Mediakontras.Id |Banda Aceh — Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Perguruan Tinggi Banda Aceh, Teuku Achyar Farel, menyampaikan pandangan kritis terhadap rencana implementasi program Koperasi Merah Putih yang mulai diarahkan ke berbagai desa di Aceh. Menurutnya, meskipun program ini telah dibahas bersama Pemerintah Aceh dan membawa semangat penguatan ekonomi kerakyatan, pendekatan dan bentuk kelembagaannya perlu dievaluasi secara menyeluruh agar tidak bertentangan dengan kekhususan Aceh secara sosial, kultural, dan hukum. Jum’at 20 Juni 2025
Farel menekankan bahwa Aceh merupakan daerah istimewa yang memiliki landasan hukum tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Pasal 3 huruf b disebutkan bahwa pelaksanaan pemerintahan Aceh harus disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.
Selain itu, Pasal 126 UUPA secara tegas menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh berwenang mengembangkan sistem perekonomian yang berbasis syariat Islam. Oleh karena itu, jika koperasi yang dibentuk hanya berfungsi sebagai penyalur utang konsumtif, tanpa sistem manajemen berbasis syariah, tanpa pengawasan syariah yang jelas, maka keberadaannya bisa dinilai tidak sesuai dengan landasan hukum tersebut.
Menurutnya, pengelolaan koperasi seperti itu berpotensi melahirkan persoalan-persoalan baru di lapangan. Mulai dari tumpang tindih kelembagaan dengan entitas lokal seperti BUMG, baitul qiradh, atau koperasi adat yang sudah berjalan bertahun-tahun di gampong, hingga konflik sosial akibat ketidakterbukaan pengelolaan dana.
Ia juga menyebut potensi praktik nepotisme dalam penunjukan pengurus koperasi jika prosesnya tidak dilakukan secara transparan dan partisipatif.
Dalam banyak kasus di lapangan, program ekonomi yang datang dari atas tanpa dialog terbuka dengan masyarakat kerap menimbulkan kecemburuan, ketimpangan akses, dan ketidakpercayaan terhadap lembaga.
Farel menilai bahwa hadirnya koperasi nasional semacam ini juga berisiko menggusur peran lembaga keuangan mikro lokal yang tumbuh secara organik dari masyarakat bawah. Padahal, semangat kemandirian ekonomi yang tumbuh di desa justru lebih kuat jika diperkuat, bukan digantikan. Untuk itu, ia mengusulkan agar Pemerintah Aceh dan pemangku kebijakan meninjau ulang pembentukan Koperasi Merah Putih di Aceh.
Menurutnya, Aceh membutuhkan bentuk lembaga yang tidak hanya menyalurkan dana, tetapi juga mendampingi dan membimbing masyarakat secara berkelanjutan.
Sebagai solusi, Farel mendorong pembentukan Mini Bank Syariah Desa. Lembaga ini bisa hadir sebagai peranakan dari perbankan lokal atau nasional yang beroperasi secara syariah di tingkat desa, dengan sistem dan pengawasan yang profesional, juga prinsip transparansi yang ketat.
Mini bank ini bukan hanya tempat menyalurkan uang, tetapi menjadi pusat pembiayaan usaha produktif, edukasi keuangan, serta penguatan UMKM dan potensi desa. Ia menekankan bahwa sistem seperti ini lebih kompatibel dengan Qanun LKS dan lebih sesuai dengan karakter masyarakat Aceh.
Farel menegaskan bahwa suara kritis ini bukanlah bentuk penolakan terhadap bantuan pemerintah atau pembangunan nasional, tetapi bagian dari tanggung jawab moral dan intelektual sebagai anak muda Aceh untuk memastikan bahwa setiap program benar-benar sesuai dengan hukum, nilai, dan kebutuhan lokal.
Menurutnya, pendekatan satu model dari pusat tidak selalu cocok diterapkan di daerah yang memiliki struktur sosial dan hukum yang khas seperti Aceh.
Ia berharap Pemerintah Aceh membuka ruang evaluasi publik dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari ulama, tokoh adat, akademisi, mahasiswa, hingga masyarakat sipil dalam pembahasan lanjutan. Tujuannya agar program koperasi—jika benar-benar akan dijalankan—bisa disesuaikan, diperbaiki, dan dijalankan dengan kehati-hatian penuh.
“Evaluasi ini bukan bentuk penolakan, tapi wujud cinta terhadap Aceh,” pungkasnya.[*]