Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, banjir bandang dan tanah longsor yang meluluhlantakkan desa-desa, memutus jembatan, merusak jalan, dan menyeret rumah-rumah bukan sekadar “bencana alam”. Ia adalah hasil dari tangan-tangan kebijakan dan jejaring rente yang menggunduli hutan, mengubah bentang lahan menjadi sabuk komoditas, dan menyingkirkan logika perlindungan ekologis demi devisa.
Air bah yang membawa potongan-potongan kayu adalah arsip paling telanjang dari perusakan berantai pohon-pohon yang seharusnya memegang tanah dan memecah energi aliran, kini menjadi bukti fisik yang dipamerkan banjir. Ketika masyarakat meminta negara hadir sebagai pelindung, yang datang justru retorika minimal, klasifikasi administrasi yang enggan menyebut “bencana nasional”, dan pengalihan tanggung jawab ke “cuaca ekstrem” atau “kondisi lokal” seolah-olah pohon-pohon tumbang tanpa ada yang menebang.
Fakta yang Tidak Bisa Disangkal dan Jejak Ekologis yang Berbicara
Derasnya arus membawa serta batang-batang kayu, gelondongan, dan serpihan tebangan, menandakan adanya perubahan drastis dalam penutupan lahan di hulu. Banjir dan longsor tidak melonjak begitu saja ia mengikuti hukum-hukum hidrologi yang sederhana saat hutan hilang, infiltrasi menurun, run-off meningkat, tebing kehilangan penjaga, sungai kehilangan ruang limpah, dan energi air dilepaskan tanpa peredam.
Bukti material pasca-banjir dari timbunan kayu di jembatan hingga aliran yang tersumbat oleh residu tebangan menunjukkan bahwa deforestasi bukan asumsi, melainkan penyebab yang tampak mata. Jejak konsesi, izin pembukaan lahan, dan ekspansi sawit di lereng-lereng sensitif hidrologis mempertegas keterhubungan antara ekonomi ekstraktif dan bencana hidrometeorologis.
Ketika aparat sipil maupun kepolisian didesak untuk menelusuri asal-usul potongan kayu, itu bukan sekadar tuntutan hukum; itu adalah seruan untuk memulihkan rantai akuntabilitas yang dirusak oleh koalisi kepentingan.
Ekonomi Ekstraktif, Izin yang Meluas, dan Banalitas Kebijakan yang Merusak
Sejak beberapa dekade, logika “devisa nasional” telah menempatkan hutan-hutan Sumatra sebagai bank komoditas: kayu, pulp, dan kemudian minyak sawit. Perizinan yang longgar, tata kelola yang fragmenter, dan pengawasan yang selektif membuka ruang bagi pembukaan hutan alam, konversi lahan gambut dan pegunungan, serta praktik yang menyepelekan daya dukung lingkungan.
Di atas kertas, ada AMDAL, zonasi, dan larangan-larangan. Di lapangan, ada pemutihan, celah regulasi, dan pelembagaan kompromi yang meminggirkan keselamatan publik. Ketika menteri-menteri teknis mendorong target produksi dan perluasan kebun tanpa memperhitungkan kapasitas hidrologis dan topografi yang rentan, keputusan itu menetes ke hilir sebagai risiko yang dikonversi menjadi kerugian warga.
Korupsi – baik yang terang-terangan maupun yang berwujud “normalisasi” praktik pelemahan aturan -bekerja sebagai pelumas yang membuat kerusakan tampak seperti bisnis biasa.
Negara Afektif sebagai Predator
Ann Laura Stoler membantu kita melihat bahwa kerusakan ini bukan hanya teknokratik, tetapi afektif. Dalam Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870–1979 (1985), Stoler membongkar bagaimana sabuk perkebunan membentuk politik kedisiplinan, hierarki kerja, dan pembatasan hidup sehari-hari di Sumatra, dengan kapitalisme kolonial dan pascakolonial menata tubuh, ruang, dan relasi kuasa untuk ekstraksi yang berkelanjutan.
