Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh. Dosen Antropolog, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia menandai berakhirnya konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade. Sebagai tindak lanjut, lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Artikel ini mengkaji sejauh mana butir-butir MoU Helsinki diakomodasi dalam UUPA serta menilai implikasi politik dan hukum dari proses legislasi pasca-konflik.
Dengan menggunakan analisis dokumen dan kategorisasi tematik, ditemukan bahwa sekitar 65% butir MoU telah diakomodasi secara penuh atau parsial dalam UUPA. Temuan ini menunjukkan adanya kesenjangan antara komitmen damai dan praktik legislasi, yang berimplikasi pada dinamika otonomi dan rekonsiliasi di Aceh.
Konflik Aceh merupakan salah satu episode paling kompleks dalam sejarah kontemporer Indonesia. MoU Helsinki 2005 menjadi titik balik, menawarkan kerangka damai yang mencakup aspek politik, hukum, dan sosial. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: sejauh mana janji-janji damai tersebut benar-benar diinstitusionalisasi dalam hukum nasional melalui UUPA?
Penelitian kecil ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis dokumen. Dua sumber utama dianalisis secara komparatif:
1. Nota Kesepahaman Helsinki 2005 (versi terjemahan resmi).
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Setiap butir MoU diklasifikasikan ke dalam tiga kategori:
•Diakomodasi penuh
•Sebagian diakomodasi
•Tidak diakomodasi
Dari kategorisasi ini dibuat estimasi persentase akomodasi.
Hasil dan Analisis
1. Kewenangan Aceh
MoU: Aceh memiliki kewenangan luas kecuali enam bidang utama.
UUPA: Diakomodasi dalam Pasal 7.
2. Simbol Daerah (bendera, lambang, himne)
MoU: Diakui.
UUPA: Diatur dalam Pasal 8, tetapi implementasi terhambat regulasi pusat, khususnya soal bendera Aceh.
3. Partai Politik Lokal
MoU: Membuka ruang bagi partai lokal.
UUPA: Diakomodasi penuh dalam Pasal 75–99.
4. Lembaga Wali Nanggroe
MoU: Diakui sebagai lembaga adat-budaya.
UUPA: Diatur dalam Pasal 96 dan 98, meski peran politiknya masih diperdebatkan.
5. Sistem Hukum Lokal
MoU: Mengizinkan penyusunan kanun.
UUPA: Diakomodasi dalam Pasal 229–235, memperkuat syariat dan adat.
6. Reintegrasi Kombatan & KKR
MoU: Dijanjikan.
UUPA: Hanya diakomodasi sebagian, implementasi tergantung kebijakan nasional.
7. Penarikan Pasukan Non-Organik & AMM
Bersifat administratif dan temporer, sehingga tidak masuk ke dalam UUPA.
Estimasi Akomodasi Legislasi
Diakomodasi penuh: 5 butir
Sebagian diakomodasi: 3 butir
Tidak diakomodasi: 2 butir
Total skor: 650 dari 1000 poin → 65% akomodasi.
Transformasi MoU ke dalam UUPA dapat dianggap sebagai keberhasilan parsial dalam institusionalisasi perdamaian. Namun, terdapat beberapa titik lemah:
Simbol daerah yang terhambat regulasi pusat.
Reintegrasi kombatan dan KKR yang tidak optimal.
Absennya mekanisme evaluasi berkala terhadap implementasi UUPA. Hal ini menimbulkan risiko delegitimasi komitmen damai dan memunculkan ketegangan politik di tingkat lokal maupun nasional.
Kesimpulan.
UUPA merupakan langkah maju dalam menginstitusikan perdamaian Aceh, tetapi belum sepenuhnya merepresentasikan semangat MoU Helsinki 2005. Diperlukan:
Evaluasi berkala.
Revisi kebijakan.
Penguatan partisipasi lokal. Dengan begitu, perdamaian tidak berhenti sebagai dokumen, melainkan hidup sebagai praktik nyata dalam tata kelola Aceh.