Oleh: Riza Albashir, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Syiah Kuala
Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi pemerintahan di Indonesia sering kali identik dengan prosedur yang lamban, tumpang tindih, dan tidak efisien. Sebagai warga negara yang berhadapan langsung dengan layanan publik, saya percaya bahwa birokrasi kita harus segera berbenah jika ingin tetap relevan di tengah tuntutan zaman yang semakin cepat dan dinamis.
Birokrasi pada dasarnya dibentuk untuk menjamin pelayanan publik berjalan secara tertib, terstruktur, dan adil. Namun dalam praktiknya, niat baik itu kerap terjebak dalam jeratan formalitas yang berlebihan. Tak jarang masyarakat harus melalui proses yang panjang hanya untuk mengurus dokumen dasar seperti KTP, izin usaha, atau surat keterangan tertentu. Waktu yang terbuang, energi yang terkuras, dan kadang-kadang “biaya tambahan” di luar ketentuan, menjadi cerita sehari-hari yang ironis di negeri yang katanya sedang giat melakukan reformasi birokrasi.
Masalahnya bukan semata-mata pada banyaknya aturan, tetapi pada bagaimana aturan itu diterapkan. Birokrasi seharusnya tidak menjadi penghalang, melainkan fasilitator. Aparatur sipil negara (ASN) yang menduduki jabatan publik semestinya menjadi pelayan masyarakat, bukan justru bersikap seperti penguasa kecil di balik meja.
Saya mengapresiasi upaya digitalisasi yang mulai digalakkan melalui sistem pelayanan berbasis elektronik (e-government). Ini langkah maju, meskipun implementasinya masih belum merata dan kerap terganjal oleh kualitas SDM serta infrastruktur yang belum siap. Namun, teknologi saja tidak cukup. Reformasi birokrasi yang sejati harus dimulai dari perubahan budaya kerja dan mentalitas para birokrat itu sendiri.
Transparansi, akuntabilitas, dan orientasi pada hasil harus menjadi prinsip utama dalam pelayanan publik. Birokrat tidak bisa lagi berlindung di balik meja dan aturan, tapi harus hadir sebagai solusi atas masalah masyarakat. Pengangkatan pejabat berdasarkan meritokrasi, bukan kedekatan politik atau relasi pribadi, juga merupakan syarat mutlak untuk membangun birokrasi yang profesional.
Bukan berarti kita tidak punya birokrat yang baik—banyak di antaranya yang bekerja dengan dedikasi tinggi. Tapi sistem yang kurang mendukung sering kali membuat potensi mereka terhambat. Karena itu, keberanian untuk melakukan reformasi struktural dan kultural menjadi sangat penting.
Birokrasi bukan sekadar mesin administrasi, melainkan wajah pertama dari negara yang dirasakan oleh rakyat. Jika birokrasi bekerja dengan baik, kepercayaan publik akan tumbuh. Namun jika terus dibiarkan dalam kondisi sekarang, bukan tidak mungkin masyarakat akan makin jauh dari negara yang seharusnya melayani mereka.
Sudah saatnya birokrasi kita bukan hanya dirombak, tapi ditransformasi. Tidak ada alasan untuk menunda lagi.