Oleh: Sofyan, S.Sos
Tadi malam aku bermimpi Indonesia dipimpin oleh seorang presiden dari ujung barat negeri ini. Dalam mimpi itu, suasana terasa tenteram; kebijakan berjalan merata, dan rakyat di daerah tak lagi merasa jauh dari pusat republik. Namun ketika aku terbangun, aku sadar – semua itu hanya mimpi. Mungkin terlalu indah untuk jadi kenyataan.
Sejak awal, republik ini dibangun dengan kekuasaan yang terpusat di satu wilayah. Dari sanalah lahir tafsir tentang Indonesia: siapa yang layak memimpin, siapa yang disebut pahlawan, dan dari mana arah kebijakan harus dimulai. Tak heran bila selama ini poros kekuasaan nasional lebih banyak berputar di sekitar pusat, sementara daerah-daerah lain hanya menjadi pelengkap dalam cerita besar yang sudah ditulis.
Pola ini bukan tanpa sebab. Ia merupakan warisan masa kolonial, ketika kekuasaan terpusat di satu kota dan daerah-daerah dijadikan penopang ekonomi semata. Pola itu terbawa hingga kini – diperhalus dalam bingkai “negara kesatuan”, namun masih menyisakan ketimpangan dalam pembagian peran dan keadilan.
Padahal, yang diinginkan daerah bukanlah perpecahan, melainkan keseimbangan. Bukan dominasi, melainkan kesempatan untuk ikut menentukan arah bangsa. Republik sejati seharusnya memberi ruang kepada semua anak bangsa, dari mana pun asalnya, untuk berperan secara setara.
Sayangnya, gagasan tentang pembagian kekuasaan yang lebih adil kerap disalahpahami sebagai ancaman bagi persatuan. Padahal justru di situlah kekuatan republik: ketika pusat dan daerah saling percaya, saling memberi ruang, dan saling menghormati dalam mengambil keputusan.
Ketimpangan itu juga tampak dalam hal-hal simbolik, seperti penetapan gelar pahlawan nasional. Nama-nama dari daerah sering kali tenggelam dalam ingatan kolektif bangsa, meski mereka turut menyalakan api perjuangan yang sama.
Karena itu, jika aku bermimpi tentang seorang pemimpin nasional yang lahir dari luar pusat, itu bukanlah ambisi daerah, melainkan kerinduan terhadap keadilan. Kerinduan agar republik ini berani menatap dirinya secara utuh bahwa kepemimpinan sejati tidak mengenal batas wilayah, melainkan berpijak pada kemampuan dan keikhlasan untuk mengabdi bagi bangsa.
Mimpi itu mungkin belum akan jadi kenyataan. Namun aku percaya, waktu akan mengubah cara pandang republik ini. Kemajuan teknologi dan terbukanya ruang informasi akan menumbuhkan kesadaran baru di kalangan generasi muda tentang pentingnya pemerataan keadilan, tanpa sekat pusat dan daerah.
Lihatlah banyak negara lain yang berhasil menumbuhkan demokrasi yang lebih terbuka. Melalui sistem perwakilan yang sehat, mereka memberi kesempatan kepada siapa pun untuk memimpin, tanpa melihat asal, ras, atau agama. Di sana, perbedaan justru menjadi kekuatan.
Satu hari nanti, Indonesia pun bisa sampai ke sana menjadi republik yang benar-benar dewasa. Republik di mana keadilan dan kesempatan memimpin tidak ditentukan oleh tempat asal, melainkan oleh kebijaksanaan dan ketulusan hati untuk mengabdi bagi bangsa.






