OPINI : Penyelundupan Pengungsi Rohingya dalam Perspektif Kantian

Al Chaidar Abdurrahman Puteh Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh. Dok: Pribadi.

OPINI : Penyelundupan Pengungsi Rohingya dalam Perspektif Kantian

Al Chaidar Abdurrahman Puteh Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh. Dok: Pribadi.

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh (Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh)

Immanuel Kant (1785) mengajarkan bahwa moralitas tidak boleh didasarkan pada kepentingan subjektif atau konsekuensi pragmatis, melainkan harus berpijak pada prinsip yang bersifat universal dan rasional. Dalam hal ini, konsep imperatif kategoris menekankan bahwa setiap tindakan harus dilakukan seolah-olah dapat menjadi hukum universal bagi semua orang.


Pengungsi Rohingya adalah manusia yang secara universal sama dengan kita semua. Sejarah pengungsi Rohingya di Aceh memiliki akar yang panjang dan penuh perjuangan. Rohingya adalah kelompok etnis Muslim dari Myanmar yang telah mengalami diskriminasi dan penganiayaan selama bertahun-tahun. Mereka tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar dan sering kali dipaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka.


Sejak tahun 2009, Aceh telah menjadi tempat perlindungan bagi pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Indonesia. Masyarakat Aceh, yang memiliki sejarah panjang dalam membantu sesama, sering kali menyelamatkan mereka dari laut dan memberikan tempat tinggal sementara.

Para nelayan Aceh, berdasarkan hukum adat mereka, merasa berkewajiban untuk menolong orang yang berada dalam kesulitan di laut.
Tindakan heroik masyarakat Aceh dalam menyelamatkan pengungsi Rohingya telah menjadi sorotan dunia. Nelayan Aceh, yang memegang teguh hukum adat Peumulia Jamee (memuliakan tamu), sering kali mempertaruhkan keselamatan mereka sendiri untuk menarik kapal-kapal pengungsi yang terombang-ambing di laut.

Heroisme Ar Rahman, Nelayan Langsa
Salah satu kisah yang mengharukan adalah aksi Ar Rahman, seorang nelayan dari Kota Langsa, yang bersama rekan-rekannya menyelamatkan hampir 800 pengungsi dari Bangladesh dan Rohingya pada tahun 2015. Saat mereka tiba di lokasi, para pengungsi yang kelaparan dan kelelahan langsung melompat ke laut, berteriak meminta pertolongan. Ar Rahman dan nelayan lainnya tidak ragu untuk menarik mereka ke kapal dan membawa mereka ke daratan, meskipun ada ancaman dari aparat yang sebelumnya berusaha menghalau kapal pengungsi.

Keberanian nelayan Aceh ini bahkan diabadikan dalam pertunjukan seni Tuah Bak Jaroe Panglima, yang menampilkan bagaimana hukum adat laut Aceh telah menjadi pedoman bagi para nelayan dalam menyelamatkan pengungsi. Penelitian yang dilakukan sejak tahun 2020 menunjukkan bahwa tindakan mereka bukan sekadar spontanitas, tetapi merupakan warisan budaya yang telah ada sejak masa kejayaan Sultan Iskandar Muda.
Meskipun ada instruksi dari pihak berwenang untuk tidak menampung pengungsi karena berbagai alasan, masyarakat Aceh tetap berdiri tegak dalam membantu mereka. Namun, seiring waktu, muncul tantangan baru terkait keberadaan pengungsi Rohingya, termasuk masalah sosial dan ekonomi yang mempengaruhi hubungan mereka dengan masyarakat lokal.


Pada tahun 2020, gelombang besar pengungsi Rohingya kembali tiba di Aceh setelah ditolak oleh berbagai negara lain. Mereka sering kali terombang-ambing di laut selama berhari-hari sebelum akhirnya diselamatkan oleh nelayan Aceh dan diberikan tempat tinggal sementara di kamp pengungsian. Meskipun Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, masyarakat Aceh tetap menunjukkan solidaritas dan kepedulian terhadap mereka. Namun, penerimaan pengungsi Rohingya di Aceh juga menghadapi tantangan.

Ada kekhawatiran mengenai perdagangan manusia yang terorganisir, serta dampak sosial dan ekonomi dari kehadiran mereka di wilayah tersebut. Pemerintah Indonesia terus berupaya mencari solusi yang seimbang antara kepentingan kemanusiaan dan kebijakan imigrasi. Berikut ini adalah analisis yang lebih mendalam mengenai penyelundupan pengungsi Rohingya di Aceh berdasarkan teori moral Immanuel Kant yang terdapat dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785)

1. Kewajiban Moral untuk Menolong Pengungsi Menurut Kant, suatu tindakan dianggap bermoral jika dilakukan berdasarkan prinsip universalitas. Dalam konteks penyelundupan pengungsi Rohingya, kita bisa melihat bagaimana kelompok masyarakat, terutama nelayan Aceh, sering kali mengabaikan hukum imigrasi demi menyelamatkan pengungsi yang terdampar di laut. Mereka bertindak bukan karena keuntungan pribadi, tetapi karena keyakinan bahwa menyelamatkan orang yang berada dalam bahaya adalah kewajiban moral yang harus berlaku bagi semua orang.

2. Prinsip Non-Instrumentalisasi.
Teori Kant juga menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat. Namun, dalam praktik penyelundupan manusia, pengungsi Rohingya sering kali diperlakukan sebagai komoditas oleh para penyelundup. Mereka dijanjikan tempat aman tetapi akhirnya dijual sebagai pekerja paksa atau mengalami eksploitasi. Dalam perspektif Kantian, tindakan ini bertentangan dengan prinsip fundamental moral karena mengabaikan martabat dan hak asasi manusia.

3. Dilema Negara: Universalitas Moral vs. Keamanan Pemerintah Indonesia menghadapi dilema antara prinsip kemanusiaan dan kepentingan keamanan negara. Jika merujuk pada imperatif kategoris, setiap negara seharusnya memberikan perlindungan kepada pengungsi tanpa diskriminasi. Namun, realitas politik sering kali menuntut prioritas lain, seperti pengendalian arus migrasi dan stabilitas sosial. Di sini kita melihat perbedaan antara moral idealis Kant dan realitas praktis dalam kebijakan imigrasi.

Kesimpulan

Dalam pandangan Kantian, penyelundupan pengungsi Rohingya mengandung berbagai aspek moral yang bertentangan satu sama lain. Sementara tindakan penyelamatan pengungsi yang dilakukan masyarakat selaras dengan prinsip universalitas dan penghormatan terhadap martabat manusia, eksploitasi oleh jaringan penyelundupan justru bertentangan dengan imperatif kategoris. Negara pun menghadapi dilema antara moralitas ideal dan kepentingan praktis.

Tag

error: Content is protected !!