Penyelesaian HAM Berat Jalur Non Yudisial, Brigade PII Aceh Adakan FGD

FGD Korwil Brigade PII Aceh

Penyelesaian HAM Berat Jalur Non Yudisial, Brigade PII Aceh Adakan FGD

FGD Korwil Brigade PII Aceh

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Mediakontras.id | Banda Aceh, 25 Juni 2025 – Bertempat di Aula Dinas Sosial Aceh, Koordinator Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Peran Pemuda dan Pelajar Dalam Pengawalan Kasus HAM Berat dan Keadilan Bagi Korban di Aceh”. Kegiatan ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta, termasuk pelajar, mahasiswa, serta tiga pemateri ahli yang memberikan pandangan kritis mengenai isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan dampaknya di Aceh.

Firdaus Mirza: Pandangan Sosiologis tentang HAM
Firdaus Mirza Nusuari, S.TP, M.A., Dosen Sosiologi FISIP Universitas Syiah Kuala, membuka diskusi dengan mengupas dimensi sosiologis pelanggaran HAM. Ia menyoroti bahwa kasus-kasus berat seperti tragedi Simpang KKA, Rumoh Geudong, dan Jambo Keupok bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga merupakan luka sosial yang terus diwariskan antar generasi di Aceh.

“Masyarakat bisa saja memaafkan, tapi mereka tidak akan pernah melupakan,” ujar Firdaus. Ia menekankan bahwa negara harus hadir secara aktif dalam pemulihan sosial, termasuk melalui pendekatan budaya dan pendidikan sejarah.

Firdaus juga menekankan pentingnya transformasi pengetahuan lintas generasi agar peristiwa kelam tersebut tidak terulang kembali. Ia menyoroti bagaimana konflik, tsunami, dan perdamaian membentuk perubahan sosial besar di Aceh.

Raihal Fajri: Pemuda sebagai Agen Rekonsiliasi
Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal Fajri, menekankan bahwa pemuda dan pelajar memiliki peran vital dalam proses rekonsiliasi dan pengawalan penyelesaian pelanggaran HAM. Berdasarkan data Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, sekitar 70% korban masih mengalami trauma, yang menunjukkan perlunya pemulihan yang holistik.

“Pemulihan bukan hanya soal kompensasi, tetapi juga pemulihan martabat dan pengakuan atas penderitaan korban,” jelas Raihal.

Ia mendorong anak muda untuk aktif dalam advokasi, edukasi HAM, serta mendesak negara dan Pemerintah Aceh untuk menindaklanjuti rekomendasi KKR. Raihal juga menyebut bahwa sejarah kekerasan seperti penyiksaan di Rumoh Geudong harus menjadi pelajaran yang terus diingat dan diajarkan.

Yulfan: Advokasi Hukum dan Pelestarian Sejarah
Advokat Yulfan, S.H, M.H, membahas secara khusus tragedi Rumoh Geudong yang menjadi salah satu simbol pelanggaran HAM berat selama masa Daerah Operasi Militer (DOM). Ia menilai pentingnya pemuda untuk:

  1. Mempelajari dan menyebarkan sejarah tragedi tersebut
  2. Terlibat dalam advokasi dan mendesak penyelidikan tuntas
  3. Mengawal pelestarian situs sejarah sebagai bentuk penghormatan terhadap korban

“Jangan biarkan sejarah dihapus. Pemuda harus jadi penjaga ingatan kolektif masyarakat,” tegasnya.

Interaksi Peserta dan Isu Terkini HAM
Diskusi menjadi semakin dinamis saat peserta mengajukan pertanyaan. Sultan mempertanyakan lambannya proses hukum atas Rumoh Geudong, yang baru ditindaklanjuti tahun 2023. Yulfan menjawab bahwa keterlambatan tersebut disebabkan karena baru ditetapkan sebagai kasus HAM berat oleh Komnas HAM pada 2018.

Safi, peserta lain, menyoroti standar ganda HAM di level internasional, merujuk pada isu Palestina. Firdaus menjawab bahwa meskipun PBB terkesan abai, prinsip HAM tetap relevan dan harus diperjuangkan secara lokal oleh generasi muda.

Menanggapi pertanyaan Istiqamah terkait kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat, Raihal menegaskan bahwa anak muda harus membangun kesadaran kolektif dan mengadvokasi kebijakan yang adil, meski dimulai dari langkah individual.

Tag

error: Content is protected !!