Opini: Negara Islam Indonesia Faksi MYT di Aceh: Fundamentalisme Eskatologis, Loyalisme Kebangsaan, dan Tantangan Dialogis

Opini: Negara Islam Indonesia Faksi MYT di Aceh: Fundamentalisme Eskatologis, Loyalisme Kebangsaan, dan Tantangan Dialogis

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Dr Al Chaidar Abdurrahman Puteh Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

Aceh, sebagai wilayah dengan sejarah keislaman yang kuat, telah menjadi rumah bagi berbagai bentuk ekspresi politik Islam sepanjang sejarah Indonesia. Salah satu manifestasinya adalah gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul sejak pertengahan abad ke-20, terutama melalui figur legendaris seperti Daud Beureueh. Seiring waktu, NII mengalami faksionalisasi dan melahirkan berbagai cabang ideologis. Di antara faksi-faksi tersebut, faksi MYT menonjol sebagai entitas yang cenderung ideologis dan spiritual daripada operasional-militan, serta menunjukkan bentuk loyalisme nasional yang unik.

Artikel ini akan membedah akar sejarah NII di Aceh, karakter faksi MYT, keyakinan eskatologis mereka, dan tantangan kategorisasi serta pendekatan negara terhadap gerakan non-mainstream yang tidak mengancam secara langsung namun memiliki potensi transformatif secara sosial.


Sejarah Awal NII di Aceh: Gerakan Politik-Islam yang Negosiasional
Pada 1953, Daud Beureueh, tokoh militer sekaligus ulama karismatik di Aceh, memproklamasikan wilayah tersebut sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia. Latar belakangnya adalah kekecewaan terhadap pemerintah pusat terkait janji otonomi yang tidak kunjung terealisasi. Gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang ia pimpin bukanlah semata-mata gerakan separatis, melainkan bentuk perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak merepresentasikan aspirasi Islam di daerah.

Namun, gerakan ini mengalami transformasi dan pembubaran secara bertahap, terutama setelah kesepakatan damai dan pembinaan kembali oleh pemerintah. Bekas gerakan DI di Aceh kemudian berkembang menjadi jaringan ideologis yang lebih tersembunyi dan beragam secara struktur.


Faksionalisasi NII: Lahirnya Faksi MYT
Pasca 1962, NII mengalami faksionalisasi yang kompleks. Berdasarkan dokumen “Faksi MYT” yang dikembangkan oleh akademisi lokal, tercatat setidaknya empat faksi utama: Fillah (sipil), Sabilillah (militer), KW-9 (defeksi), dan MYT (ideologis-eskatologis).

Faksi MYT tampaknya berkembang dari faksi Fillah, dengan ciri sipil yang tidak mengandalkan kekerasan sebagai medium perjuangan. Struktur internal MYT melalui periode FTR, MYT, dan SYAMSURI (OMO), menunjukkan dinamika internal dalam pengelolaan kader, visi ideologis, serta penyempurnaan struktur spiritual.


Eskatologi dalam Gerakan MYT: Tauhid sebagai Sumbu Pergerakan
Yang menarik dari faksi MYT adalah penekanan mereka terhadap Tauhid sebagai landasan utama eksistensi dan gerakan. Mereka tidak hanya memandang Tauhid sebagai doktrin teologis, tetapi juga sebagai prinsip ontologis yang menyusun seluruh aspek kehidupan, dari struktur komunitas hingga pandangan terhadap negara.


Keyakinan eskatologis MYT menempatkan perjuangan mereka bukan dalam ranah fisik, tetapi spiritual dan transenden. Dalam pandangan ini, proyek hidup mereka adalah “pemurnian akidah” sebagai bekal menjelang hari akhir, bukan untuk menggulingkan pemerintah atau merusak tatanan sosial.


NKRI dan Bendera Merah Putih: Nasionalisme yang Tidak Konvensional
Berbeda dengan stigma terhadap kelompok-kelompok berbasis ideologi Islam yang kerap dianggap anti-NKRI, faksi MYT menunjukkan dukungan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan menggunakan bendera Merah Putih dalam kegiatan internal mereka.


Ini menunjukkan bentuk nasionalisme religius, di mana identitas kebangsaan tidak bertentangan dengan esensi spiritual yang mereka perjuangkan. Bagi mereka, NKRI adalah wadah sosial yang harus dijalani dengan ketaatan, selama tidak membawa kepada syirik atau kekufuran sistemik.


Penangkapan dan Stigma: Antara Kekhawatiran dan Kesalahpahaman
Penangkapan dua ASN di Aceh oleh Densus 88 karena dugaan keterlibatan dalam jaringan MYT menjadi titik krusial dalam wacana publik. Meski aparat memiliki dasar operasional untuk mengidentifikasi potensi radikalisasi, penanganan terhadap kelompok seperti MYT menuntut pendekatan yang lebih nuansatif dan berbasis riset lokal.


Kesalahan kategorisasi bisa berujung pada penanganan yang tidak proporsional terhadap komunitas yang sebenarnya tidak berorientasi pada aksi kekerasan. Hal ini juga dapat menciptakan trauma sosial dan alienasi terhadap komunitas muslim konservatif yang sebenarnya mendukung stabilitas negara.


Tantangan Akademik dan Respons Negara
1. Tipologi Gerakan Non-Mainstream
Gerakan seperti MYT menuntut tipologi baru dalam kajian gerakan Islam: bukan radikal, bukan moderat, melainkan fundamentalis eskatologis yang berada dalam ruang keimanan individual dan komunitas, bukan politik praktis.

2. Pemetaan Sosio-Teologis
Negara dan akademisi perlu membangun pemetaan ideologis dan sosiologis terhadap kelompok seperti MYT. Ini mencakup:
– Identifikasi narasi utama mereka.
– Pola pendidikan kader dan rekrutmen.
– Relasi mereka dengan lembaga sosial, pendidikan, dan pemerintahan.

3. Dialog sebagai Pendekatan Preventif
Alih-alih represif, pendekatan dialog dan edukasi dapat mengarahkan gerakan eskatologis seperti MYT untuk lebih inklusif dalam kehidupan bernegara. Ini mencakup diskusi publik, kolaborasi dengan tokoh agama, dan pembinaan ideologis yang bersifat terbuka.


Penutup: Antara Tauhid dan Tanah Air
Negara Islam Indonesia faksi MYT di Aceh bukanlah ancaman dalam bentuk konvensional. Mereka adalah bagian dari kaleidoskop keyakinan dan pencarian makna dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Menempatkan mereka dalam kategori terorisme tanpa kajian mendalam justru akan menciptakan jarak antara negara dan warganya yang paling taat.


Dalam konteks ini, fundamentalisme tidak selalu identik dengan radikalisme. Ia bisa menjadi ekspresi spiritual yang mendalam dan disiplin, selama tidak melanggar nilai-nilai sosial dan hukum negara. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menyusun ulang paradigma tentang “gerakan Islam non-mainstream” agar tidak hanya responsif, tapi juga transformasional dan adil.

Tag

error: Content is protected !!