Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Artikel ini mengkaji narasi “tiga kali pengkhianatan” terhadap Aceh oleh pemerintah pusat sebagaimana dikemukakan oleh TA Khalid, dengan pendekatan historis dan politis. Tiga momen utama yang dianalisis adalah: (1) janji Presiden Soekarno kepada Teungku Muhammad Daud Beureueh untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, (2) Perjanjian Ikrar Lam Teh tahun 1957, dan (3) implementasi parsial MoU Helsinki dalam bentuk UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006. Melalui telaah literatur dan analisis genealogi konflik, artikel ini menunjukkan bahwa ketiga momen tersebut merepresentasikan pola relasi yang tidak konsisten antara pusat dan Aceh, serta memperkuat tuntutan terhadap rekonstruksi keadilan historis dan hukum. Artikel ini juga menyoroti bagaimana pengingkaran terhadap perjanjian politik berdampak pada konstruksi identitas politik Aceh dan memperpanjang siklus ketidakpercayaan terhadap negara.
Aceh memiliki sejarah panjang dalam relasi yang kompleks dengan pemerintah pusat Indonesia. Narasi tentang “pengkhianatan” terhadap Aceh bukan sekadar retorika politik, melainkan refleksi dari pengalaman historis yang berulang. TA Khalid, seorang politisi Aceh, menyebut bahwa Aceh telah dikhianati sebanyak tiga kali oleh pemerintah pusat: pertama, melalui janji Soekarno kepada Daud Beureueh; kedua, melalui pengingkaran terhadap Perjanjian Lam Teh; dan ketiga, melalui implementasi parsial MoU Helsinki (Matsyah & Abdul Aziz, 2021: 255).
1. Janji Soekarno kepada Daud Beureueh
Pada masa awal kemerdekaan, Teungku Muhammad Daud Beureueh merupakan tokoh penting yang mendukung Republik Indonesia. Ia dijanjikan oleh Presiden Soekarno bahwa Aceh akan diberikan hak untuk menjalankan syariat Islam sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi Aceh dalam perjuangan kemerdekaan (Muhajir, 2016: 12; Illham, 2016: 4). Namun, janji tersebut tidak pernah direalisasikan secara formal, dan kekecewaan ini menjadi pemicu pemberontakan Darul Islam di Aceh tahun 1953 (Apipudin, 2016: 150; van Dijk, 2014: 211).
Daud Beureueh kemudian mendeklarasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), yang menjadi bagian dari gerakan Darul Islam yang lebih luas di Indonesia (Umar & Al Chaidar, 2006: 3; Fahri, 2005: 7). Gerakan ini merefleksikan ketegangan antara aspirasi Islamisme lokal dan nasionalisme negarabangsa (Aspinall, 2007: 248; Temby, 2010: 5).
2. Perjanjian Ikrar Lam Teh 1957*
Perjanjian Lam Teh merupakan upaya untuk meredam pemberontakan Darul Islam di Aceh. Dalam perjanjian tersebut, pemerintah pusat berjanji akan memberikan otonomi khusus dan mengakomodasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh (Satriya et al., 2018: 88). Namun, implementasi dari perjanjian ini tidak berjalan sesuai harapan. Pemerintah pusat dianggap mengabaikan komitmen yang telah disepakati, sehingga memperkuat narasi pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat Aceh (Ali, 1994: 112; Sjamsuddin, 1985: 145).
3. MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006
MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia merupakan tonggak penting dalam proses perdamaian Aceh (Miller, 2008: 13; Schulze, 2007: 82). Namun, ratifikasi MoU tersebut ke dalam UU No. 11 Tahun 2006 dilakukan secara parsial. Beberapa poin penting dalam MoU, seperti pengelolaan sumber daya alam dan mekanisme penyelesaian sengketa, tidak diakomodasi sepenuhnya (Schulze, 2009: 30; Kell, 2010: 97).
Hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat Aceh dan memperkuat persepsi bahwa pemerintah pusat kembali mengingkari komitmennya (Schulze, 2004: 5; Alkaf, n.d.: 3). Aspirasi Aceh untuk mendapatkan pengakuan atas identitas politik dan hukum lokalnya kembali terhambat oleh pendekatan legalistik yang tidak substantif.
Kesimpulan
Tiga momen pengkhianatan terhadap Aceh sebagaimana dikemukakan oleh TA Khalid bukanlah peristiwa terpisah, melainkan bagian dari pola relasi yang berulang antara pusat dan daerah. Janji yang tidak ditepati, perjanjian yang diabaikan, dan ratifikasi yang parsial menunjukkan bahwa aspirasi Aceh sering kali direduksi dalam kerangka politik nasional yang tidak sensitif terhadap sejarah dan identitas lokal.
Narasi ini penting untuk terus dikaji sebagai bagian dari upaya rekonstruksi keadilan historis dan hukum. Aceh membutuhkan pendekatan yang lebih substantif dalam relasi dengan pusat—bukan sekadar otonomi administratif, tetapi pengakuan atas hakhak historis, kultural, dan hukum yang telah lama diperjuangkan.
Bibliografi
Ali, Fachry. The Revolts of the NationState Builders: A Comparative Study of the Acehnese Darul Islam and the West Sumatran PRRI Rebellions (1953–1962). Diss. Monash University, 1994.
Alkaf, Muhammad. “Konflik, Perdamaian dan Islamisme: Sebuah Pelacakan Genealogis tentang Konstruksi Politik Identitas di Aceh.” Merawat Indonesia: 1.
Apipudin, Apipudin. “Daud Beureu’eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh.” Buletin AlTuras 22.1 (2016): 145–167.
Aspinall, Edward. “From Islamism to Nationalism in Aceh, Indonesia.” Nations and Nationalism 13.2 (2007): 245–263.
Basral, Akmal Nasery. Napoleon dari Tanah Rencong: Sebuah Novelisasi Perjuangan Hasan. Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Fahri, Ahmad. “Darul Islam Aceh: 1953–1963 Telaah terhadap Akar Masalah Pemberontakan.” (2005).
Illham, Muhammad. “Peran Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam Pemberontakan di Aceh 1953–1962.” (2016).
Kell, Tim. The Roots of Acehnese Rebellion, 1989–1992. Equinox Publishing, 2010.
Matsyah, Ajidar, and U. B. Abdul Aziz. “Pasang Surut Hubungan Aceh—Jakarta Pasca MoU Helsinki.” Jurnal Adabiya 23.2 (2021): 255.
Miller, Michelle Ann. “The Conflict in Aceh.” Accord: An International Review of Peace Initiatives 20 (2008): 12–15.
Muhajir, Aziz. “Politik Daud Beureueh dalam Gerakan DI/TII Aceh.” Kalam: Jurnal Agama dan Sosial Humaniora 4.1 (2016).
Satriya, Bambang, Andi Suwirta, and Ayi Budi Santosa. “Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Revolusi di Aceh (1945–1950).” FACTUM: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah 7.1 (2018).
Schulze, Kirsten E. “From the Battlefield to the Negotiating Table: GAM and the Indonesian Government 1999–2005.” Asian Security 3.2 (2007): 80–98.
Schulze, Kirsten E. “The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization.” (2004).
Schulze, Kirsten E. “The Struggle for an Independent Aceh: The Ideology, Capacity, and Strategy of GAM.” Studies in Conflict and Terrorism 26.4 (2003): 241–271.