal, dari fisika hingga filsafat. Dia anak jurusan A1 (Fisika), dan saya ingat betul betapa cepat dia menangkap konsep-konsep rumit. IQ-nya tinggi, tapi yang paling saya kagumi adalah kerendahan hatinya. Dia tidak pernah merasa lebih pintar dari orang lain, selalu menghormati siapa pun, dari guru hingga tukang becak.
TA Khalid adalah sosok yang jujur, berani, dan apa adanya. Dia tidak suka basa-basi, tapi selalu tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam. Karakter seperti inilah yang membuat saya tidak heran ketika dia kemudian menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra dan Ketua Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR/DPD RI asal Aceh.
Mengapa TA Khalid Sentral dalam Revisi UUPA?
TA Khalid kini menjadi garda terdepan dalam perjuangan revisi UUPA. Dalam rapat Badan Legislasi DPR RI, ia dengan tegas meminta agar revisi UUPA dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas Kumulatif Terbuka tahun 2025. Ia menyadari bahwa waktu semakin sempit, terutama karena dana Otonomi Khusus Aceh akan berakhir pada 2026.
Sebagai antropolog Aceh, Saya, melihat UUPA bukan sekadar undang-undang, tapi sebagai konstitusi lokal yang lahir dari sejarah panjang konflik dan perdamaian. Jika revisi ini gagal dilakukan secara adil dan sesuai dengan semangat MoU Helsinki, maka Aceh bisa kembali bergolak. TA Khalid memahami ini bukan hanya sebagai politisi, tapi sebagai anak Aceh yang tumbuh dari akar masyarakatnya.
Boyd R. Compton dan Demokrasi yang Terancam
Situasi ini mengingatkan saya pada kutipan elegan dari Boyd R. Compton dalam bukunya Kemelut Demokrasi Liberal:
“Demokrasi yang gagal memahami aspirasi lokal akan selalu berhadapan dengan resistensi yang tak kunjung padam.”
Kutipan ini sangat relevan dengan kondisi Aceh saat ini. Ketika pusat kekuasaan di Jakarta tidak sensitif terhadap dinamika lokal, maka demokrasi kehilangan maknanya. TA Khalid, dengan segala keterbatasan dan tekanan politik, berusaha menjadi jembatan antara aspirasi rakyat Aceh dan kekuasaan nasional.
Harapan dan Doa
Saya menulis ini bukan sebagai kampanye politik, tapi sebagai bentuk penghormatan kepada sahabat lama yang kini memikul tanggung jawab besar. Saya berharap masyarakat Aceh, para ulama, akademisi, dan tokoh-tokoh partai politik bersatu mendukung perjuangan revisi UUPA. Ini bukan soal partai, tapi soal masa depan Aceh.
TA Khalid bukan hanya politisi. Ia adalah penjaga konstitusi Aceh. Dan saya bangga pernah berbagi bangku sekolah dengannya.