Oleh: Marzuki (Insinyur/Pemerhati Kebijakan Publik )
Angka-angka ini bukan sekadar statistik di atas kertas. Ini adalah nyawa manusia, saudara-saudara kita di tanah Sumatera. 744 orang meninggal dunia. 551 orang masih hilang. 2.600 orang terluka.
Dalam rentang waktu singkat, 25 hingga 30 November 2025, tiga provinsi – Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat – berubah menjadi lautan duka. BNPB melaporkan total 3,3 juta jiwa terdampak dan 1,5 juta orang kini hidup di pengungsian.
Di Aceh saja, banjir bandang menghancurkan 77.049 rumah dan memaksa lebih dari 660 ribu warga mengungsi. Belum lagi kehancuran di Sumut dan Sumbar yang tak kalah mengerikan. Komisi VIII DPR RI, sebagaimana dilansir detiknews, telah menyuarakan desakan keras agar pemerintah menetapkan status Bencana Nasional. Namun, hingga detik ini, Jakarta seolah ragu, terjebak dalam hitung-hitungan administratif yang lamban.
Anomali Penanganan Daerah Lumpuh, Pusat Lambat
Skala kerusakan ini sudah melampaui kapasitas daerah. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di ketiga wilayah tersebut telah “angkat tangan”. APBD di akhir tahun anggaran sudah kering kerontang. Infrastruktur daerah lumpuh total. Sementara itu, BNPB yang diharapkan menjadi juru selamat, bergerak lamban di tengah medan yang ekstrem.
Ketiadaan status Bencana Nasional membuat penanganan menjadi parsial dan tidak terkomando. Padahal, dengan 3,3 juta warga terdampak, ini bukan lagi urusan daerah. Ini adalah krisis kemanusiaan yang menuntut kehadiran penuh negara.
Namun, tragedi sesungguhnya bukan hanya soal air bah, melainkan soal kebijakan yang “mencekik” di saat kritis. Ketika mesin birokrasi pusat dan daerah macet, beban penanganan pengungsi secara otomatis jatuh ke pundak Pemerintah Desa. Masalahnya, desa dipaksa berperang tanpa peluru.
Desa Dipasung Aturan Fiskal
Saat 1,5 juta pengungsi memadati balai desa, meunasah, dan tenda darurat di pelosok gampong dan nagari, aparatur desa tidak bisa berbuat banyak. Mereka terbentur tembok tebal bernama regulasi.
Pemerintah Desa tidak bisa menganggarkan dana penanganan bencana secara cepat akibat terbitnya kebijakan yang tidak manusiawi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 (Perubahan atas PMK 108/2024).
Dalam aturan ini, terdapat klausul yang mematikan bagi desa di wilayah bencana Dana Desa Tahap II (Non-Earmark) tidak disalurkan. Dana non-earmark adalah satu-satunya pos anggaran yang fleksibel dan bisa digunakan desa untuk kondisi darurat tak terduga, seperti memberi makan pengungsi atau membeli obat-obatan.
Alasan yang tertuang dalam aturan tersebut sungguh menyayat hati dana ditahan demi “mendukung prioritas pemerintah atau pengendalian fiskal”.
Negara seolah berkata “Biarlah rakyat Sumatera berjuang sendiri di tengah banjir, asalkan neraca keuangan negara aman terkendali.” Ini adalah logika kebijakan yang cacat moral. Bagaimana mungkin pengendalian fiskal ditempatkan di atas keselamatan 3,3 juta rakyat yang sedang menderita?
Desa kini berada di posisi terjepit. Mau membantu pengungsi, tidak ada dana. Mau memakai dana pos lain (seperti ketahanan pangan hewani), takut dipenjara karena menyalahi aturan. Akhirnya, rakyat saling bantu dengan logistik seadanya, sementara dana desa yang menjadi hak mereka justru ditahan di pusat.
Tuntutan Rakyat Sumatera
Kita tidak butuh lagi pidato keprihatinan. Kita butuh tindakan nyata dan cepat:
Tetapkan Status Bencana Nasional SEKARANG! Dengan 744 korban jiwa dan jutaan pengungsi, menunda status ini adalah bentuk kelalaian negara melindungi rakyatnya. Komando harus ditarik ke pusat, kerahkan TNI/Polri dan seluruh sumber daya nasional secara masif.
Cabut Pembekuan Dana Desa untuk Wilayah Bencana! Menteri Keuangan harus segera menerbitkan diskresi. Kecualikan desa-desa di Aceh, Sumut, dan Sumbar dari aturan penahan Dana Desa Tahap II. Cairkan segera dana non-earmark agar Kepala Desa bisa memberi makan rakyatnya yang kelaparan. Jangan biarkan birokrasi membunuh korban selamat.
Reformasi BNPB dan Mitigasi. Lambatnya respons awal menunjukkan sistem peringatan dini dan mobilisasi logistik kita gagal total.
Jangan sampai sejarah mencatat bahwa pada November 2025, Pemerintah Republik Indonesia lebih memilih menyelamatkan angka fiskal daripada menyelamatkan nyawa rakyat Sumatera yang sedang tenggelam.






