Oleh: W. Takapabi Doo
Isu Papua telah menjadi perhatian komunitas internasional sejak pertengahan abad ke-20, terutama setelah proses dekolonisasi dari Belanda ke Indonesia. Dalam konteks ini, peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi sangat penting, khususnya melalui resolusi-resolusi yang menyangkut status politik wilayah Papua Barat. Namun, selama beberapa dekade terakhir, berbagai pihak menyoroti adanya pelanggaran terhadap semangat dan isi resolusi PBB, terutama yang berkaitan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Resolusi 2504 dan Kontroversi Pepera
Pada tahun 1969, PBB mengeluarkan Resolusi 2504 (XXIV) yang menerima hasil Pepera — sebuah proses yang seharusnya memberi kesempatan kepada rakyat Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri. Namun, proses tersebut menuai kritik luas. Pepera hanya melibatkan 1.026 orang yang dipilih oleh pemerintah Indonesia dan disinyalir dilakukan di bawah tekanan, bukan melalui satu orang satu suara (one man one vote) seperti yang semestinya diatur dalam hukum internasional mengenai penentuan nasib sendiri.
PBB sendiri tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Pepera adalah referendum yang sah sesuai standar internasional. Resolusi 2504 hanya “mencatat” hasil Pepera, bukan “mengesahkan” atau “menyetujui”, yang menimbulkan interpretasi ganda tentang legalitas proses tersebut.
Pelanggaran terhadap Prinsip Penentuan Nasib Sendiri
Banyak pengamat HAM dan aktivis internasional menilai bahwa tidak adanya proses referendum yang bebas dan adil di Papua merupakan pelanggaran terhadap prinsip self-determination yang dijamin dalam Piagam PBB, khususnya Pasal 1 (2). Di berbagai forum internasional, kelompok-kelompok pro-kemerdekaan Papua telah berulang kali menyerukan agar PBB meninjau ulang hasil Pepera dan membuka kembali diskusi tentang masa depan politik Papua.
Kurangnya Tindak Lanjut dan Ketidakadilan Struktural
Meskipun ada laporan-laporan pelanggaran HAM yang terus terjadi di Papua dan meningkatnya kekerasan militer terhadap warga sipil, PBB belum mengambil tindakan tegas. Banyak yang menganggap ini sebagai bentuk pelanggaran moral terhadap tanggung jawab internasional, khususnya dalam konteks Responsibility to Protect (R2P). Resolusi 2504 justru menjadi titik tumpu legitimasi Indonesia, sementara suara rakyat Papua terus diredam.
Dinamika Internasional yang Kompleks
Salah satu alasan mengapa isu Papua sulit mendapatkan tempat dalam forum utama PBB adalah karena dukungan politik yang kuat terhadap Indonesia dari negara-negara besar. Faktor geopolitik dan ekonomi membuat banyak negara enggan membuka kembali kasus Papua, walaupun secara hukum dan moral terdapat pelanggaran terhadap prinsip-prinsip resolusi PBB.
Pelanggaran terhadap semangat resolusi PBB terkait Papua adalah luka terbuka dalam sejarah internasional. Ketidakjelasan hukum, ketidakadilan proses politik, dan pembiaran atas kekerasan struktural di Papua menunjukkan kegagalan sistem global dalam menjamin hak dasar penentuan nasib sendiri. Kini, desakan agar PBB meninjau ulang posisi historisnya atas Papua semakin kuat, dan dunia ditantang untuk kembali berpihak pada keadilan dan kebenaran.
Pelanggaran Resolusi PBB Terkait Papua: Sebuah Luka Lama di Panggung Internasional
- - Sabtu, 26 April 2025 - 10:1 WIB
Pelanggaran Resolusi PBB Terkait Papua: Sebuah Luka Lama di Panggung Internasional
- Sabtu, 26 April 2025 - 10:1 WIB
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID
Tag