Along the Archival Grain: Epistemic Anxieties and Colonial Common Sense (2009) memperlihatkan bagaimana arsip, administrasi, dan “akal sehat” birokratik menyaring siapa yang layak dicatat, siapa yang layak diyakini, dan bagaimana pengetahuan negara memproduksi kebisuan yang dapat diandalkan.
Dalam kerangka “negara afektif”, negara tidak sekadar merumuskan regulasi; ia mengelola rasa kepedulian, empati, rasa aman secara selektif. Ia memobilisasi bahasa perlindungan untuk komoditas dan modal, tetapi menahan empati untuk warga minoritas dan wilayah pinggiran. Ia mencintai hutan sebagai devisa dan membiarkan sungai menghukum masyarakat saat hujan memuncak.
Ia mencatat korban sebagai “lokal” untuk menghindari kewajiban nasional, menamai banjir sebagai “musiman” agar akuntabilitas struktural tetap tidak tersentuh. Ini adalah predatoritas afektif ekstraksi dinaungi oleh retorika pembangunan, sementara penderitaan dinormalkan sebagai biaya yang tidak bernama.
Aceh, Sumut, dan Sumbar: Tiga Lanskap yang Dipaksa Menanggung Akibat
Di Aceh, pembukaan hutan untuk sawit dan kayu membuat DAS kehilangan penyangga. Ketika tanah jenuh, longsor terjadi bahkan pada lereng yang dulu stabil.
Di Sumatera Utara, mosaik konsesi dan kebun monokultur menggerus heterogenitas ekologis, memotong koridor air dan faunal sehingga banjir menjadi kanal kekerasan yang tak terelakkan.
Di Sumatera Barat, topografi curam yang semestinya dilindungi malah dibebani konversi dan infrastruktur tanpa mitigasi ekologi yang memadai.
Ketika jembatan putus dan jalan hanyut, itu bukan “kejutan alam”, melainkan konsekuensi kebijakan yang mengabaikan ilmu hidrologi dan etika keadilan lingkungan. Lebih menyakitkan lagi, ketika skala kerusakan menuntut mobilisasi nasional, respons pusat memilih klasifikasi yang memperkecil cakupan kewajiban. Pesan yang sampai ke warga sederhana sumber daya kalian adalah urusan kami, bencana kalian urusan kalian.
Menamai banjir dan longsor sebagai “bencana buatan” bukan retorika politis; itu adalah ketelitian etis. Ia menuntut pengujian asal-usul kayu pascabanjir, audit izin yang melabrak bentang lindung, dan pengungkapan arus uang yang menghidupkan mesin deforestasi. Ia meminta kejernihan dalam tata kelola: moratorium di kawasan rawan, restorasi hutan lindung yang strategis, rehabilitasi DAS berbasis sains, dan penataan ulang insentif ekonomi agar tidak lagi menghadiahi konversi yang merusak.
Dalam horizon Stoler, reformasi bukan sekadar mengubah pasal, tetapi membongkar “akal sehat” birokratik yang menganggap korban sebagai statistik dan komoditas sebagai warga utama.
Dari Negara Predator ke Negara Pelindung
Banjir dan longsor di Sumatra adalah cermin dari negara afektif yang salah arah: negara yang mengasihi laba dan merelakan hidup warganya yang minoritas, terpencil, dan tak bersuara.
Jika negara ingin meninggalkan predatoritas, ia harus memulihkan afek yang benar empati yang setara, proteksi yang tidak selektif, dan akuntabilitas yang tidak menawar. Mengakui bencana sebagai nasional ketika skala kerusakan menuntutnya bukan sekadar administrasi itu adalah pernyataan bahwa warga lebih penting dari komoditas.
Dalam bahasa Stoler, menggeser arsip, rasa, dan akal sehat birokrasi adalah prasyarat untuk membongkar durabilitas kekuasaan yang memproduksi kebisuan. Tanpa itu, setiap musim hujan akan kembali menulis arsipnya sendiri: pohon-pohon yang dibaringkan sebagai saksi, sungai-sungai yang menyampaikan dakwaan, dan masyarakat yang dipaksa menjadi pembaca dari teks yang negara tulis tetapi enggan mengakui.






