Yayasan Geutanyo Soroti Bencana Banjir Tamiang Akibat Brutalnya Pembukaan Lahan Sawit

Pembina Yayasan Geutanyo, Nasruddin saat menjadi pemateri Academic Patner "Penanggulangan Bencana" yang digagas oleh IAIN Langsa bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Langsa, di Noka Coffe, Rabu, 24 Desember 2025 sore. Foto/Rapian.

Yayasan Geutanyo Soroti Bencana Banjir Tamiang Akibat Brutalnya Pembukaan Lahan Sawit

Pembina Yayasan Geutanyo, Nasruddin saat menjadi pemateri Academic Patner "Penanggulangan Bencana" yang digagas oleh IAIN Langsa bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Langsa, di Noka Coffe, Rabu, 24 Desember 2025 sore. Foto/Rapian.

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

MediaKontras.id | Pembina Yayasan Geutanyo, Nasruddin SE, menyoroti bahwa terjadinya bencana banjir bandang dan longsor yang meluluh lantakan Kabupaten Aceh Tamiang diduga akibat ‘brutalnya’ pembukaan lahan sawit yang cukup luas dan signifikan oleh para korporasi yang ada di Bumi Muda Sedia.

“Kami dari Yayasan Geutanyo menilai dan hasil riset menyatakan banjir bandang dan longsor yang terjadi di Aceh Tamiang dikarenakan pembukaan lahan sawit yang cukup luas tanpa mempertimbangkan dampaknya,” tegas Nasruddin saat menjadi pemateri Academic Patner “Penanggulangan Bencana” yang digagas oleh IAIN Langsa bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Langsa, di Noka Coffe, Rabu, 24 Desember 2025 sore.

Menurut, Nasruddin pihaknya telah membuat sebuah data dalam sebuah laporan yang diberi nama, Misteri Hulu Aceh Tamiang: Analisis Lahan Sawit dan Dampak Banjir.

Adapun paparanya, apa yang sesungguhnya terjadi di hulu Aceh Tamiang? sebagian besar daerah hulu Aceh Tamiang adalah lahan sawit. Area ini seharusnya diselimuti hutan alam untuk mengatur lalu lintas air.

Banjir di Aceh Tamiang pada akhir November lalu menunjukkan adanya masalah serius di hulu. Presentasi ini akan mengupas temuan kami mengenai luas, lokasi, dan kepemilikan lahan sawit yang berpotensi menjadi pemicu bencana.

Lebih lanjut, ia dengan suara tegasnya mengupas data diantaranya :

Skala Perkebunan Sawit di Hulu
35.188 Hektar Lahan Sawit, estimasi luas lahan sawit di daerah Hulu Aceh Tamiang.

Kemudian, 18 persentase wilayah Tamiang, luas ini mencakup 18 persen dari seluruh wilayah Aceh Tamiang dan 11 persen perbandingan luas, setara dengan 11 kali luas total Yogyakarta,

Luas lahan sawit yang masif ini, mencapai 35.188 hektare, menunjukkan deforestasi signifikan di daerah hulu. Skala ini sangat besar dan berpotensi mengganggu fungsi ekologis hulu sebagai penyimpan dan pengatur air.

Lantas terkait pelanggaran kawasan terlarang, dari 35.000 hektar lahan sawit di hulu, pihaknya menemukan beberapa lahan berada di kawasan yang seharusnya terlarang untuk perkebunan Taman Nasional.

“Kami menemukan lahan sawit seluas 488 hektar berada di dalam kawasan Taman Nasional, hutan lindung ditemukan 5 lahan sawit di dalam kawasan hutan lindung dengan total estimasi luas 525 Ha,” terangnya.

Kemudian daripada itu, Nasruddin juga memaparkan ancaman ekspansi dan fungsi hulu yang ideal lahan terbuka baru ditemukan di tempat baru ditemukan, ditemukan tiga lahan terbuka seluas 895 hektar yang menempel pada perkebunan sawit besar kemungkinan lahan ini dipersiapkan untuk ekspansi sawit fungsi hulu, idealnya bagian hulu diselimuti hutan alam yang mampu mengatur lalu lintas air untuk menyimpan air.

“Deforestasi di Hulu menghilangkan kemampuan alami hutan untuk mencegah banjir, hutan alam bertindak sebagai spon raksasa, sementara perkebunan sawit tidak memiliki kemampuan tersebut,” terang Nasruddin dengan nada keras.

Lebih lanjut, sistem sungai dan peringatan banjir jejaring sungai berwarna biru tua, mengalir air dari hulu Aceh Tamiang yang berdataran tinggi dan belereng menuju Hilir yang lebih rendah dan landai hingga ke lautan, ketika air yang mengalir meluap dan tumpah keluar dari jalur sungai itu menandakan adanya permasalahan serius yang terjadi di hulu.

“Meluapnya sungai adalah indikator langsung bahwa kapasitas penyerapan dan regulasi air di hulu telah terganggu secara signifikan, yang sebagian besar disebabkan oleh perubahan tutupan lahan,” timpal Nasruddin lagi.

Selain itu juga memaparkan terkait perbandingan luas lahan rakyat versus korporasi, dimana Yayasan Geutanyo mencatat total luas perkebunan sawit di Aceh Tamiang adalah sekitar 71.469 hektar (data Rakyat dan korporasi—red). Namun fokus perhatian harus diarahkan pada kepemilikan dan pengelolaan lahan yang masif.

Lalu untuk sawit rakyat 25.828 dikelola oleh 12.000 petani (rata-rata 2 Ha/petani). Sawit korporasi 45.641 dikelola oleh 31 korporasi (Rata-rata 1.472 Ha/korporasi).

“Lahan Hulu bermasalah 35.000 lokasi jauh dari pemukiman, termasuk kawasan terlarang,” jelasnya.

Adapun perkebunan rakyat adalah mata pencaharian utama bagi 12.000 keluarga. Pertanyaan besar tertuju pada 31 korporasi yang menguasai lahan 684 kali lipat lebih besar dari rata-rata petani.

Lalu, terbersit pertanyaan kritis untuk pemerintah? Pemerintah harus memberikan penjelasan mendesak mengenai pengelolaan lahan di hulu Aceh Tamiang.

Tiga pertanyaan kunci yang harus dijawab :

Mengapa hulu dideforestasi ?
Mengapa daerah hulu yang berfungsi sebagai pengatur air, dibiarkan Dideforestasi dan ditanami sawit hingga 35.000 hektar?

Siapa Pengelola lahan?
Siapa yang mengelola 35.000 hektar lahan sawit di daerah hulu tersebut, terutama yang berada di kawasan terlarang?

Pelanggaran kawasan terlarang?
Mengapa ada lahan sawit didalam kawasan hutan lindung dan taman nasional, yang secara hukum dilarang?

Selain itu masih ada sisa 13.289 hektar dari total lahan sawit yang belum terkonfirmasi data pemilik atau pengelolanya.

“Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua bahwa bencana datang karena ulah tangan-tangan jahil, sedangkan musibah itu datangnya dari sang yang maha kuasa,” tutur Nasruddin sembari menghela napas panjangnya. [ian]