Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Dalam perspektif antropologi interpretif Clifford Geertz (1973), kehidupan seseorang, termasuk Ustadz Yahya Waloni, adalah sebuah “teks” yang dapat dibaca dan diinterpretasikan. Tindakan, perkataan, dan pilihan-pilihan hidupnya bukanlah sekadar fakta objektif, melainkan simbol-simbol yang terjalin dalam sebuah “jaring-jaring makna” yang ia pintal sendiri dan yang juga dipintal oleh budaya di sekelilingnya. Tugas kita sebagai “pembaca” adalah melakukan “deskripsi tebal” (thick description) untuk mengungkap lapisan-lapisan makna di balik fenomena yang tampak di permukaan. Ustadz Yahya Waloni dikenal dengan gaya berdakwahnya yang energik dan sering kali kontroversial, terutama dalam ceramah-ceramah perbandingan agama.
Membaca “Teks” Yahya Waloni: Dari Pendeta ke Pendakwah
Lahir sebagai Yahya Yopie Waloni pada 30 November 1970 di Minahasa, Manado, dan meninggal dunia pada 6 Juni 2025 di Makassar, perjalanan hidup Ustadz Yahya Waloni adalah narasi transformatif yang kaya makna. Ustadz Muhammad Yahya Waloni adalah seorang pendakwah Indonesia yang dikenal luas karena latar belakangnya sebagai mantan pendeta yang kemudian memeluk agama Islam. Beliau lahir dengan nama Yahya Yopie Waloni pada 30 November 1970 di Minahasa, Manado. Ustadz Yahya Waloni meninggal dunia pada 6 Juni 2025, dalam usia 55 tahun, saat sedang menyampaikan khotbah Jumat di Makassar, Sulawesi Selatan. Beliau secara terbuka memeluk Islam pada 11 Oktober 2006.
Dalam ceramah-ceramahnya, beliau sering menceritakan perjalanan hidupnya sebagai seorang mantan pendeta dan doktor teologi. Beliau lebih suka disebut “mukhtadin” (orang yang diberi petunjuk) daripada “mualaf” (orang yang dibujuk hatinya), karena ia meyakini keislamannya adalah berkat petunjuk ilahi.
Sebagai seorang yang tumbuh dan menempuh pendidikan teologi hingga meraih gelar doktor, Yahya Waloni awalnya terimmersi dalam “dunia makna” Kekristenan. Ini bukan hanya tentang doktrin, melainkan juga tentang simbol-simbol, ritual, narasi sejarah, etika, dan komunitas sosial yang membentuk identitas dan cara pandangnya terhadap dunia. Gelar doktor teologi itu sendiri adalah simbol investasi intelektual yang mendalam dalam sistem makna tersebut. Hidupnya sebagai seorang pendeta menandakan perannya sebagai penjaga dan penafsir makna dalam kontebangsanya tersebut.
Titik Balik: Konversi sebagai “Pergeseran Paradigma Makna”
Momen krusial dalam “teks” Yahya Waloni adalah konversinya ke Islam pada 11 Oktober 2006. Dari perspektif Geertz, ini bukanlah sekadar perubahan identitas agama, melainkan “pergeseran paradigma makna” yang fundamental. Ia tidak hanya mengubah label agama, tetapi juga masuk ke dalam “jaring-jaring makna” Islam yang berbeda, dengan simbol-simbol, ritual (shalat, puasa), narasi suci (Al-Qur’an, Hadis), konsep etika, dan komunitas yang berbeda pula.
Dalam kasus Ustadz Yahya Waloni, jika ia merasa ada kekosongan spiritual atau pencarian kebenaran yang tidak ia temukan dalam keyakinan sebelumnya, Islam mungkin menawarkan jawaban yang ia cari, sehingga memenuhi deprivasi spiritualnya.
Keputusannya untuk lebih memilih disebut “mukhtadin” (orang yang diberi petunjuk) daripada “mualaf” (orang yang dibujuk hatinya) adalah sebuah simbol kuat. Ini menunjukkan bahwa ia menginterpretasikan konversinya bukan sebagai hasil bujukan eksternal, melainkan sebagai penemuan makna sejati yang ia yakini berasal dari petunjuk ilahi. Ini adalah upaya untuk menempatkan pengalamannya dalam kerangka makna yang lebih agung dan personal. Yahya Waloni adalah individu yang membuat keputusan, termasuk keputusan agama, berdasarkan pertimbangan rasional tentang biaya dan manfaat. Seseorang akan memilih agama yang mereka yakini akan memaksimalkan “keuntungan” (misalnya, pahala, kedamaian batin, keselamatan) dan meminimalkan “kerugian” (misalnya, sanksi sosial, ketidakpastian). Dalam konteks Ustadz Yahya Waloni, beliau mungkin melihat Islam menawarkan kebenaran yang lebih meyakinkan atau janji-janji spiritual yang lebih memuaskan dibandingkan dengan keyakinan lamanya.
