Oleh:Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Isu Minoritas yang berlangsung di Palais des Nations, Geneva, pada 27–28 November 2025, menjadi ruang penting bagi hadirnya suara yang selama ini terpinggirkan. Dengan tema “The Contribution of Minorities to Diverse, Resilient, and Peaceful Societies,” forum tersebut diikuti perwakilan dari berbagai negara, termasuk delegasi Aceh melalui Asnawi Ali dari Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Kehadiran delegasi Aceh ini membuka dimensi baru dalam diskusi internasional mengenai hak-hak minoritas, khususnya terkait pengalaman panjang Aceh menghadapi marginalisasi politik dan ekonomi sejak integrasi ke Republik Indonesia.
Dalam pernyataannya, Asnawi Ali menegaskan bahwa Aceh bukan semata wilayah administratif, melainkan entitas dengan identitas budaya, agama, dan politik yang khas. Ia menyoroti sejarah panjang diskriminasi struktural yang dialami Aceh, yang memicu konflik bersenjata selama puluhan tahun. Kekerasan, pelanggaran HAM, dan trauma kolektif yang ditinggalkan konflik tersebut menjadi bagian penting dari realitas sosial Aceh hari ini.
Meskipun Perjanjian Damai Helsinki 2005 dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) menghadirkan harapan baru, implementasi otonomi khusus dinilai belum berjalan konsisten. Menurut Asnawi, pemerintah pusat masih membatasi ruang politik Aceh dalam pengelolaan sumber daya, penetapan kebijakan, dan ruang ekspresi identitas politik. Karena itu, diskriminasi dianggap bukan sekadar persoalan masa lalu, tetapi tetap berlanjut dalam bentuk kebijakan yang membatasi hak Aceh sebagai komunitas dengan karakteristik unik.
Dalam konteks tema forum PBB, Aceh memiliki kontribusi penting terhadap keragaman Indonesia: tradisi Islam yang kuat, budaya lokal yang kaya, dan ketangguhan sosial yang teruji selama konflik. Solidaritas dan resiliensi masyarakat Aceh menunjukkan bahwa minoritas bukan beban, tetapi sumber kekuatan bagi pembangunan masyarakat damai dan inklusif. Namun kontribusi ini hanya dapat terwujud melalui pengakuan penuh atas hak-hak Aceh dan penghentian praktik kebijakan diskriminatif.
Respons Delegasi Pemerintah Indonesia
Pernyataan delegasi Aceh mendapat tanggapan tegas dari perwakilan Republik Indonesia. Pemerintah menolak tuduhan diskriminasi dan menyatakan bahwa forum internasional tidak seharusnya digunakan sebagai arena propaganda separatisme. Menurut pemerintah, Aceh telah menikmati otonomi khusus yang luas, termasuk implementasi syariat Islam, kewenangan legislatif daerah, serta alokasi dana otonomi khusus yang signifikan.
Pemerintah menilai klaim ASNLF tidak mencerminkan realitas pembangunan pasca-damai dan berpotensi mencederai fungsi forum internasional sebagai ruang dialog konstruktif mengenai hak-hak minoritas.
Perbedaan perspektif antara pemerintah pusat dan delegasi Aceh menunjukkan bahwa persoalan Aceh masih menjadi isu yang hidup di tingkat nasional maupun internasional. Forum PBB mempertemukan dua narasi:
1. Upaya masyarakat Aceh menginternasionalisasi isu diskriminasi dan keterbatasan hak-hak minoritas, dan
2. Upaya pemerintah mempertahankan legitimasi otonomi khusus sebagai bukti komitmen pluralisme dan perdamaian.
Pertemuan dua narasi tersebut menegaskan bahwa meskipun terdapat kerangka hukum seperti MoU Helsinki dan UUPA, gap antara harapan masyarakat Aceh dan implementasi kebijakan pemerintah masih menyisakan tantangan besar dalam membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Kehadiran suara Aceh di forum PBB bukan sekadar keluhan politik, melainkan seruan moral kepada dunia bahwa pengakuan dan perlindungan hak minoritas merupakan fondasi penting bagi terwujudnya masyarakat yang damai, tangguh, dan inklusif. Isu Aceh bukan lagi semata persoalan domestik Indonesia, tetapi bagian dari percakapan global mengenai HAM, otonomi, dan penyelesaian konflik secara bermartabat.






