Banda Aceh, MediaKontras.id | Aset strategis Pemerintah Aceh kembali menuai sorotan publik. Kali ini, Lapangan Golf Seulawah di Lhoknga, Aceh Besar, yang berada di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, dipertanyakan status serta transparansi dalam pengelolaannya.
Isra Fu’addi S.H, pemuda Aceh yang kerap aktif menyuarakan isu-isu pembangunan daerah, menyampaikan kritik pedas terhadap cara pengelolaan lapangan golf tersebut. Menurutnya, hingga saat ini publik tidak mengetahui secara jelas siapa pihak pengelola, bagaimana sistem manajemennya berjalan, serta sejauh mana kontribusinya terhadap daerah.
“Ini aset daerah yang dibangun dengan dana besar dari APBA. Tapi pengelolaannya sangat tertutup. Seolah-olah dikelola seperti milik pribadi, tanpa akuntabilitas kepada Pemerintah Aceh maupun publik,” ujar Isra kepada wartawan, pada hari Sabtu (10/05).
Isra juga menilai bahwa potensi ekonomi dari Lapangan Golf Seulawah belum digarap secara maksimal. Menurutnya, lokasi lapangan golf yang berhadapan langsung dengan panorama pantai menjadikannya sangat strategis untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata terpadu.
“Bukan hanya untuk main golf, tapi kawasan ini bisa dikembangkan menjadi resort wisata, tempat konferensi, atau lokasi pertemuan bisnis. Jika dikelola profesional, saya yakin bisa menyumbang PAD yang luar biasa bagi Aceh,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Isra menyoroti pentingnya aset ini sebagai ruang diplomasi ekonomi bagi Aceh. Ia menilai selama ini Pemerintah Aceh belum mampu memberikan kesan profesional kepada calon investor.
“Sering kita dengar, investor datang ke Aceh tapi dijamu hanya di warung kopi. Kenapa tidak manfaatkan lapangan golf ini sebagai media diplomasi ekonomi? Di daerah lain, investor disambut di tempat yang representatif. Kita harus berani berubah,” tegas Isra.
Ia pun mendesak Pemerintah Aceh untuk segera melakukan evaluasi total terhadap pengelolaan Lapangan Golf Seulawah, termasuk membuka informasi seluas-luasnya kepada publik mengenai status aset dan rencana pengembangannya.
“Aceh butuh tata kelola aset yang profesional, transparan, dan berdampak nyata bagi ekonomi rakyat. Jangan sampai aset strategis seperti ini hanya menjadi simbol kemewahan yang tak berguna,” tutup Isra.
Hingga berita ini disiarkan belum ada tanggapan resmi dari pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh terkait kritik tersebut.
Bersambung.