Ustadz Yahya Waloni, sebagai seorang doktor teologi sebelumnya, mungkin telah melakukan perbandingan dan studi mendalam tentang berbagai ajaran agama. Konversinya bisa jadi hasil dari proses “pilihan rasional” di mana ia menyimpulkan bahwa Islam adalah “pilihan terbaik” baginya setelah mengevaluasi argumen dan doktrin.
Gaya Dakwah dan “Pementasan” Makna
Setelah konversi, Ustadz Yahya Waloni menjadi pendakwah yang dikenal dengan gaya enerjik dan konfrontatif, khususnya dalam perbandingan agama. Dalam lensa Geertz, dakwahnya adalah ”pementasan” (performance) makna. Ia tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan interpretasi atas dua sistem makna (Kristen dan Islam) di depan audiens.
Pernyataannya yang kontroversial, seperti klaim tentang “Alkitab palsu” atau perbandingan honorarium pendeta, dapat dilihat sebagai simbol-simbol yang sarat makna dalam konteks perdebatan teologis dan sosial. Meskipun menimbulkan friksi dan berujung pada kasus hukum, tindakan dan kata-katanya adalah upayanya untuk menegaskan sistem makna yang baru ia yakini, sekaligus mendekonstruksi sistem makna yang lama. Permintaan maafnya setelah kasus hukum juga merupakan “tindakan simbolis” yang merefleksikan negosiasi makna dalam ruang publik, di mana ia harus menyeimbangkan antara keyakinan pribadi dan norma sosial.
Beliau pernah menghadapi masalah hukum dan dipenjara selama 5 bulan pada tahun 2022 karena kasus ujaran kebencian terkait SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Pernyataan yang menjadi sorotan adalah yang ditujukan kepada umat Kristiani, termasuk klaim bahwa Alkitab adalah palsu. Beliau kemudian secara terbuka meminta maaf atas perbuatannya, menyatakan penyesalan karena telah melanggar prinsip etika dalam berdakwah. Beliau juga pernah membuat gaduh dengan pernyataannya yang menyebutkan bahwa honorarium pendeta lebih tinggi daripada honorarium ustadz penceramah Islam.
Kematian di Tengah Khotbah: Simbol Penutup Narasi
Meninggal dunia saat menyampaikan khotbah Jumat, bagi Geertz, adalah penutup yang sangat sarat makna bagi “teks” hidup Ustadz Yahya Waloni. Dalam Islam, meninggal dalam keadaan beribadah seringkali diinterpretasikan sebagai akhir yang baik (husnul khatimah). Ini adalah simbol puncak dari komitmennya terhadap sistem makna Islam yang ia pilih, seolah-olah seluruh hidupnya bermuara pada momen pengabdian terakhir itu. Peristiwa ini memperkuat narasi tentang perjalanan spiritualnya dan memberikan “makna transenden” pada akhir kehidupannya di mata para pengikut dan simpatisannya.
Manusia secara inheren mencari makna dalam hidup mereka. Ketika keyakinan atau sistem makna yang ada tidak lagi memadai, seseorang mungkin mencari sistem makna yang baru dan lebih memuaskan. Agama seringkali menjadi sumber utama makna, menyediakan kerangka kerja untuk memahami alam semesta, tujuan hidup, dan moralitas.
Beliau meninggal dunia secara mendadak saat sedang menyampaikan khotbah Jumat di Masjid Darul Falah, Makassar. Istri beliau menyatakan bahwa Ustadz Yahya Waloni memiliki riwayat pembengkakan jantung, namun tidak menunjukkan tanda-tanda serangan jantung sebelum meninggal, hanya mengeluh pusing.
Perjalanan Ustadz Yahya Waloni dapat dilihat sebagai pencarian makna yang mendalam. Ia mungkin menemukan bahwa Islam menawarkan sistem makna yang lebih komprehensif, logis, atau menenangkan bagi dirinya.
Kesimpulan: Membaca Makna di Balik Kehidupan
Dari sudut pandang Geertz, biografi Ustadz Yahya Waloni bukan hanya catatan kronologis peristiwa. Ini adalah serangkaian simbol dan tindakan yang saling terkait, yang membentuk “teks” kaya makna tentang pencarian kebenaran, transformasi identitas, dan negosiasi keyakinan dalam sebuah lanskap budaya yang kompleks. Memahami kehidupannya berarti berusaha untuk menembus permukaan dan menginterpretasikan bagaimana ia menenun dan menjadi bagian dari jaring-jaring makna yang membentuk eksistensinya.
Ustadz Yahya Waloni mengalami deprivasi spiritual yang mendorongnya mencari makna baru, kemudian melakukan perbandingan rasional terhadap ajaran agama, dan akhirnya menemukan identitas baru serta manfaat sosial dalam komunitas Muslim. Latar belakangnya sebagai seorang yang mendalami teologi menunjukkan bahwa proses konversinya kemungkinan besar melibatkan elemen intelektual dan spiritual yang kuat, bukan sekadar emosi sesaat.
Setiap tulisan yang dimuat dalam #MediaKontras.id menjadi tanggung jawab penulis.
Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial. Terima kasih