Opini: Polemik Empat Pulau di Caplok Sumut, PII PT Minta Tinjauan Historis, Yuridis dan Seruan Pergerakan

Opini: Polemik Empat Pulau di Caplok Sumut, PII PT Minta Tinjauan Historis, Yuridis dan Seruan Pergerakan

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Teuku Achyar Farel Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Perguruan Tinggi Banda Aceh.

‎Empat pulau kecil di perairan barat daya Aceh, yakni Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, saat ini menjadi sumber polemik serius antara dua provinsi: Aceh dan Sumatera Utara.

Keempat pulau yang selama ini secara geografis, historis, dan sosial-budaya diketahui sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, kini justru tercantum dalam data resmi pemerintah pusat sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas data kependudukan dan peta administrasi nasional, serta memicu gelombang kekhawatiran di tengah masyarakat Aceh, khususnya kalangan pemuda, pelajar, dan tokoh lokal.

‎Sebagai Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Perguruan Tinggi Banda Aceh, Teuku Achyar Farel. Menyampaikan bahwa polemik ini bukan sekadar perdebatan administratif semata, tetapi menyangkut harkat, martabat, dan kedaulatan wilayah Aceh yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh sejarah. Pencatutan wilayah oleh provinsi lain tanpa dasar yang jelas dan tanpa konsultasi dengan pemerintah daerah atau masyarakat lokal, merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas keadilan dan partisipasi publik dalam pengelolaan negara.

‎Secara historis, keempat pulau tersebut telah menjadi bagian dari Aceh sejak zaman kolonial. Dalam peta topografi Hindia Belanda abad ke-20, gugusan pulau tersebut masuk dalam wilayah yang dinamai “Atjeh en Onderhoorigheden” atau “Aceh dan Daerah Tundukannya”.

Dalam catatan militer Belanda maupun arsip kolonial lainnya, pulau-pulau ini secara administratif digabungkan dengan wilayah administratif yang kini dikenal sebagai Aceh Singkil. Tradisi masyarakat pesisir Pulau Banyak pun telah lama memasukkan empat pulau ini sebagai bagian dari wilayah tangkap nelayan Aceh, bahkan menjadi bagian dari struktur adat dan ruang hidup masyarakat setempat.

‎Landasan hukum yang paling tegas atas klaim Aceh terhadap keempat pulau ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1995. Keppres tersebut menetapkan pembentukan Kabupaten Aceh Singkil dan menetapkan wilayahnya meliputi daratan dan kepulauan, termasuk pulau-pulau yang kini disengketakan.

Lebih lanjut, dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah RPJMD Aceh Singkil 2017–2022, disebutkan bahwa Pulau Mangkir, Pulau Panjang, dan sekitarnya adalah wilayah strategis yang masuk dalam rencana pengembangan kawasan pesisir dan pariwisata.

‎Tidak hanya itu, peta dari Badan Informasi Geospasial (BIG) hingga sebelum tahun 2022 secara konsisten mencantumkan keempat pulau sebagai bagian dari Provinsi Aceh. Dalam kajian kartografi, tidak pernah ditemukan perubahan batas administrasi secara resmi melalui regulasi undang-undang atau peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa wilayah tersebut berpindah ke Sumatera Utara.

Artinya, perubahan yang kini muncul dalam data nasional (seperti di laman Kementerian Dalam Negeri atau BPS) tidak didasarkan pada mekanisme formal yang seharusnya.

‎Jika wilayah ini dipindahkan secara diam-diam tanpa konsultasi publik dan tanpa dasar hukum yang sah, maka hal ini merupakan pelanggaran terhadap asas keterbukaan informasi publik dan dapat digugat melalui jalur hukum.

Lebih lanjut, ini adalah bentuk pengaburan terhadap identitas kedaerahan dan sejarah lokal masyarakat Aceh.

‎PII Perguruan Tinggi bersama seluruh elemen pemuda dan mahasiswa Aceh menyatakan sikap tegas:

‎1. Mendesak Pemerintah Pusat (terutama Kemendagri, BIG, dan Kementerian ATR/BPN) untuk melakukan klarifikasi terbuka dan transparan mengenai status wilayah keempat pulau tersebut. Klarifikasi harus dilakukan berdasarkan dokumen sejarah, peta resmi, serta partisipasi masyarakat lokal.


‎2. Mendorong Pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk membentuk tim investigasi khusus yang bertugas menelusuri dasar pengalihan wilayah, serta menyusun rekomendasi hukum dan administrasi untuk pemulihan wilayah ke dalam peta resmi Aceh.


‎3. Mengajak seluruh mahasiswa dan pemuda Aceh untuk mengawal kasus ini secara aktif, melalui diskusi publik, aksi demonstrasi damai, hingga pelaporan ke lembaga pengawasan seperti Ombudsman RI dan Komnas HAM jika ditemukan potensi pelanggaran hak masyarakat lokal.


‎4. Meminta media nasional dan daerah untuk bersikap adil dan memberikan ruang pemberitaan yang berimbang atas aspirasi masyarakat Aceh dalam polemik ini.



‎Masyarakat Haloban, Pulau Banyak, dan pesisir Aceh Singkil adalah saksi hidup bahwa keempat pulau tersebut tidak pernah berada di bawah administrasi Tapanuli Tengah. Bahkan dalam aktivitas sosial ekonomi, semua kegiatan transportasi, distribusi barang, dan layanan pemerintahan selalu berpusat dari wilayah Aceh. Fakta ini tidak bisa diabaikan hanya karena data di pusat berubah sepihak.

‎Lebih dari itu, ini bukan hanya soal empat titik pulau di tengah laut. Ini soal preseden. Jika hari ini kita diam ketika sebagian tanah kita dicaplok oleh wilayah lain tanpa perlawanan, maka bukan tidak mungkin di masa depan, lebih banyak wilayah kita akan hilang dari peta—perlahan, senyap, dan legal. Maka perlu digarisbawahi bahwa keadilan wilayah adalah bagian dari keadilan sosial. Memperjuangkan pulau-pulau ini adalah memperjuangkan kehormatan Aceh secara keseluruhan.

‎Kami tidak akan berhenti sampai kebenaran ditegakkan dan nama Aceh dikembalikan pada tempatnya. Pergerakan ini bukan hanya milik satu generasi, tapi warisan bagi masa depan rakyat Aceh yang berdaulat secara geografis dan bermartabat secara sejarah.[*]

Tag

error: Content is protected !!