Tgk Rayeuk Mantan Pasukan Tripoli Terkulai Lemas Melawan Stroke

T Cut Kafrawi bersama rekan lainnya saat menjenguk Tgk Rayeuk beberapa waktu lalu. Foto/Ist.

Tgk Rayeuk Mantan Pasukan Tripoli Terkulai Lemas Melawan Stroke

T Cut Kafrawi bersama rekan lainnya saat menjenguk Tgk Rayeuk beberapa waktu lalu. Foto/Ist.

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh : T Cut Kafrawi

Namanya Hasaballah, namun di kalangan kami ia lebih dikenal dengan panggilan Tgk Rayeuk. Julukan itu bukan hanya karena tubuhnya yang gagah dan besar, tetapi juga karena wibawanya yang sulit ditandingi.

Ia adalah salah satu dari mereka yang pernah menimba ilmu militer di Tripoli, jauh dari tanah kelahirannya, demi sebuah cita-cita besar perjuangan dan pengabdian untuk tanah Aceh.

Kenangan tentang Tgk Rayeuk selalu hadir dalam potongan-potongan cerita di antara kami. Sosoknya sederhana, tidak banyak bicara, tetapi setiap kata yang keluar dari lisannya seperti mengandung keyakinan yang kokoh.

Dalam perjalanan panjang konflik, ia bukan hanya seorang pejuang, tetapi juga guru bagi yang muda, penuntun bagi yang ragu, dan penguat bagi yang hampir menyerah.

Banyak kisah yang melekat tentangnya — tentang malam-malam sunyi di pedalaman Peureulak ketika ia membacakan doa sebelum langkah gerilya, atau tentang caranya menenangkan kawan seperjuangan yang gugup menghadapi operasi militer.

Baginya, perjuangan bukan sekadar mengangkat senjata, melainkan juga menjaga martabat, akhlak, dan persaudaraan. Kini, ketika waktu sudah berlalu dan dentum senjata hanya tinggal gema sejarah, nama Tgk Rayeuk tetap hidup dalam ingatan.

Ia menjadi bagian dari cerita panjang Aceh, sebuah pengingat bahwa di balik konflik, ada manusia-manusia yang mengorbankan masa mudanya demi keyakinan.

Hasaballah — Tgk Rayeuk — bukan sekadar nama, melainkan sebuah kenangan, sebuah bab dalam sejarah yang tidak boleh hilang.
Damai akhirnya datang ke Aceh. Dentuman senjata berhenti, hutan Peureulak yang dulu menjadi saksi langkah gerilya perlahan kembali tenang.

Namun, bagi sebagian mereka yang pernah mengabdikan hidup di medan perjuangan, masa damai tidak selalu berarti kehidupan yang lapang. Begitu pula nasib Tgk Rayeuk—Hasaballah—yang kami kenal dengan segala wibawa dan ketegarannya.

Setelah damai, tubuhnya mulai rapuh. Waktu dan beban perjuangan yang panjang seolah menagih harga. Suatu hari, kabar itu sampai Tgk Rayeuk terkena stroke. Sosok yang dulu tegap, yang di hutan berjalan berhari-hari tanpa letih, kini harus berbaring diam dengan separuh tubuh yang tak lagi mampu digerakkan.

Bagi kami yang mengenalnya, melihat keadaan itu adalah luka batin tersendiri. Ingatan kami masih jelas—betapa ia dulu berdiri paling depan saat harus melindungi kawan, betapa suaranya lantang menenangkan kami ketika rasa takut menghantui.

Kini, di masa damai yang diperjuangkannya dengan darah dan air mata, ia justru berbaring melawan sakit. Namun, meski tubuhnya melemah, semangatnya tidak pernah padam.

Sesekali, dengan suara lirih, ia masih menyampaikan pesan bahwa perjuangan sejati tidak berakhir di hutan atau di medan tempur, melainkan terus hidup dalam menjaga persaudaraan, dalam merawat damai dan dalam mendoakan generasi penerus.

Kisah Tgk Rayeuk setelah damai adalah cermin dari banyak pejuang Aceh lainnya—mereka yang mengorbankan segalanya, tetapi kemudian harus menghadapi masa tua dengan kesederhanaan, bahkan dengan sakit yang membatasi.

Namun, bagi kami, nama Hasaballah, Tgk Rayeuk akan selalu terpatri sebagai lambang keteguhan, meski kini ia berjuang dalam sunyi melawan penyakit.